Jumat, 24 Oktober 2014

Revolusi Mental Media

Revolusi Mental Media

Nasrullah  ;  Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
REPUBLIKA, 16 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Dalam waktu yang hampir bersamaan, awal pekan ini, perhatian publik tertuju pada dua peristiwa berbeda: kedatangan pendiri dan CEO Facebook Mark Zuckerberg ke Indonesia dan beredarnya video kekerasan fisik terhadap murid sebuah SD di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Republika mengangkat kasus yang kedua dalam dua kali headline-nya (14 dan 15/10/2014). Meski tak saling terkait, dua peristiwa ini memiliki relevansi jika dihubungkan dengan gagasan membangkitkan revolusi mental presiden terpilih Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi. Keterhubungan itu terletak pada "revolusi mental media".

Pada peristiwa pertama, selain acara jalan-jalan ke Borobudur, Zuckerberg juga menemui Jokowi di Jakarta. Mereka bahkan melakukan blusukan ke Pasar Tanah Abang. Banyak pihak memaknai peristiwa ini sebagai dukungan bos Facebook itu kepada mantan gubernur DKI tersebut yang akan memimpin pemerintahan RI lima tahun ke depan.

Ada pula yang menyebut lebih pada kepentingan Facebook mencari perhatian netizen negeri ini yang merupakan pasar sangat potensial. Seperti diketahui, total penduduk Facebook dari Indonesia mencapai 70 juta pengguna. Angka tersebut merupakan peringkat ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan India. Besarnya pasar ini merupakan big fish to fray yang tak mungkin disia-siakan.

Dengan Zuckerberg, Jokowi "hanya" berbincang kemungkinan penggunaan Facebook untuk pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Zuckerberg sendiri ternyata juga "hanya" memberi masukan agar pengguna internet di Indonesia semakin banyak dan kencang.
Para pemerhati teknologi informasi sebenarnya berharap agar kedua tokoh itu juga serius mendiskusikan penempatan pangkalan data Facebook di Indonesia sebagai bentuk kompensasi besarnya market di sini. Kelompok ini tampaknya skeptis dengan kunjungan Zuckerberg yang dianggap memiliki agenda tersembunyi.

Sungguhpun masih sekadar basa-basi, pertemuan kedua tokoh paling tidak masih terkait dengan ide revolusi mental, yakni menjadikan teknologi informasi sebagai kebutuhan hidup yang dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat serta sebagai sarana pendidikan yang efektif. Pada titik ini pesan Jokowi yang bisa ditangkap adalah penanaman mental optimistis menghadapi era teknologi informasi dan media sosial.

Sebaliknya, pada peristiwa kekerasan fisik murid SD di Bukittinggi untuk kesekian kalinya kita disuguhi perilaku anak-anak sekolah yang memprihatinkan. Sebelumnya, betapa banyak pemberitaan tentang kekerasan, pemerkosaan, hingga pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak ataupun remaja yang disebabkan oleh hal-hal sepele.

Mereka melakukan tindakan konyol tak terkendali tanpa berpikir panjang. Terhadap teman yang lemah, mereka dengan gampang melakukan bullying bahkan mengejar bagai bermain video game perang-perangan yang baru akan berhenti jika lawan berhasil dilumpuhkan. Bullying di sekolah ini menempati angka tertinggi pada kasus pengaduan anak di sektor pendidikan sepanjang tahun 2011 hingga 2014 dengan total hampir 400 kasus (Republika, 15/10/2014).

Publik sering menuding bahwa perilaku itu bisa diakibatkan oleh kurangnya perhatian keluarga, guru, bahkan kedodorannya sistem pendidikan kita secara luas. Namun, juga tak dapat dielakkan bahwa media massa dan media sosial juga menjadi biang kerok tumpulnya sensitivitas anak-anak muda pada etika dan estetika.

Akibatnya, mereka tidak bisa membedakan realitas media dengan realitas sosial. Benarlah kata John Fiske dalam Media Matters (1994) bahwa realitas media dan peristiwa semakin sulit dibedakan karena semua realitas peristiwa yang dimediakan telah menjadi "media event".

Melihat keprihatinan tersebut agaknya sulit untuk menyebut bahwa sistem media yang kita anut saat ini sudah cukup aman dan sehat. Kita semakin terdesak oleh keadaan di mana semakin sulit menghindari serbuan media massa dan media sosial. Media telah memasuki ruang-ruang sosial dan psikologis anak dan keluarga, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Keniscayaan ini memaksa kita masuk ke dalam sebuah revolusi kelima dalam dunia pendidikan.

Revolusi pertama terjadi ketika keluarga menyerahkan pendidikan kepada guru dan dikenalnya lembaga sekolah. Revolusi kedua terjadi ketika masyarakat mengenal budaya tulis sehingga media pembelajaran dapat didokumentasikan. Revolusi ketiga terjadi setelah ditemukannya mesin cetak yang memungkinkan bahan pembelajaran diperbanyak dalam bentuk buku atau material lainnya.

Revolusi keempat meledak setelah radio dan televisi memasuki ruang-ruang kelas, ruang keluarga, dan menyebarkan informasi dengan cepat dan serempak. Dan, revolusi kelima, terjadi saat ini di mana semua orang bisa menjadi komunikator, saling terkoneksi melalui jejaring internet, menjadi pemain dalam media yang dapat di-share kepada siapa saja dan oleh karenanya kontennya semakin sulit dikontrol.

Siapa pun bisa menggunakan media untuk kepentingannya. Beredarnya video kekerasan melalui media sosial Youtube merupakan salah satu contoh bahwa kekerasan di media massa dengan mudah ditransformasi dalam realitas peristiwa dan kemudian dijadikan "media event" di-share kepada khalayak.
  
Keprihatinan masyarakat atas berbagai ekses media tersebut selama ini sering menjadi wacana saja. Usaha untuk mendesak political will pemerintah untuk mengintervensi media agar lebih selektif memilih program menjadi upaya yang sia-sia karena saat ini negara memang tidak berhak lagi banyak mengatur isi media. Mengadu kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga serupa karena kewenangan lembaga kuasinegara ini juga tak begitu bertaring. Alhasil bola ada di tangan pemilik dan pengelola media serta pada khalayak yang cerdas dan kritis.

Di sinilah revolusi mental media menemui urgensinya. Media harus menjadi bagian dari perjuangan rakyat mewujudkan jargon Trisakti Bung Karno yang tenar lagi setelah didengungkan kembali oleh Jokowi itu. Media harus dapat diandalkan menjadi sarana untuk mempertegas kedaulatan, memperkuat kemandirian, dan membentuk kepribadian.

Untuk mempertegas kedaulatan politik, media dari manapun asalnya harus tunduk pada kaidah hukum kita. Mereka bisa menggunakan teknologi informasi yang super canggih, tetapi jangan sampai mengacak-acak NKRI. Dalam hal ini, Facebook, misalnya, harus membuka diri untuk kita awasi agar tidak menjadi media pemecah belah, perusak akhlak generasi muda, dan penetrasi budaya asing melalui ajaran-ajaran baru yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.

Sedangkan untuk memperkuat kemandirian ekonomi, seharusnya media asing harus memberi kontribusi lebih besar lagi bagi masyarakat, misalnya, dengan membuka kantor atau pusat pangkalan data yang dapat membuka peluang investasi dan lowongan kerja profesional. Dan, akhirnya demi menjaga martabat budaya kita maka harus dipastikan media memberi pengaruh positif pada penanaman nilai-nilai luhur masyarakat, mendidik, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kita tentu tidak mau jika kehadiran Zuckerberg yang membawa angin segar bagi dunia teknologi informasi dan media sosial justru meningkatkan eskalasi kasus bullying pada anak-anak sekolah. Juga tidak mungkin kita membiarkan mentalitas bangsa kita semakin tidak sensitif terhadap lingkungan sekitar.

Kita tetap menunggu, berharap, dan optimistis tim persiapan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla telah menentukan arah kebijakan bidang media yang revolusioner. Kita juga yakin calon menteri komunikasi dan informatika atau apa pun namanya sudah siap dengan segudang PR di depan mata. Yang jelas dia harus siap melakukan revolusi mental media. Setidaknya harus dapat membuktikan bahwa media adalah bagian tak terpisahkan dalam membentuk karakter bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar