Jumat, 24 Oktober 2014

Selamat Bekerja Presiden

Selamat Bekerja Presiden

Abdul Hamid  ;  Peneliti Reform Institute
REPUBLIKA, 20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Usai sudah hiruk pikuk politik pemilihan presden yang melelahkan, serta kegaduhan memperebutkan kursi pimpinan DPR dan MPR. Kini saatnya presiden terpilih, Jokowi-JK, dilantik.

Kita bersyukur menjelang pelantikan ini suasana perseteruan politik mulai cair. Rivalitas kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tensinya mereda. Sejumlah pertemuan hangat antartokoh kedua kubu itu, yang berlangsung cepat hari-hari terakhir ini, memberi pendidikan politik berharga bagi bangsa.

Beginilah seharusnya berpolitik dan berdemokrasi yang baik. Kita menyaksikan lahirnya sikap kenegarawanan.

Kepada Pak Presiden, selamat bekerja juga kepada partai oposisi (KMP) di parlemen. Satu hal yang patut diingat bahwa politik adalah tindakan, bukan kata-kata.

Dalam pandangan pemikiran politik Islam, Anda sedang menjalankan kewajiban fardhu kifayah. Sementara mandat yang diberikan rakyat bukanlah sesuatu yang ada begitu saja karena sebagai warga negara. Mandat itu bersumber dari kedaulatan yang diamanatkan kepada setiap manusia, dalam hal ini warga negara, oleh Tuhan pemilik mutlaknya.

Saya yakin juga berlaku pada agama lain; isyaratnya dapat ditangkap dari adigium vox populi vox dei, yang sering dihubungkan dengan William of Malmesbury, yang berbeda dengan pandangan sekuler Barat. Dan karena negeri ini berketuhanan, saya kira itulah konsep kedaulatannya.

Karena itu Anda harus bertangung jawab, sebagaimana warga negara itu bertanggung jawab kepada Tuhan ketika mengamanatkan mandat kedaulatan tersebut kepada Anda, mencoblos gambar Anda.

Dalam konteks demikian, Pak Presiden dan para anggota parlemen bukan hanya dituntut memenuhi janjinya. Memang, "janji adalah utang". Itu tidak cukup, sebab pemenuhan janji hanya sebatas pada apa yang di jan jikan.

Hak politik yang dimiliki rakyat, yang kemudian memilih Anda sebagai presiden atau anggota parlemen, karena itu hindarkan bertindak congkak, tanggung jawab pemenuhannya meliputi seluruh aspek, bersifat kemanusiaan dan rubbu- biyah, dalam sektor politik, ekono mi, sosial dan lain sebagainya, yang dapat dirangkumkan dalam konsep "kemaslahatan". Anda adalah presiden dan anggota parlemen untuk seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali dan kepada mereka seluruhnya Anda bertanggung jawab mewujudkan kemaslahatan tersebut.

Hal lain yang penting disadari, sepan jang situasi pemilihan presiden yang baru lalu masyarakat terpolarisasi sedemikian rupa. Sesungguhnya itu situasi politik biasa dan bersifat sementara. Buktinya, kini masyarakat sudah cair kembali.

Yang ingin dikemukakan di sini, polarisasi itu sesungguhnya merefleksikan suatu situasi yang signifikan, yang semestinya mendapatkan perhatian serius.
Bahwa polarisasi itu merupakan manifestasi dari adanya dua arus besar keresahan yang sangat mendasar pada masyarakat kita, yaitu: (1) hilangnya sikap kerakyatan para pemimpin, dan (2) hilangnya harga diri bangsa.

Keresahan ini demikian meluas, yang dapat ditunjukkan dari hasil berbagai survei. Figur Jokowi menjadi simbolisasi bagi keresahan yang pertama; sedangkan Prabowo pada keresahan kedua. Kita dapat mengecek kesimpulan ini dari profil pemilihnya.

Hasil pilpres yang selisihnya tidak besar, juga menunjukkan meluasnya kedua keresahan itu. Sementara, mengapa situasi demikian bisa terjadi, analisisnya bisa macam-macam. Setidaknya, hilangnya sikap kerakyatan para pemimpin, kita dapat menduga itu merupakan produk struktur politik kita yang menumbuhkan sikap elitisme. Reformasi nyatanya juga gagal, atau memang tidak hirau, untuk membangun sis tem politik yang ber kerakyat an. Ku - atnya pengaruh partai politik pada era reformasi, ternyata hanya menumbuhkan partokrasi.

Sementara krisis ekonomi dan recoveryyang dicapai peme rintah an masa reformasi belum memungkinkan bangsa ini bisa merasa bangga sebagaimana pernah dicapai Orde Baru se ba gai "macan Asia''; atau masa Soekarno yang berani me ngatakan tidak"
atau bahkan me lawan dominasi asing.


Kri sis ekonomi memberi dampak luar biasa terhadap rasa harga diri bangsa.
Jangan dipandang ini soal remeh.


Buku klasik The History of Modern Civilization, ditulis Gustave Decoudray (18 - 91), memberi peringatan yang baik.


Dikatakan, runtuhnya imperium Romawi salah satunya disebabkan meluasnya dan berkembangnya elitisme dan pola hidup mewah di kalangan penguasa; serta hilangnya kebanggaan atau har ga diri Romawi yang me lembaga sejak zaman Carocala, sehingga se mangat nasional- isme kehilangan pamor nya dan tidak lagi mampu membangkit kan semangat warga bang sanya.

Kita dapat merefleksikan situasi demikian pada negeri kita.
Otonomi daerah, misalnya, justru memperluas elitisme, melahirkan "raja-raja kecil".

Ini bukan salah kebijakannya, tapi karena struktur politiknya.

Saya ingin mengatakan bahwa persoalan ini sungguh serius.Sebab gejala dan faktor penyebab yang sama juga ter jadi pada sejarah keruntuhan im perium Mongolia dan imperium-imperium besar Islam. Pak Presiden dan Ba pak/Ibu para anggota DPR, jika nanti membuat kebijakan atau undang  undang, seyogianya mempertimbangkan bahwa poin-poin pasal atau peraturan yang dibuatnya itu harus mengandung kedalaman visi dan lo gika menyangkut masalah ini.

Prihatinlah bahwa suasana dekaden hampir menyelubungi seluruh sendi kehidupan bangsa ini, di semua bidang: politik, hukum, sosial, dan bidang ekonomi.


Adanya oposisi yang kuat jangan disesalkan. Ibarat "arus plus" dan "arus minus", bila bertemu akan menghasilkan arus listrik.

Ada nilai tambah yang dihasilkan dalam bahasa agama disebut keberkahan tergantung komitmen kita untuk dimanfaatkan pada kepentingan apa. Demikian pula pemerintah versus oposisi; dinamikanya akan menghasilkan keberkahan, misalnya tumbuhnya check and balances, yang sangat diperlukan untuk menyehatkan kehidupan demokrasi dan bernegara. Tetapi jangan pula dilupakan bahwa Pancasila mengamanatkan semangat bermusyawarah dan gotong-royong; artinya bahwa dalam dinamikanya harus bersinergi.

Oposisi harus bernalar, jangan picik. Begitu pula pemerintah, jangan pongah, kekuasaan bukan untuk dinikmati. Selamat bekerja untuk menuju baldatun thoyyibatun warobbun ghafur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar