Jumat, 24 Oktober 2014

Presiden Baru, Babad Baru

Presiden Baru, Babad Baru

Hajriyanto Y Thohari  ;  Wakil Ketua MPR Periode 2009-2014
REPUBLIKA, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Dalam setiap kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) rakyat selalu disuguhi dengan tampilnya calon-calon presiden (capres) yang menyatakan dirinya sebagai akan melakukan perubahan atau setidaknya pembaruan secara signifikan.

Bahkan tidak jarang sang capres mengklaim dirinya—dan diklaim para pendukungnya—sebagai simbol perubahan itu sendiri. Tak mengherankan kalau rakyat kebanyakan yang memimpikan perubahan nasib terbuai dan meyakini seakan-akan melalui pilpres itu rakyat benar-benar sedang menunggu sebuah perubahan besar yang sarat dengan aroma mesianistik yang ditandai dengan kedatangan seorang "presiden baru" di negara yang seakan-akan segera menjadi "Indonesia baru" pula.

Apakah pada sejatinya memang benar demikian adanya ataukah itu semuanya hanyalah sekadar sindrom mesianisme belaka dari masyarakat yang mengalami kekecewaan yang berkepanjangan dan tak berkesudahan? Dulu mungkin saja harapan perubahan seperti itu tidaklah terlalu jauh dari kebenaran.

Pasalnya, raja, sultan, kaisar, khalifah, atau apa pun namanya pastilah memiliki kekuasaan yang besar dan absolut. Mereka biasanya memerintah secara otoriter dan totaliter: memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, sekaligus yudikatif. Sebagai eksekutif mereka memerintah; sebagai legislatif mereka mengeluarkan dekrit atau undang-undang, bahkan pidatonya menjadi sabda, sabdanya menjadi titah, dan titahnya menjadi haluan negara; dan sebagai yudikatif mereka mengadili dan menjatuhkan hukuman. Para raja begitu sangat berkuasanya sehingga memerintah cukup dengan titah atau dekrit (rule by decree).

Oleh karena begitu berkuasa (powerful), kuat (omnipotent), dan hadir-(omnipresent)-nya para raja, sultan, kaisar, atau khalifah itu, maka manakala di suatu kerajaan, kesultanan, kekaisaran, atau kekhalifahan tersebut terjadi suksesi, maka di sana dipastikan akan terjadi perubahan besar. Itulah mengapa dulu dikenal adagium novus rex, nova lex: pemimpin baru, peraturan baru.

Di Indonesia pada masa lalu yang tidak terlalu jauh juga dikenal ungkapan yang tidak kurang daripada itu, yaitu raja baru, babad baru: setiap raja baru bukan hanya selalu akan membuat peraturan baru (paugeran enggal), bahkan babad baru versi baru yang disesuaikan dengan keinginan atau titah sang raja.

Babad baru

Kata Jawa babad pada mulanya bermakna babad alas (membabat hutan), yaitu "membuka lahan untuk dibudidayakan" atau untuk membangun kota atau cikal bakal negara baru. Mungkin diilhami oleh lakon Babad Alas Wonomarto oleh para Pandawa dalam cerita Mahabarata di mana kemudian di atasnya berdiri Istana Indraprasta, sejarah negara-negara kerajaan Jawa juga banyak yang dibangun melalui episode babad alas.

Ki Ageng Pemanahan dan putranya Sutawijaya diberi hadiah oleh Sultan Pajang Hadiwijaya berupa hutan atau alas Mentaok atas jasanya berhasil membunuh Ario Penangsang dan memadamkan pemberontakan Jipang. Kawasan alas Mentaok yang statusnya tanah perdikan ini kelak, setelah dibabad, dibuka, dan dibudidayakan, dinamakan Bumi Mataram.

Tanah perdikan ini masih merupakan wilayah Kesultanan Pajang (sekarang meliputi wilayah Kotagede, Yogyakarta), tetapi kelak kemudian hari bekas alas yang dibabad ini menjelma menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam.

Bahkan lebih jauh dari itu kabarnya Raden Wijaya (pada akhir tahun 1200-an) konon juga membangun cikal bakal Kerajaan Majapahit dengan babad Alas Tarik (Hutan Tarik) di sebelah timur Kediri. Hutan itu hadiah dari Raja Jayakatwang (Kerajaan Singosari) yang diberikan kepadanya atas jasanya menumpas pemberontakan. Dalam babad diceritakan bahwa oleh karena ditemukan di sana ada buah maja yang rasanya pahit, maka desa permukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit yang akhirnya menjadi kerajaan terbesar di nusantara setelah Sriwijaya.

Di samping babad alas, babad juga berarti "membuka halaman baru dalam sejarah Jawa". Bernard HM Vlekke dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Nusantara: A History of Indonesia (1961), dengan sangat menarik menulis tentang tradisi atau kebiasaan para raja Jawa menyusun babad baru. Setiap raja baru, kata Vlekke, selalu memerintahkan penyusunan babad baru sebagai revisi atas babad yang sudah ada sebelumnya untuk legitimasi kekuasaannya.

Seperti biasanya, babad berisi puja-puji yang dia perintahkan ditulis dengan alasan tertentu. Pujangga-pujangga istana pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo banyak menggubah Babad Tanah Jawi yang dimaksudkan untuk menggantikan narasi "sejarah" Jawa yang lebih tua dan berfungsi menyesuaikan catatan masa lalu dengan kebutuhan masa kini.

Walhasil di nusantara jika ada raja baru maka ada peraturan baru dan babad baru. Tidak dulu tidak sekarang, selalu ada kepercayaan bahwa raja baru, pemimpin baru, peraturan baru, dan narasi baru: sebuah revisi besar, perubahan besar.

Orde Baru merevisi Orde Lama, Orde Reformasi merevisi Orde Baru. Setiap orde, setiap presiden, tanpa terkecuali, meminjam kata-kata Vlekke, tiada henti menyatakan tekadnya dengan begitu gigih sehingga timbul kesan bahwa mereka terdorong oleh suatu gagasan bahwa mereka sedang berusaha memenuhi suatu misi perubahan yang dipercaya telah diberikan kepadanya. Meskipun hal itu sering kali hanya ada dalam harapan, tidak pernah terwujud dalam kenyataan.

Bersama kita bias

Masalahnya, seorang presiden baru di negara demokrasi bukanlah raja dalam suatu monarki yang absolut atau diktator yang despotik yang bisa memerintah dengan dekrit (rule by decree), yang pidatonya menjadi sabda, sabdanya menjadi titah, dan titahnya menjadi undang-undang atau haluan negara. Presiden di negara demokrasi memerintah dengan undang-undang (rule by law).

Presiden di negara Republik Indonesia yang demokratis bahkan harus bersumpah di depan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung (MA) pada hari pelantikannya—yang membikin bulu kuduk saya berdiri—yang berbunyi, "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presidan Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa." (UUD 1945 Pasal 9 Ayat 1).

Memang UUD 1945 bisa diubah. Namun, ini yang harus dicatat, UUD 1945 diubah oleh MPR, bukan oleh presiden. Sementara undang-undang dibuat bersama-sama oleh presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Dalam konteks dan perspektif ini, maka seorang presiden, meskipun presiden baru yang dipilih secara langsung oleh rakyat, kekuasaannya (untuk melakukan perubahan) bukannya tak terbatas, bahkan sangat terbatas. Batasnya di mana? Jawabnya di UUD dan undang-undang!

Presiden baru tentu bisa sendirian mengubah peraturan pemerintah (PP) karena presiden memang memegang kekuasaan pemerintahan (UUD 1945 Pasal 4 Ayat 1), peraturan presiden (perpres), dan peraturan perundang-undangan lainnya di bawah undang-undang (untuk melakukan perubahan menuju "Indonesia Baru" seperti yang dijanjikan dalam kampanye pilpres). Namun, presiden, apalagi yang baru, tidak bisa mengubah UUD dan tidak pula dapat mengubah undang-undang sendirian. Adapun perubahan undang-undang (untuk diselaraskan dan disesuaikan dengan visi, misi, dan janjinya) hanya bisa dilakukan bersama-sama dengan DPR melalui mekanisme persetujuan bersama (UUD 1945 Pasal 20 Ayat 1 dan 2).

Walhasil, pada sejatinya sejak 20 Oktober 2014 sampai 31 Desember 2014 (baca: 2,5 bulan) presiden baru tidak berbeda dengan presiden yang digantikannya oleh karena hanya melanjutkan program dan UU APBN yang persis sama. Sementara mulai 1 Januari 2015, awal tahun anggaran baru, presiden baru—meskipun ikut dalam proses akhir pembahasannya—masih juga melaksanakan UU APBN yang dirancang oleh presiden lama.

Apakah lantas kemudian sebuah perubahan seperti yang dijanjikan tertutup untuk diwujudkan? Tentu saja tidak, tetapi tidaklah mudah.

Sebuah perubahan baru, apalagi Indonesia baru, hanya bisa diwujudkan dengan dukungan politik yang besar dari sebanyak mungkin elemen dan komponen bangsa. Apalagi dalam sistem multipartai di mana tidak ada satu partai yang meraih mayoritas tunggal (single majority), bahkan sekadar mayoritas sederhana (simple majority) sekalipun tidak. Dalam konstelasi politik yang semacam ini tentu proses pengambilan keputusan akan menjadi sangat kompleks.

Presiden yang berjanji akan mewujudkan perubahan harus didukung oleh semua, terutama oleh DPR dan para pembantunya yang bernama menteri yang memiliki kewibawaan dan kemampuan politik yang tangguh. Saya hanya bisa berdoa dari kejauhan untuk perubahan yang dijanjikan dan dipercaya oleh banyak orang itu. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar