Teater
Jokowi
Amarzan Loebis ; Wartawan
Tempo
|
KORAN
TEMPO, 27 Oktober 2014
Ketika mendengar Presiden Joko Widodo akan mengumumkan struktur
dan personalia kabinetnya di Tanjung Priok, Rabu, 22 Oktober lalu, saya
segera berpikir: anak ini mulai kebablasan. Dia
mulai kehilangan kemampuan memahami pembabakan pencitraannya, dari kandidat
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota hingga ke takhta nomor satu di negeri
ini.
Secara alamiah, setiap manusia mempunyai motivasi untuk
membangun citranya. Secara teoretis, setiap manusia sesungguhnya tidak ingin
ditanggapi sebagaimana dirinya sendiri, tetapi "sebagaimana ia ingin
ditanggapi". Psikologi "looking up" ini berlaku universal dan
permanen, tanpa kecuali. Perbedaannya hanya terletak dalam satu hal: disadari
atau tidak.
Jokowi, sepanjang yang saya amati, menjalaninya dengan sadar.
"Pencitraan", yang sering dilekatkan kepada (mantan) Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, sesungguhnya juga dikelola dengan bagus oleh Jokowi
dalam bentuk berbeda. Saya menyebutnya bentuk "teaterisasi", yaitu
menciptakan panggung-panggung yang "tidak biasa", "orisinal",
dan "unik"-termasuk blusukan itu.
Khalayak sasarannya, yang kemudian berubah menjadi pemilih loyal
dalam pemilihan yang lalu, memang terpesona, terpana, terpanggil, atau paling
tidak terhibur. Puncak keterpesonaan itu adalah Pesta Rakyat beberapa saat
setelah pelantikan, ketika ratusan ribu orang mengantar sang Presiden dan
wakilnya ke Istana Negara. Sepanjang sejarah Republik, belum ada peristiwa
yang menandingi "teater" hari itu.
Setelah itu, semestinya Jokowi sadar bahwa ia sudah pindah ke
ranah yang lain. Dia sudah menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan,
yang terikat pada sejumlah tata krama dan tata protokoler yang hampir berlaku
sama di semua negara modern. Mengumumkan struktur dan personalia kabinet di
Tanjung Priok, misalnya, memang bisa disebut "membuat sejarah".
Belum ada satu pun presiden di seluruh dunia yang pernah mengumumkan
kabinetnya di Tanjung Priok.
Pertanyaannya sederhana: apakah "teater" itu memang
urgen? Dalam kondisi batal saja, event tak jadi itu menghabiskan biaya sekitar
Rp 500 juta. Jika dibelikan gerobak bakso-yang melekat kepada komunitas
profesi yang pertama kali disebut Jokowi dalam pidatonya sebagai
presiden-uang itu bisa dibelikan sekitar 200 gerobak bakso.
Panggung Jokowi sekarang adalah panggung kenegaraan. Sebaiknya
ia belajar banyak dari wakilnya, Jusuf Kalla, pengusaha dan negarawan
berpengalaman yang selalu tenang, tidak grasa-grusu, tidak gumunan, tidak
kagetan, dan karena itu tidak over
acting. Ucu-demikian Kalla biasa disapa-memang bukan figur yang bergelora,
yang berapi-api, yang mudah dibaca. Hanya satu hal yang bisa dipastikan dari
dia, yaitu menjaga stabilitas kumisnya yang-kalau meminjam ungkapan lama-tak
ubahnya semut beriring.
Peneliti Burhanuddin Muhtadi benar belaka ketika mengatakan
sebaiknya Jokowi mengurangi berbicara banyak. Sebaiknya ia memulai
pekerjaannya sebagaimana ia menjanjikan hal yang akan dilakoni pada masa
kepresidenannya. Ketertundaan pengumuman kabinet, bagaimanapun, sudah
berhasil menciptakan bahan guyonan yang tidak menguntungkan baginya.
Filosofi pembangunan yang "berpaling ke samudra"
memang baik-baik saja. Tapi itu tidak berarti bahwa semua acara kenegaraan
harus dilakukan di Tanjung Priok, di Bawean, di Kenjeran, atau di Cilamaya.
Bayangkan jika pengumuman kabinet itu jadi diselenggarakan di Tanjung Priok.
Berapa ratus-bahkan ribu-petugas keamanan yang harus dikerahkan untuk
mensterilkan paling tidak sekujur Jakarta Utara? Berapa gerobak bakso
yang bisa dibeli sebagai pengganti "teater" pencitraan itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar