Selamat
Bekerja Presiden
Abdul Hamid ; Peneliti Reform Institute
|
REPUBLIKA,
20 Oktober 2014
Usai sudah hiruk pikuk politik pemilihan presden yang melelahkan, serta
kegaduhan memperebutkan kursi pimpinan DPR dan MPR. Kini saatnya presiden
terpilih, Jokowi-JK, dilantik.
Kita bersyukur menjelang pelantikan ini suasana perseteruan politik
mulai cair. Rivalitas kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) tensinya mereda. Sejumlah pertemuan hangat antartokoh kedua kubu
itu, yang berlangsung cepat hari-hari terakhir ini, memberi pendidikan
politik berharga bagi bangsa.
Beginilah seharusnya berpolitik dan berdemokrasi yang baik. Kita
menyaksikan lahirnya sikap kenegarawanan.
Kepada Pak Presiden, selamat bekerja juga kepada partai oposisi (KMP)
di parlemen. Satu hal yang patut diingat bahwa politik adalah tindakan, bukan
kata-kata.
Dalam pandangan pemikiran politik Islam, Anda sedang menjalankan
kewajiban fardhu kifayah. Sementara
mandat yang diberikan rakyat bukanlah sesuatu yang ada begitu saja karena
sebagai warga negara. Mandat itu bersumber dari kedaulatan yang diamanatkan
kepada setiap manusia, dalam hal ini warga negara, oleh Tuhan pemilik
mutlaknya.
Saya yakin juga berlaku pada agama lain; isyaratnya dapat ditangkap
dari adigium vox populi vox dei,
yang sering dihubungkan dengan William of Malmesbury, yang berbeda dengan
pandangan sekuler Barat. Dan karena negeri ini berketuhanan, saya kira itulah
konsep kedaulatannya.
Karena itu Anda harus bertangung jawab, sebagaimana warga negara itu
bertanggung jawab kepada Tuhan ketika mengamanatkan mandat kedaulatan
tersebut kepada Anda, mencoblos gambar Anda.
Dalam konteks demikian, Pak Presiden dan para anggota parlemen bukan
hanya dituntut memenuhi janjinya. Memang, "janji adalah utang". Itu
tidak cukup, sebab pemenuhan janji hanya sebatas pada apa yang di jan jikan.
Hak politik yang dimiliki rakyat, yang kemudian memilih Anda sebagai
presiden atau anggota parlemen, karena itu hindarkan bertindak congkak,
tanggung jawab pemenuhannya meliputi seluruh aspek, bersifat kemanusiaan dan rubbu- biyah, dalam sektor politik,
ekono mi, sosial dan lain sebagainya, yang dapat dirangkumkan dalam konsep
"kemaslahatan". Anda adalah presiden dan anggota parlemen untuk
seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali dan kepada mereka seluruhnya Anda
bertanggung jawab mewujudkan kemaslahatan tersebut.
Hal lain yang penting disadari, sepan jang situasi pemilihan presiden
yang baru lalu masyarakat terpolarisasi sedemikian rupa. Sesungguhnya itu
situasi politik biasa dan bersifat sementara. Buktinya, kini masyarakat sudah
cair kembali.
Yang ingin dikemukakan di sini, polarisasi itu sesungguhnya
merefleksikan suatu situasi yang signifikan, yang semestinya mendapatkan
perhatian serius.
Bahwa polarisasi itu merupakan manifestasi dari adanya dua arus besar
keresahan yang sangat mendasar pada masyarakat kita, yaitu: (1) hilangnya sikap
kerakyatan para pemimpin, dan (2) hilangnya harga diri bangsa.
Keresahan ini demikian meluas, yang dapat ditunjukkan dari hasil
berbagai survei. Figur Jokowi menjadi simbolisasi bagi keresahan yang pertama;
sedangkan Prabowo pada keresahan kedua. Kita dapat mengecek kesimpulan ini
dari profil pemilihnya.
Hasil pilpres yang selisihnya tidak besar, juga menunjukkan meluasnya
kedua keresahan itu. Sementara, mengapa situasi demikian bisa terjadi,
analisisnya bisa macam-macam. Setidaknya, hilangnya sikap kerakyatan para
pemimpin, kita dapat menduga itu merupakan produk struktur politik kita yang
menumbuhkan sikap elitisme. Reformasi nyatanya juga gagal, atau memang tidak
hirau, untuk membangun sis tem politik yang ber kerakyat an. Ku - atnya
pengaruh partai politik pada era reformasi, ternyata hanya menumbuhkan
partokrasi.
Sementara krisis ekonomi dan recoveryyang dicapai peme rintah an masa
reformasi belum memungkinkan bangsa ini bisa merasa bangga sebagaimana pernah
dicapai Orde Baru se ba gai "macan Asia''; atau masa Soekarno yang
berani me ngatakan tidak"
atau bahkan me lawan dominasi asing.
Kri sis ekonomi memberi dampak luar biasa terhadap rasa harga diri
bangsa.
Jangan dipandang ini soal remeh.
Buku klasik The History of Modern Civilization, ditulis Gustave
Decoudray (18 - 91), memberi peringatan yang baik.
Dikatakan, runtuhnya imperium Romawi salah satunya disebabkan meluasnya
dan berkembangnya elitisme dan pola hidup mewah di kalangan penguasa; serta
hilangnya kebanggaan atau har ga diri Romawi yang me lembaga sejak zaman
Carocala, sehingga se mangat nasional- isme kehilangan pamor nya dan tidak
lagi mampu membangkit kan semangat warga bang sanya.
Kita dapat merefleksikan situasi demikian pada negeri kita.
Otonomi daerah, misalnya, justru memperluas elitisme, melahirkan
"raja-raja kecil".
Ini bukan salah kebijakannya, tapi karena struktur politiknya.
Saya ingin mengatakan bahwa persoalan ini sungguh serius.Sebab gejala
dan faktor penyebab yang sama juga ter jadi pada sejarah keruntuhan im perium
Mongolia dan imperium-imperium besar Islam. Pak Presiden dan Ba pak/Ibu para
anggota DPR, jika nanti membuat kebijakan atau undang undang, seyogianya mempertimbangkan bahwa
poin-poin pasal atau peraturan yang dibuatnya itu harus mengandung kedalaman
visi dan lo gika menyangkut masalah ini.
Prihatinlah bahwa suasana dekaden hampir menyelubungi seluruh sendi
kehidupan bangsa ini, di semua bidang: politik, hukum, sosial, dan bidang
ekonomi.
Adanya oposisi yang kuat jangan disesalkan. Ibarat "arus
plus" dan "arus minus", bila bertemu akan menghasilkan arus
listrik.
Ada nilai tambah yang dihasilkan dalam bahasa agama disebut keberkahan
tergantung komitmen kita untuk dimanfaatkan pada kepentingan apa. Demikian
pula pemerintah versus oposisi; dinamikanya akan menghasilkan keberkahan,
misalnya tumbuhnya check and balances, yang sangat diperlukan untuk
menyehatkan kehidupan demokrasi dan bernegara. Tetapi jangan pula dilupakan
bahwa Pancasila mengamanatkan semangat bermusyawarah dan gotong-royong;
artinya bahwa dalam dinamikanya harus bersinergi.
Oposisi harus bernalar, jangan picik. Begitu pula pemerintah, jangan
pongah, kekuasaan bukan untuk dinikmati. Selamat bekerja untuk menuju baldatun thoyyibatun warobbun ghafur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar