MEA
2015, Digadang dalam Kecemasan
Wahyu T Setyobudi ; Staf
Pengajar PPM School of Management
|
KORAN
SINDO, 27 Oktober 2014
Wajar jika malam pertama selalu menjadi peristiwa menegangkan
bagi para pengantin baru. Berita simpang siur yang kemudian dirangkai dengan
bayangan ciptaan sendiri, akhirnya menyebabkan pikiran berkecamuk dalam benak
mereka.
Bukan malam pertama namanya jika sebelumnya telah memiliki
pengalaman. Dengan demikian, perasaan gelisah yang khas timbul sebagai
perpaduan antara rasa penasaran dan ketakutan karena kurang pemahaman. Saking
banyaknya peristiwa lucu yang timbul karena situasi seperti ini, sehingga
cukup untuk direkam dalam sebuah buku Mati Ketawa ala Malam Pertama .
Perasaan ini nampaknya menjadi analogi sempurna bagi perasaan
dunia bisnis Indonesia menyambut diresmikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
tahun 2015. Belakangan ini, kolom bisnis dari berbagai media seakan berlomba
menjadikannya sebagai tema utama, menghadirkan berbagai informasi tentang
MEA.
Berbagai pengamat diundang untuk memberikan analisis, seberapa
siap Indonesia menghadapi era keterbukaan di mana aliran produk, tenaga
kerja, dan modal dibuka seluas-luasnya. Saat itu, jika tibamasanya, wilayah
ASEAN akan menjadi satu kolam ekonomi besar, di mana ikan-ikan bebas
menjelajah sudut manapun dari kolam yang paling banyak menyimpan makanan dan
udara bersih. Keadaan seperti ini tentu mencemaskan. Seiring dengan peluang
yang terbuka lebar muncul pula tantangan yang sama besarnya.
Perdebatan tentang seberapa siap Indonesia menghadapi MEA, dalam
pandangan saya merupakan perdebatan yang salah arah. Siap atau tidak siap,
era MEA akan datang, sehingga kesiapan bukanlah menjadi isu utama. Sejak dicanangkannya
niat untuk melaksanakan kawasan ekonomi terpadu dalam Bali Concorde II tahun
2003 dan ditegaskan pada KTT ASEAN ke-12 tahun 2007 yang menghasilkan
kesepakatan untuk percepatan terwujudnya MEA di tahun 2015, kita praktis
memiliki 12 tahun untuk mempersiapkan diri. Nyatanya, hingga kini, belum ada
langkah-langkah sistematis yang dilihat signifikan untuk mengangkat kesiapan
Indonesia.
Bukan salah Hofstede ketika merumuskan konsepnya yang terkenal
sebagai National Culture Theory , menyebut Indonesia memiliki uncertainty
avoidance rendah. Dimensi yang menunjukkan seberapa terancam masyarakat di
suatu negara dengan situasi yang ambigu atau tidak menentu, sehingga
mendorong munculnya tindakan untuk menghindari keadaan tersebut, ternyata
secara kultural memang tidak mengemuka di Indonesia. Karakter ini jika
mewujud dalam fleksibilitas aksi dalam menghadapi era chaos dan turbulensi
tentu baik. Namun sayangnya, sering kali ia juga manifes dalam budaya
kebijakan dadakan atau SKS (sistem kebut semalam) dalam perumusan platform
ekonomi jangka panjang.
Melihat kenyataan ini, nampaknya dunia bisnis Indonesia harus
realistis melihat bahwa kita sendiri-sendiri dalam menghadapi keadaan ini.
Kesiapan pemerintah yang diwujudkan melalui peraturan yang mengungkit daya
saing bisnis nasional nampaknya hanya bisa diharapkan, jika memang terwujud
di pemerintahan baru, kita anggap saja sebagai bonus. Namun prinsipnya,
lakukan apa yang bisa dilakukan, yakni meningkatkan daya saing perusahaan di
level ASEAN.
Ada paling tidak tiga hal yang menjadi kunci bagi meningkatnya
daya saing tersebut, yaitu operational excellent, customer relationship, dan
innovation . Sebaik apapun bungkus, lambat laun kualitas isi akan terlihat
juga. Dengan demikian, kesempurnaan operasi untuk menghasilkan isi yang super
baik adalah hal yang utama.
Jika sebelumnya kesalahan-kesalahan kecil dapat ditoleransi,
dalam era mendatang janganlah macam-macam, menganggap remeh kesalahan.
Pesaing lintas negara akan merangsek masuk dan menawarkan kualitas produk
yang lebih serius. Gunakan berbagai macam cara untuk menjamin kualitas, mulai
dari penerapan quality assurance, continous improvement, dan pengelolaan
supply chain yang maksimal.
Berikutnya memperkuat hubungan pelanggan. Jika nanti telah masuk
era MEA, pemain dalam industri semakin banyak, sehingga pelanggan memiliki
pilihan. Hal ini berakibat pada perilaku pelanggan yang semakin demanding.
Dalam kondisi seperti ini, jangankan menambah pelanggan baru, mempertahankan
pelanggan lama saja sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karenanya, perusahaan
mau atau tidak mau harus merancang suatu taktik untuk mengikat pelanggan
(customer bonding ). Dari jauh hari, petakan pelanggan utama Anda dan
pikirkan cara untuk melindungi hubungan bisnis.
Perusahaan dapat merancang memberikan bonus terhadap volume atau
frekuensi pembelian atau yang kita sebut sebagai financial bonding . Ikatan
yang lebih kuat dapat diraih dengan menerapkan social bonding, atau mengikat
para pelanggan melalui komunitas sosial yang dibangun. Untuk menerapkan hal
ini, Anda dapat mengadakan gathering-gathering,
dan memelihara hubungan terus-menerus dengan pelanggan, serta membangun
database yang unggul.
Penguatan terakhir yang merupakan kebutuhan mutlak adalah
pengelolaan inovasi dalam perusahaan. Inovasi tidak selamanya berbentuk
produk baru yang belum pernah ada sebelumnya, namun dapat berupa packaging
baru, feature baru, varian baru, atau penyempurnaan dari yang sudah ada.
Selain itu, inovasi dalam proses produksi dan sourcing , perlu juga menjadi
perhatian. Agar inovasi dapat membudaya, diperlukan suatu pengelolaan yang
dilakukan secara terencana.
Demikianlah beberapa hal yang dapat dilakukan perusahaan dalam
menghadapi MEA yang tinggal sejarak kedipan mata. Kesiapan tidak mungkin
terwujud tanpa persiapan. Ibarat pertandingan bola yang telah memasuki injury time, program penyiapan daya
saing dan strategi organisasi ini perlu dan sudah selayaknya menjadi crash
program bagi para pelaku bisnis. Semoga direalisasikannya MEA lebih banyak
mendatangkan manfaat daripada mudarat bagi dunia bisnis nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar