Bukan
Taman Sari
Sukardi Rinakit ; Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan
Kaliaren Foundation
|
KOMPAS,
28 Oktober 2014
PADA 10 Juli 1959, lima hari setelah mengeluarkan dekrit Presiden
kembali ke UUD 1945, Bung Karno membentuk Kabinet Kerja. Tanggal 26 Oktober
2014, Presiden Joko Widodo mengumumkan nama kabinet yang sama, yaitu Kabinet
Kerja. Semoga mereka bisa memandu Indonesia membangun peradaban: berdaulat
secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan.
Begitulah harapan rakyat, utamanya para relawan yang datang dari
segala lapisan masyarakat. Bahkan wanita-wanita cantik di luar para artis,
yang biasanya takut kena sengatan matahari, seperti teman Mariza Hamid, yaitu
Agustin Rahayu, Magdalena Sangkaeng, Lilly Mulyana, dan Erwina Suryandari,
sejak semula rela berpanas-panas demi terwujudnya harapan itu. Tumpuan mereka
adalah presiden yang lahir dari rahim rakyat.
Untuk terwujudnya harapan tersebut, tidak ada pilihan lain bagi
Kabinet Kerja, kecuali kerja, kerja, dan kerja, yang utama seperti dinyatakan
Presiden Jokowi. Dengan demikian, jabatan yang diemban bukanlah taman sari
yang indah untuk sekadar dinikmati. Untuk itu, sebagai pijakan dasar,
pemahaman mengenai Indonesia harus obyektif. Dalam bahasa lain, hati mereka
harus bergetar tatkala memandang peta Indonesia. Tanpa hal tersebut, mereka
tak lebih dari orang yang ambisi kekuasaannya lebih besar dari cita-citanya.
Secara obyektif, Indonesia saat ini, seperti roh yang tergambar
dalam peta, adalah Indonesia yang mengandung dualisme apabila tidak boleh
disebut terbelah hampir sempurna. Secara geografis, dengung Indonesia barat
dan timur masih menggema. Secara strategi pembangunan, kekaburan antara
pembangunan nasional dan pembangunan ekonomi masih melembaga. Secara ekonomi,
jurang kaya dan miskin semakin lebar. Secara sosial-keagamaan, mengeras
pertentangan kaum moderat dengan radikal. Demikian juga pembelahan secara
politik.
Meskipun bendera Koalisi Merah Putih saat ini tampak diam, bukan
berarti mereka terus menunduk. Eksistensi mereka sebagai oposan terhadap
Koalisi Indonesia Hebat sejatinya tetap terjaga. Oleh karena itu, apabila ada
anggota Kabinet Kerja melakukan sedikit kesalahan saja dalam implementasi
kebijakan, termasuk ketika membangun simbol-simbol, mereka pasti akan
dijadikan sasaran tembak guna menaikkan pamor Koalisi Merah Putih.
Dalam perspektif budaya politik, upaya untuk selalu mengintip
kelemahan lawan dan menghabisinya apabila mungkin merupakan bagian dari
praktik politik tumpas kelor (membunuh lawan politik sampai ke akar-akarnya).
Sebuah praktik politik yang subur berlaku pada era kerajaan dulu.
Dalam alam demokrasi, dimensi tumpas kelor tersebut secara
alamiah hancur karena praksis politik demokrasi adalah terukur, transparan,
dan beradab. Kalaupun ada penggulingan kekuasaan, mekanismenya melalui
pemakzulan (impeachment). Di sini tidak ada yang harus meregang nyawa, tetapi
mungkin masih ada yang meregang malu sebab dibawa ke pengadilan karena
dianggap melakukan penyelewengan kekuasaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, setiap anggota Kabinet Kerja
harus menyadari bahwa mereka sedang berada di biduk republik yang sedang
terbelah. Mereka harus mengayuh di antara tiga karang, yaitu kualitas
kebijakan, sikap parlemen, dan hati para relawan. Kegagalan menjaga
keseimbangan di antara ketiganya, pemerintahan Jokowi akan dihantam protes
relawan dan digulung gelombang politisi di parlemen.
Oleh karena itu, sejumlah politisi yang mumpuni dari partai
berkuasa juga harus tetap ada di parlemen. Apabila mereka dilepas untuk
menduduki kursi eksekutif, tidak ada kekuatan yang mampu melakukan perdebatan
bermutu dan substansial di DPR.
Selain itu, koalisi partai berkuasa, khususnya Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, juga harus melakukan langkah terobosan guna menjaga
daya hidup partai. Ketika beberapa kadernya duduk di pemerintahan, otomatis
ada beberapa jabatan struktural yang kosong di partai. Ini harus diisi
kader-kader yang bagus yang menguasai kepemimpinan dan manajemen partai.
Untuk kasus PDI-P, misalnya, posisi sekretaris jenderal yang selama ini
dipegang Tjahjo Kumolo bisa kembali dipanggul oleh Pramono Anung.
Tanpa menjaga trinitas keseimbangan, yaitu kualitas kebijakan
Kabinet Kerja, soliditas partai, dan jalinan hati relawan, sulit bagi
pemerintahan Jokowi untuk menghadapi para politisi Koalisi Merah Putih yang
secara hipotesis dipastikan berisik. Hanya dengan argumen mendasar, kerja
konkret yang transparan, serta akuntabel dari para menteri, parlemen akan
merendah dan mekanisme check and balances akan bekerja sempurna.
Fenomena keseimbangan dan saling mengontrol secara sempurna
antara pemerintah dan DPR, menurut GBPH Prabukusumo dari Yogyakarta, secara
simbolik dilambangkan oleh Tugu Monas dan Gedung MPR/DPR/DPD. Diduga, para
bapak bangsa secara sadar membuat simbolisasi bahwa Tugu Monas dimaknai
sebagai rencana pembangunan yang menjulang ke langit. Rencana ini akan
sempurna bagi kesejahteraan rakyat jika sudah digodok di Gedung MPR/DPR/ DPD.
Apa pun simbol yang ada, Kabinet Kerja wajib memanggul prinsip bahwa
berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi.
Bukan duduk santai menikmati taman sari kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar