Presiden
Baru, Babad Baru
Hajriyanto Y Thohari ; Wakil Ketua MPR Periode 2009-2014
|
REPUBLIKA,
22 Oktober 2014
Dalam setiap kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden
(pilpres) rakyat selalu disuguhi dengan tampilnya calon-calon presiden
(capres) yang menyatakan dirinya sebagai akan melakukan perubahan atau
setidaknya pembaruan secara signifikan.
Bahkan tidak jarang sang capres mengklaim dirinya—dan diklaim para
pendukungnya—sebagai simbol perubahan itu sendiri. Tak mengherankan kalau
rakyat kebanyakan yang memimpikan perubahan nasib terbuai dan meyakini
seakan-akan melalui pilpres itu rakyat benar-benar sedang menunggu sebuah
perubahan besar yang sarat dengan aroma mesianistik yang ditandai dengan
kedatangan seorang "presiden baru" di negara yang seakan-akan
segera menjadi "Indonesia baru" pula.
Apakah pada sejatinya memang benar demikian adanya ataukah itu semuanya
hanyalah sekadar sindrom mesianisme belaka dari masyarakat yang mengalami
kekecewaan yang berkepanjangan dan tak berkesudahan? Dulu mungkin saja
harapan perubahan seperti itu tidaklah terlalu jauh dari kebenaran.
Pasalnya, raja, sultan, kaisar, khalifah, atau apa pun namanya pastilah
memiliki kekuasaan yang besar dan absolut. Mereka biasanya memerintah secara
otoriter dan totaliter: memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, sekaligus
yudikatif. Sebagai eksekutif mereka memerintah; sebagai legislatif mereka
mengeluarkan dekrit atau undang-undang, bahkan pidatonya menjadi sabda,
sabdanya menjadi titah, dan titahnya menjadi haluan negara; dan sebagai
yudikatif mereka mengadili dan menjatuhkan hukuman. Para raja begitu sangat
berkuasanya sehingga memerintah cukup dengan titah atau dekrit (rule by decree).
Oleh karena begitu berkuasa (powerful),
kuat (omnipotent), dan hadir-(omnipresent)-nya para raja, sultan,
kaisar, atau khalifah itu, maka manakala di suatu kerajaan, kesultanan,
kekaisaran, atau kekhalifahan tersebut terjadi suksesi, maka di sana
dipastikan akan terjadi perubahan besar. Itulah mengapa dulu dikenal adagium
novus rex, nova lex: pemimpin baru, peraturan baru.
Di Indonesia pada masa lalu yang tidak terlalu jauh juga dikenal
ungkapan yang tidak kurang daripada itu, yaitu raja baru, babad baru: setiap
raja baru bukan hanya selalu akan membuat peraturan baru (paugeran enggal),
bahkan babad baru versi baru yang disesuaikan dengan keinginan atau titah
sang raja.
Babad
baru
Kata Jawa babad pada mulanya bermakna babad alas (membabat hutan),
yaitu "membuka lahan untuk dibudidayakan" atau untuk membangun kota
atau cikal bakal negara baru. Mungkin diilhami oleh lakon Babad Alas
Wonomarto oleh para Pandawa dalam cerita Mahabarata di mana kemudian di
atasnya berdiri Istana Indraprasta, sejarah negara-negara kerajaan Jawa juga
banyak yang dibangun melalui episode babad alas.
Ki Ageng Pemanahan dan putranya Sutawijaya diberi hadiah oleh Sultan
Pajang Hadiwijaya berupa hutan atau alas Mentaok atas jasanya berhasil
membunuh Ario Penangsang dan memadamkan pemberontakan Jipang. Kawasan alas
Mentaok yang statusnya tanah perdikan ini kelak, setelah dibabad, dibuka, dan
dibudidayakan, dinamakan Bumi Mataram.
Tanah perdikan ini masih merupakan wilayah Kesultanan Pajang (sekarang
meliputi wilayah Kotagede, Yogyakarta), tetapi kelak kemudian hari bekas alas
yang dibabad ini menjelma menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam.
Bahkan lebih jauh dari itu kabarnya Raden Wijaya (pada akhir tahun
1200-an) konon juga membangun cikal bakal Kerajaan Majapahit dengan babad
Alas Tarik (Hutan Tarik) di sebelah timur Kediri. Hutan itu hadiah dari Raja
Jayakatwang (Kerajaan Singosari) yang diberikan kepadanya atas jasanya
menumpas pemberontakan. Dalam babad diceritakan bahwa oleh karena ditemukan
di sana ada buah maja yang rasanya pahit, maka desa permukiman yang didirikan
Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit yang akhirnya menjadi kerajaan
terbesar di nusantara setelah Sriwijaya.
Di samping babad alas, babad
juga berarti "membuka halaman baru
dalam sejarah Jawa". Bernard HM Vlekke dalam bukunya yang sudah
menjadi klasik, Nusantara: A History of
Indonesia (1961), dengan sangat menarik menulis tentang tradisi atau
kebiasaan para raja Jawa menyusun babad baru. Setiap raja baru, kata Vlekke,
selalu memerintahkan penyusunan babad baru sebagai revisi atas babad yang
sudah ada sebelumnya untuk legitimasi kekuasaannya.
Seperti biasanya, babad berisi puja-puji yang dia perintahkan ditulis
dengan alasan tertentu. Pujangga-pujangga istana pada masa Sultan Agung
Hanyokrokusumo banyak menggubah Babad Tanah Jawi yang dimaksudkan untuk
menggantikan narasi "sejarah" Jawa yang lebih tua dan berfungsi
menyesuaikan catatan masa lalu dengan kebutuhan masa kini.
Walhasil di nusantara jika ada raja baru maka ada peraturan baru dan
babad baru. Tidak dulu tidak sekarang, selalu ada kepercayaan bahwa raja
baru, pemimpin baru, peraturan baru, dan narasi baru: sebuah revisi besar,
perubahan besar.
Orde Baru merevisi Orde Lama, Orde Reformasi merevisi Orde Baru. Setiap
orde, setiap presiden, tanpa terkecuali, meminjam kata-kata Vlekke, tiada
henti menyatakan tekadnya dengan begitu gigih sehingga timbul kesan bahwa
mereka terdorong oleh suatu gagasan bahwa mereka sedang berusaha memenuhi
suatu misi perubahan yang dipercaya telah diberikan kepadanya. Meskipun hal
itu sering kali hanya ada dalam harapan, tidak pernah terwujud dalam
kenyataan.
Bersama
kita bias
Masalahnya, seorang presiden baru di negara demokrasi bukanlah raja
dalam suatu monarki yang absolut atau diktator yang despotik yang bisa
memerintah dengan dekrit (rule by
decree), yang pidatonya menjadi sabda, sabdanya menjadi titah, dan
titahnya menjadi undang-undang atau haluan negara. Presiden di negara
demokrasi memerintah dengan undang-undang (rule by law).
Presiden di negara Republik Indonesia yang demokratis bahkan harus
bersumpah di depan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau di
hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung (MA) pada
hari pelantikannya—yang membikin bulu kuduk saya berdiri—yang berbunyi, "Demi Allah, saya bersumpah akan
memenuhi kewajiban Presidan Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada
nusa dan bangsa." (UUD 1945 Pasal 9 Ayat 1).
Memang UUD 1945 bisa diubah. Namun, ini yang harus dicatat, UUD 1945
diubah oleh MPR, bukan oleh presiden. Sementara undang-undang dibuat
bersama-sama oleh presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang
kekuasaan pembentuk undang-undang. Dalam konteks dan perspektif ini, maka
seorang presiden, meskipun presiden baru yang dipilih secara langsung oleh
rakyat, kekuasaannya (untuk melakukan perubahan) bukannya tak terbatas,
bahkan sangat terbatas. Batasnya di mana? Jawabnya di UUD dan undang-undang!
Presiden baru tentu bisa sendirian mengubah peraturan pemerintah (PP)
karena presiden memang memegang kekuasaan pemerintahan (UUD 1945 Pasal 4 Ayat
1), peraturan presiden (perpres), dan peraturan perundang-undangan lainnya di
bawah undang-undang (untuk melakukan perubahan menuju "Indonesia
Baru" seperti yang dijanjikan dalam kampanye pilpres). Namun, presiden,
apalagi yang baru, tidak bisa mengubah UUD dan tidak pula dapat mengubah
undang-undang sendirian. Adapun perubahan undang-undang (untuk diselaraskan
dan disesuaikan dengan visi, misi, dan janjinya) hanya bisa dilakukan
bersama-sama dengan DPR melalui mekanisme persetujuan bersama (UUD 1945 Pasal
20 Ayat 1 dan 2).
Walhasil, pada sejatinya sejak 20 Oktober 2014 sampai 31 Desember 2014
(baca: 2,5 bulan) presiden baru tidak berbeda dengan presiden yang
digantikannya oleh karena hanya melanjutkan program dan UU APBN yang persis
sama. Sementara mulai 1 Januari 2015, awal tahun anggaran baru, presiden
baru—meskipun ikut dalam proses akhir pembahasannya—masih juga melaksanakan
UU APBN yang dirancang oleh presiden lama.
Apakah lantas kemudian sebuah perubahan seperti yang dijanjikan
tertutup untuk diwujudkan? Tentu saja tidak, tetapi tidaklah mudah.
Sebuah perubahan baru, apalagi Indonesia baru, hanya bisa diwujudkan
dengan dukungan politik yang besar dari sebanyak mungkin elemen dan komponen
bangsa. Apalagi dalam sistem multipartai di mana tidak ada satu partai yang
meraih mayoritas tunggal (single
majority), bahkan sekadar mayoritas sederhana (simple majority) sekalipun tidak. Dalam konstelasi politik yang
semacam ini tentu proses pengambilan keputusan akan menjadi sangat kompleks.
Presiden yang berjanji akan mewujudkan perubahan harus didukung oleh
semua, terutama oleh DPR dan para pembantunya yang bernama menteri yang
memiliki kewibawaan dan kemampuan politik yang tangguh. Saya hanya bisa
berdoa dari kejauhan untuk perubahan yang dijanjikan dan dipercaya oleh
banyak orang itu. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar