Selasa, 28 Oktober 2014

Matematika dan Politik Subsidi BBM

Matematika dan Politik Subsidi BBM

Hasbullah Thabrany ;  Kepala Center for Health Economics and
Policy Studies, Universitas Indonesia
KOMPAS, 27 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Seminggu setelah Presiden Joko Widodo disahkan menjadi presiden ketujuh RI, persoalan subsidi bahan bakar minyak menunggu di depan mata. Kekeliruan nasional dalam mengelola pemerintahan agar tampak populis pada periode sebelumnya, telah meninabobokan rakyat dengan sangat tidak produktif.

Albertus adalah buruh nelayan di Nusa Tenggara Timur yang berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta per bulan. Tempat kerjanya hanya beberapa ratus meter dari rumahnya. Ia naik kendaraan umum dua kali sebulan untuk belanja.
Karena tergolong miskin, ia mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) sampai Rp 200.000 per bulan. Ia dan tiga anaknya juga mendapat bantuan untuk iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per orang Rp 19.225 sehingga total per keluarga mendapat hampir Rp 100.000 per bulan. Hitung-hitung, ia mendapat subsidi Rp 300.000 per bulan.

Ada lagi Ahmad, tukang ojek di kota Bekasi. Ia merasa beruntung memiliki sepeda motor bekas dan bisa mengojek dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 40.000 per hari, atau sekitar Rp 1,3 juta per bulan.

Ia tidak termasuk penerima PKH atau mendapat bantuan iuran JKN. Ia menghabiskan bensin rata-rata 2 liter sehari. Jika dihitung-hitung, ia mendapat subsidi BBM Rp 12.000 per hari atau sekitar Rp 300.000 per bulan. Maka kalau harga bensin naik, berat baginya.

Lalu ada Yasin di Bekasi satu dari sekitar delapan juta penduduk berusia di atas 60 tahun yang tidak memiliki penghasilan. Dulu, ia masih menikmati hasil sawahnya. Kini, sawahnya sudah menjadi perumahan. Ia tinggal di rumah setengah permanen dan sangat bergantung pada belas kasih anak-anaknya. Ia tidak menikmati subsidi BBM sama sekali.

Suparjo adalah pengusaha kecil yang sukses. Ia, istri, dan dua anak remajanya menikmati empat mobil bagus. Sebagai pengusaha, ia tergolong tidak peduli tepat tidaknya subsidi BBM.

Ia membeli bensin yang lebih murah, premium. Sehari, rata-rata, ia sekeluarga membeli 50 liter bensin. Jika besar subsidi per liter Rp 6.000, keluarga Suparjo menerima subsidi BBM 50 x Rp 6.000 = Rp 300.000 per hari. Sebulan, keluarga Suparjo menerima Rp 300.000 x 30 atau Rp 9 juta.

Daniel dan Heryawan adalah pegawai Pertamina dan pegawai PLN. Keduanya menikmati gaji dan tunjangan lain-lain Rp 12 juta per bulan. Ia juga menikmati tunjangan hari raya (THR) hampir Rp 20 juta. Keduanya juga menerima bonus tantiem yang lumayan besar dari keuntungan Pertamina Rp 32 triliun tahun 2014 dan laba PLN Rp 12 triliun semester pertama tahun lalu.

Mengapa Pertamina dan PLN mendapat laba besar dan karyawannya bergaji besar dengan bonus dan tunjangan yang besar pula? Ini karena kedua BUMN menyerap dana subsidi energi yang mencapai Rp 400 triliun tahun ini.

Akar masalah

Entah apa yang salah di negeri ini. Subsidi BBM dianggap keharusan. Baik DPR maupun pemerintah sama-sama memaksakan subsidi. Dalam 10 tahun terakhir, besar subsidi BBM sudah menghabiskan Rp 3.000 triliun lebih.

Selalu saja alasannya kenaikan harga BBM memberatkan ekonomi rakyat. Seolah belanja atau beban ekonomi rakyat hanya untuk BBM. Padahal, semua rakyat makan nasi, tetapi beras tidak disubsidi. Semua rakyat pasti sakit, minimum sekali dalam hidupnya, tetapi hanya sebagian kecil yang dijamin pengobatannya.

Semua anak harus bersekolah, tetapi meski seharusnya pendidikan gratis, ada saja biaya yang dibebankan kepada rakyat. Petani dan nelayan harus membeli kebutuhan rutin seperti beras, lauk-pauk, baju, pupuk, bibit, dan bahkan air. Angkutan umum tidak disubsidi. Padahal, jika 10 persen saja dana subsidi diberikan untuk kereta api, semua orang bisa gratis naik kereta.

Di India, Sri Lanka, Tiongkok, Vietnam, dan Thailand, BBM sama sekali tidak disubsidi. Harga bensin dan solar di negeri itu Rp 12.000-Rp 16.000 per liter. Toh, produk-produk pertanian ataupun industri dari negeri berlimpah di Indonesia. Artinya, daya saing industri dan bisnis tidak kalah. Sebaliknya, hasil tani dan hasil industri Indonesia di negeri-negeri itu nyaris tidak ditemukan.
Jargon subsidi BBM memberatkan industri dan rakyat hanyalah akal-akalan mereka yang selama ini menikmati subsidi puluhan triliun: industri mobil, industri minyak, dan industri energi.

Keberanian menghilangkan subsidi BBM dalam tiga tahun mendatang merupakan solusi terbaik mengoreksi kekeliruan subsidi.

Subsidi seharusnya diberikan untuk beras, pupuk, bibit, pembuatan kapal nelayan, waduk-waduk, membangun angkutan kereta api kota dan antarkota, membangun pelabuhan, membangun jalan, iuran jaminan kesehatan, biaya sekolah, buku, baju seragam sekolah, serta transpor ke sekolah dan perguruan tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar