Sabtu, 25 Oktober 2014

Norma Etika Kenegarawanan

Norma Etika Kenegarawanan

Dadan Sidqul Anwar  ;  Peneliti bidang integritas dan good governance di LAN RI dan Institute for Jurisprudence, Constitutional and Administrative Law,
Universiteit Utrecht
JAWA POS, 24 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


DALAM hajatan besar bangsa Indonesia, yakni pelantikan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden 2014–2019, kehadiran Prabowo –demikian juga dengan sapaan Jokowi kepada Prabowo sebagai rekan dan sahabat yang dibalas dengan penghormatan– memiliki arti tersendiri. Sebelumnya, setelah lama ditunggu-tunggu dan diharapkan publik, keduanya bertemu dan berkomunikasi dengan hangat.

Fenomena tersebut mengindikasikan pertarungan politik yang telah dilalui keduanya sejak pilpres, konflik hukum dan politik setelah keputusan KPU, sampai putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemenang piplres seakan hanya merupakan dinamika dan romantika dalam pertempuran politik. Bukan konflik yang tiada akhir yang akan terus memperpanjang permusuhan yang bisa mengganggu kinerja pemerintahan baru sehingga merugikan bangsa. Tentu saja, sebagaimana disorot berbagai pihak, fenomena tersebut meredakan tensi politik Indonesia. Bahkan menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia mampu berpolitik secara beradab.

Kecenderungan dinamika politik yang positif tersebut sebenarnya tidak hanya mendinginkan iklim politik dan mengharumkan nama Indonesia, tetapi lebih jauh dari itu, memberikan pelajaran yang berharga bagi bangsa ini tentang arti sebuah ’’etika kenegarawanan’’ yang dipentaskan dengan baik oleh dua petarung politik yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Sikap dan perilaku tersebut tentu patut menjadi pelajaran berharga bagi seluruh elemen bangsa, khususnya para pejabat negara.

Pelajaran Berharga: Etika Kenegarawanan

Seiring dengan semakin modernnya sistem kebangsaan kita yang ditandai, antara lain, demokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang politik dan pemerintahan, jangan sampai negara ini terjebak hanya pada dimensi-dimensi teknis modernisasi sistem politik serta pemerintahan. Memang betul, berbagai pendekatan yang baru dalam politik dan pemerintahan sebagaimana diaplikasikan di negara-negara maju perlu menjadi perhatian kita. Tetapi, aspek etika juga perlu mendapat perhatian. Bahkan, dalam konteks Indonesia, etika itu bisa dikatakan bagian dari jiwa (soul), sedangkan ranah teknis menjadi raganya. Jadi, kebebasan berekspresi dalam konteks demokrasi sangat perlu, tetapi akan lebih bermakna jika dilandasi perilaku etis kenegarawanan.

Etika itu terkait dengan norma apa yang seharusnya (what should be) sehingga suatu tindakan bisa dikatakan benar atau baik. Ada beberapa pendekatan untuk menilai sesuatu dikatakan baik atau benar. Salah satunya pendekatan deontology. Yakni,kebenaran suatu tindakan dilihat sebagai duty, tugas mulia yang seharusnya secara moral dilakukan, walaupun bisa jadi hasilnya menyakitkan (Kant, 1785). Sementara itu, kenegarawanan akan tecermin dalam sikap mementingkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Karena itu, etika kenegarawanan merupakan perilaku pengembanan tugas yang menjadikan kepentingan bangsa sebagai supremasi kepentingan. Tugas mulia itu bisa jadi berat karena harus menafikan ego pribadi dan kelompok. Tetapi, ketika tugas tersebut bisa dilakukan, ia akan memuliakan pengemban tugas dan membawa kemaslahatan publik.

Dari esensi etika kenegarawanan tersebut, kehadiran Prabowo dalam pelantikan presiden dan wakil presiden serta pertemuan sebelumnya antara Jokowi sebagai presiden terpilih dan Prabowo bisa dikategorikan sebagai manifestasi etika kenegarawanan tersebut. Buah tindakan itu adalah kemaslahatan publik yang dicerminkan dengan suasana politik Indonesia yang lebih damai, santun, stabil, dan bahkan menghasilkan politik kegembiraan serta menyejahterakan rakyat.

Sebaliknya, jika konflik terbuka antar keduanya terus terjadi, bisa jadi pertempuran politik yang tidak perlu akan terus mendera bangsa ini. Antarkoalisi partai terus bertikai. Demikian juga antar pendukung partai dan bahkan masyarakat luas bisa terbelah sehingga kekuatan kebersamaan bangsa terganggu.

Ke depan, pelajaran berharga itu tentu harus dimanifestasikan para pemimpin bangsa, baik di ranah eksekutif/birokrasi, legislatif, maupun yudikatif, bahkan oleh semua elemen bangsa ini. Konteks etika kenegarawanan juga tidak hanya dalam rivalitas politik di gelanggang pemilu, tetapi juga dalam aktivitas di semua gelanggang pemerintahan. Termasuk dalam memberikan pelayanan terbaik kepada warga dan tidak korupsi dalam melaksanakan tugas negara. Dengan diterapkannya etika kenegarawanan tersebut, negeri ini telah memiliki modal yang lebih besar dari uang untuk lari kencang menuju kejayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar