NIIS
dan Kegagalan Merekayasa Negara
Vedi R Hadiz ; Guru
Besar Masyarakat dan Politik Asia,
Murdoch University, Australia
|
KOMPAS,
27 Oktober 2014
KEMUNCULAN Negara Islam di Irak dan Suriah adalah bukti
ketidakberhasilan kebijakan yang didukung Barat untuk menghadapi kondisi
negara gagal (state failure) yang
dianggap berpotensi menciptakan bahaya geostrategis.
Inilah kebijaksanaan membangun negara, lengkap dengan segala
perangkat institusionalnya, lewat proses rekayasa politik yang didasari
asumsi teknokratis, tetapi miskin pengetahuan sosiologis dan sejarah. Kiprah
NIIS amat berkaitan dengan ketidakmampuan AS dan sekutunya membangun
perangkat negara baru di Irak setelah kejatuhan Saddam Hussein yang, selain
lebih demokratis, lebih akomodatif terhadap kepentingan mereka.
Hal ini saya kemukakan walau disertai beberapa catatan: (a)
bahwa negara gagal di Irak telah disebabkan oleh upaya mengadakan perubahan
rezim (regime change); (b) perkembangan
NIIS juga berkaitan erat dengan konflik politik berkepanjangan di negeri
tetangga, Suriah; dan (c) upaya melakukan rekayasa politik serupa tampak
menemui kegagalan pula di negeri-negeri seperti Afganistan dan Libya.
Kritik saya terhadap upaya rekayasa politik bukan dimaksudkan
untuk membela rezim-rezim bengis yang mendahuluinya. Kritik ditujukan pada
salah kaprahnya para pembuat kebijaksanaan yang menyangka bahwa bentuk negara
bisa dirancang begitu saja sesuai dengan selera tanpa perhatian yang cukup
terhadap konstelasi kekuatan sosial yang ada.
Tampaknya mereka berpikir negara yang koheren dan efektif dapat
diciptakan lewat pilihan-pilihan yang tepat tentang jenis institusi yang
sepantasnya mengatur kehidupan politik dan ekonomi (baca: demokrasi yang
bertautan dengan pasar global). Bukannya menghasilkan negara baru yang
transparan, efisien, dan akuntabel, yang diproduksi malah negara yang
disfungsional dan tak punya legitimasi. Kondisi seperti inilah yang
memberikan lingkungan yang mendukung perkembangan fenomenal negara Islam di
Irak, terutama setelah ada imbas dari konflik Suriah.
Dalam kenyataannya, basis sosial bagi negara liberal-demokratis
seperti dibayangkan para ahli dan konsultan politik yang dimobilisasi
membangun ”Irak baru” setelah Saddam Hussein tak pernah ada. Negara seperti
ini perlu ditunjang kelas menengah independen, borjuasi matang yang mampu
bertarung di pasar global, dan tradisi masyarakat madani (civil society) yang mengakar.
Terlebih lagi semua perkembangan ke arah demokrasi telah
direpresi pemerintahan Partai Baathis sehingga elemen reformis liberal di
masyarakat, apalagi sosial demokratis, tidak punya tempat. Pada akhir masa
Saddam, civil society Irak ditandai dengan pengelompokan kesukuan dan
keagamaan yang bersinggungan dengan struktur patronase politik dan ekonomi
yang jadi landasan otoriterisme negara.
Politik sektarian
Karena latar belakang inilah, politik sektarian berkembang cepat
ketika negara otoriter lenyap secara tiba-tiba tanpa adanya gerakan dalam masyarakat
untuk membangun negara dalam model liberal. Kaum minoritas Sunni di Irak
merasa terpinggirkan oleh negara yang kini cenderung dikuasai kaum Syiah.
Patut dicatat, pada zaman Saddam Hussein kaum Sunni justru lebih diuntungkan
negara, sementara kaum Syiah-lah yang terpinggirkan.
Tak mengherankan kalau banyak elemen eks Partai Baathis
bergabung dengan NIIS yang bangkit dari wilayah-wilayah Sunni. Untuk menambah
kompleksitas situasi, suku Kurdi sudah lama punya aspirasi nasional sendiri,
bersama dengan saudara-saudara mereka yang berserakan di Turki dan Iran.
Namun, perlu disadari, konflik sektarian yang muncul tidaklah
lepas dari kompetisi untuk harta dan kuasa. Di manakah kekayaan minyak Irak
pada umumnya ditemukan? Di sebelah utara, yang merupakan wilayah tradisional
orang Kurdi, dan di selatan; wilayah yang pada umumnya dihuni kaum Syiah.
Namun, kalau kita tarik lebih ke belakang, konflik Irak—juga
Timur Tengah secara umum—sulit dipisahkan dari upaya sebelumnya untuk
merekayasa sejumlah negara ”baru” (Toby
Dodge, 2006). Setelah ambruknya Kesultanan Usmaniyah pada awal abad
ke-20, Irak ”tercipta” melalui penggabungan tiga wilayah yang tadinya
diperintah secara terpisah. Bahkan, sebagian peta Timur Tengah modern
merupakan hasil Perjanjian Sykes-Picot antara Inggris dan Perancis yang
bertujuan membagi bekas provinsi kesultanan itu.
Suriah jatuh ke tangan Perancis berdasarkan mandat dari Liga
Bangsa-Bangsa, sedangkan Irak ke tangan Inggris. Akibatnya, penduduk dengan
ciri sosiologis yang amat kompleks digabungkan dalam negara kolonial yang
batas wilayahnya ditentukan menurut kepentingan geostrategis. Sulitnya,
aliansi-aliansi berdasarkan suku dan aliran agama semakin diperkuat di
dalamnya.
Pada masa pasca kolonial, kaum minoritas Sunni menguasai aparat
negara Irak, sedangkan kaum minoritas Alevi tampil sebagai penguasa di
Suriah, terutama setelah dominasi keluarga Assad dalam kancah politik. Di
bawah permukaan stabilitas yang dipelihara lewat tangan besi ternyata rasa
permusuhan antar-golongan makin meruncing berkat pola alokasi kekuasaan dan
sumber daya berdasarkan hubungan patronase yang diatur negara otoriter. Jika
dilihat berdasarkan perspektif ini, salah satu sumber konflik di Timur Tengah
dapat ditemukan dalam upaya berulang yang kurang berhasil untuk merekayasa
negara-negara baru walaupun untuk alasan berbeda sesuai dengan kebutuhan
zaman.
Namun, saya tidak bermaksud mengutarakan suatu argumen
kontinuitas sejarah belaka. Konflik sektarian di Irak yang dimanfaatkan
dengan jitu oleh NIIS tak mungkin terjadi kalau solidaritas kelompok yang
punya akar sejarah tak bercampur dengan keharusan untuk berkompetisi
menguasai sumber daya dan kekayaan dalam konteks ketidakhadiran negara pusat
yang dipercaya. Dengan demikian, konflik yang tampak sebagai konflik Sunni-Syiah
sebenarnya didorong oleh kompetisi buas untuk mendapatkan jaminan akan harta
dan kuasa, bukan masalah keagamaan semata. Lebih jauh lagi, konflik itu
berkaitan dengan kegagalan rekayasa politik Barat yang tidak menghiraukan
realitas sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar