Selasa, 28 Oktober 2014

Teater Jokowi

Teater Jokowi

Amarzan Loebis  ;  Wartawan Tempo
KORAN TEMPO, 27 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Ketika mendengar Presiden Joko Widodo akan mengumumkan struktur dan personalia kabinetnya di Tanjung Priok, Rabu, 22 Oktober lalu, saya segera berpikir: anak ini mulai kebablasan. Dia mulai kehilangan kemampuan memahami pembabakan pencitraannya, dari kandidat Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota hingga ke takhta nomor satu di negeri ini.

Secara alamiah, setiap manusia mempunyai motivasi untuk membangun citranya. Secara teoretis, setiap manusia sesungguhnya tidak ingin ditanggapi sebagaimana dirinya sendiri, tetapi "sebagaimana ia ingin ditanggapi". Psikologi "looking up" ini berlaku universal dan permanen, tanpa kecuali. Perbedaannya hanya terletak dalam satu hal: disadari atau tidak.

Jokowi, sepanjang yang saya amati, menjalaninya dengan sadar. "Pencitraan", yang sering dilekatkan kepada (mantan) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sesungguhnya juga dikelola dengan bagus oleh Jokowi dalam bentuk berbeda. Saya menyebutnya bentuk "teaterisasi", yaitu menciptakan panggung-panggung yang "tidak biasa", "orisinal", dan "unik"-termasuk blusukan itu.

Khalayak sasarannya, yang kemudian berubah menjadi pemilih loyal dalam pemilihan yang lalu, memang terpesona, terpana, terpanggil, atau paling tidak terhibur. Puncak keterpesonaan itu adalah Pesta Rakyat beberapa saat setelah pelantikan, ketika ratusan ribu orang mengantar sang Presiden dan wakilnya ke Istana Negara. Sepanjang sejarah Republik, belum ada peristiwa yang menandingi "teater" hari itu.

Setelah itu, semestinya Jokowi sadar bahwa ia sudah pindah ke ranah yang lain. Dia sudah menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, yang terikat pada sejumlah tata krama dan tata protokoler yang hampir berlaku sama di semua negara modern. Mengumumkan struktur dan personalia kabinet di Tanjung Priok, misalnya, memang bisa disebut "membuat sejarah". Belum ada satu pun presiden di seluruh dunia yang pernah mengumumkan kabinetnya di Tanjung Priok.

Pertanyaannya sederhana: apakah "teater" itu memang urgen? Dalam kondisi batal saja, event tak jadi itu menghabiskan biaya sekitar Rp 500 juta. Jika dibelikan gerobak bakso-yang melekat kepada komunitas profesi yang pertama kali disebut Jokowi dalam pidatonya sebagai presiden-uang itu bisa dibelikan sekitar 200 gerobak bakso.

Panggung Jokowi sekarang adalah panggung kenegaraan. Sebaiknya ia belajar banyak dari wakilnya, Jusuf Kalla, pengusaha dan negarawan berpengalaman yang selalu tenang, tidak grasa-grusu, tidak gumunan, tidak kagetan, dan karena itu tidak over acting. Ucu-demikian Kalla biasa disapa-memang bukan figur yang bergelora, yang berapi-api, yang mudah dibaca. Hanya satu hal yang bisa dipastikan dari dia, yaitu menjaga stabilitas kumisnya yang-kalau meminjam ungkapan lama-tak ubahnya semut beriring.

Peneliti Burhanuddin Muhtadi benar belaka ketika mengatakan sebaiknya Jokowi mengurangi berbicara banyak. Sebaiknya ia memulai pekerjaannya sebagaimana ia menjanjikan hal yang akan dilakoni pada masa kepresidenannya. Ketertundaan pengumuman kabinet, bagaimanapun, sudah berhasil menciptakan bahan guyonan yang tidak menguntungkan baginya.

Filosofi pembangunan yang "berpaling ke samudra" memang baik-baik saja. Tapi itu tidak berarti bahwa semua acara kenegaraan harus dilakukan di Tanjung Priok, di Bawean, di Kenjeran, atau di Cilamaya. Bayangkan jika pengumuman kabinet itu jadi diselenggarakan di Tanjung Priok. Berapa ratus-bahkan ribu-petugas keamanan yang harus dikerahkan untuk mensterilkan paling tidak sekujur Jakarta Utara? Berapa gerobak bakso yang bisa dibeli sebagai pengganti "teater" pencitraan itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar