Matematika
dan Politik Subsidi BBM
Hasbullah Thabrany ; Kepala Center for Health Economics and
Policy Studies, Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
27 Oktober 2014
Seminggu setelah Presiden Joko
Widodo disahkan menjadi presiden ketujuh RI, persoalan subsidi bahan bakar
minyak menunggu di depan mata. Kekeliruan nasional dalam mengelola
pemerintahan agar tampak populis pada periode sebelumnya, telah meninabobokan
rakyat dengan sangat tidak produktif.
Albertus adalah buruh nelayan
di Nusa Tenggara Timur yang berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan.
Tempat kerjanya hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Ia naik kendaraan
umum dua kali sebulan untuk belanja.
Karena tergolong miskin, ia
mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) sampai Rp 200.000 per bulan.
Ia dan tiga anaknya juga mendapat bantuan untuk iuran Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) per orang Rp 19.225 sehingga total per keluarga mendapat
hampir Rp 100.000 per bulan. Hitung-hitung, ia mendapat subsidi Rp 300.000
per bulan.
Ada lagi Ahmad, tukang ojek di
kota Bekasi. Ia merasa beruntung memiliki sepeda motor bekas dan bisa
mengojek dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 40.000 per hari, atau sekitar
Rp 1,3 juta per bulan.
Ia tidak termasuk penerima PKH
atau mendapat bantuan iuran JKN. Ia menghabiskan bensin rata-rata 2 liter
sehari. Jika dihitung-hitung, ia mendapat subsidi BBM Rp 12.000 per hari atau
sekitar Rp 300.000 per bulan. Maka kalau harga bensin naik, berat baginya.
Lalu ada Yasin di Bekasi satu
dari sekitar delapan juta penduduk berusia di atas 60 tahun yang tidak
memiliki penghasilan. Dulu, ia masih menikmati hasil sawahnya. Kini, sawahnya
sudah menjadi perumahan. Ia tinggal di rumah setengah permanen dan sangat
bergantung pada belas kasih anak-anaknya. Ia tidak menikmati subsidi BBM sama
sekali.
Suparjo adalah pengusaha kecil
yang sukses. Ia, istri, dan dua anak remajanya menikmati empat mobil bagus.
Sebagai pengusaha, ia tergolong tidak peduli tepat tidaknya subsidi BBM.
Ia membeli bensin yang lebih
murah, premium. Sehari, rata-rata, ia sekeluarga membeli 50 liter bensin.
Jika besar subsidi per liter Rp 6.000, keluarga Suparjo menerima subsidi BBM
50 x Rp 6.000 = Rp 300.000 per hari. Sebulan, keluarga Suparjo menerima Rp
300.000 x 30 atau Rp 9 juta.
Daniel dan Heryawan adalah
pegawai Pertamina dan pegawai PLN. Keduanya menikmati gaji dan tunjangan
lain-lain Rp 12 juta per bulan. Ia juga menikmati tunjangan hari raya (THR)
hampir Rp 20 juta. Keduanya juga menerima bonus tantiem yang lumayan besar
dari keuntungan Pertamina Rp 32 triliun tahun 2014 dan laba PLN Rp 12 triliun
semester pertama tahun lalu.
Mengapa Pertamina dan PLN
mendapat laba besar dan karyawannya bergaji besar dengan bonus dan tunjangan
yang besar pula? Ini karena kedua BUMN menyerap dana subsidi energi yang
mencapai Rp 400 triliun tahun ini.
Akar masalah
Entah apa yang salah di negeri
ini. Subsidi BBM dianggap keharusan. Baik DPR maupun pemerintah sama-sama
memaksakan subsidi. Dalam 10 tahun terakhir, besar subsidi BBM sudah
menghabiskan Rp 3.000 triliun lebih.
Selalu saja alasannya kenaikan
harga BBM memberatkan ekonomi rakyat. Seolah belanja atau beban ekonomi
rakyat hanya untuk BBM. Padahal, semua rakyat makan nasi, tetapi beras tidak
disubsidi. Semua rakyat pasti sakit, minimum sekali dalam hidupnya, tetapi
hanya sebagian kecil yang dijamin pengobatannya.
Semua anak harus bersekolah,
tetapi meski seharusnya pendidikan gratis, ada saja biaya yang dibebankan
kepada rakyat. Petani dan nelayan harus membeli kebutuhan rutin seperti
beras, lauk-pauk, baju, pupuk, bibit, dan bahkan air. Angkutan umum tidak
disubsidi. Padahal, jika 10 persen saja dana subsidi diberikan untuk kereta
api, semua orang bisa gratis naik kereta.
Di India, Sri Lanka, Tiongkok, Vietnam,
dan Thailand, BBM sama sekali tidak disubsidi. Harga bensin dan solar di
negeri itu Rp 12.000-Rp 16.000 per liter. Toh, produk-produk pertanian
ataupun industri dari negeri berlimpah di Indonesia. Artinya, daya saing
industri dan bisnis tidak kalah. Sebaliknya, hasil tani dan hasil industri
Indonesia di negeri-negeri itu nyaris tidak ditemukan.
Jargon subsidi BBM memberatkan
industri dan rakyat hanyalah akal-akalan mereka yang selama ini menikmati
subsidi puluhan triliun: industri mobil, industri minyak, dan industri
energi.
Keberanian menghilangkan
subsidi BBM dalam tiga tahun mendatang merupakan solusi terbaik mengoreksi
kekeliruan subsidi.
Subsidi seharusnya diberikan
untuk beras, pupuk, bibit, pembuatan kapal nelayan, waduk-waduk, membangun
angkutan kereta api kota dan antarkota, membangun pelabuhan, membangun jalan,
iuran jaminan kesehatan, biaya sekolah, buku, baju seragam sekolah, serta
transpor ke sekolah dan perguruan tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar