Revolusi
Mental Media
Nasrullah ; Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
|
REPUBLIKA,
16 Oktober 2014
Dalam waktu yang hampir bersamaan, awal pekan ini, perhatian publik
tertuju pada dua peristiwa berbeda: kedatangan pendiri dan CEO Facebook Mark
Zuckerberg ke Indonesia dan beredarnya video kekerasan fisik terhadap murid
sebuah SD di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Republika mengangkat kasus yang kedua dalam dua kali headline-nya (14
dan 15/10/2014). Meski tak saling terkait, dua peristiwa ini memiliki
relevansi jika dihubungkan dengan gagasan membangkitkan revolusi mental
presiden terpilih Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi. Keterhubungan itu
terletak pada "revolusi mental media".
Pada peristiwa pertama, selain acara jalan-jalan ke Borobudur,
Zuckerberg juga menemui Jokowi di Jakarta. Mereka bahkan melakukan blusukan
ke Pasar Tanah Abang. Banyak pihak memaknai peristiwa ini sebagai dukungan
bos Facebook itu kepada mantan gubernur DKI tersebut yang akan memimpin
pemerintahan RI lima tahun ke depan.
Ada pula yang menyebut lebih pada kepentingan Facebook mencari
perhatian netizen negeri ini yang merupakan pasar sangat potensial. Seperti
diketahui, total penduduk Facebook dari Indonesia mencapai 70 juta pengguna.
Angka tersebut merupakan peringkat ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, Cina,
dan India. Besarnya pasar ini merupakan big
fish to fray yang tak mungkin disia-siakan.
Dengan Zuckerberg, Jokowi "hanya" berbincang kemungkinan
penggunaan Facebook untuk pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Zuckerberg sendiri ternyata juga "hanya" memberi masukan agar
pengguna internet di Indonesia semakin banyak dan kencang.
Para pemerhati teknologi informasi sebenarnya berharap agar kedua tokoh
itu juga serius mendiskusikan penempatan pangkalan data Facebook di Indonesia
sebagai bentuk kompensasi besarnya market di sini. Kelompok ini tampaknya
skeptis dengan kunjungan Zuckerberg yang dianggap memiliki agenda tersembunyi.
Sungguhpun masih sekadar basa-basi, pertemuan kedua tokoh paling tidak
masih terkait dengan ide revolusi mental, yakni menjadikan teknologi
informasi sebagai kebutuhan hidup yang dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan
ekonomi masyarakat serta sebagai sarana pendidikan yang efektif. Pada titik
ini pesan Jokowi yang bisa ditangkap adalah penanaman mental optimistis
menghadapi era teknologi informasi dan media sosial.
Sebaliknya, pada peristiwa kekerasan fisik murid SD di Bukittinggi
untuk kesekian kalinya kita disuguhi perilaku anak-anak sekolah yang
memprihatinkan. Sebelumnya, betapa banyak pemberitaan tentang kekerasan,
pemerkosaan, hingga pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak ataupun remaja
yang disebabkan oleh hal-hal sepele.
Mereka melakukan tindakan konyol tak terkendali tanpa berpikir panjang.
Terhadap teman yang lemah, mereka dengan gampang melakukan bullying bahkan
mengejar bagai bermain video game perang-perangan yang baru akan berhenti
jika lawan berhasil dilumpuhkan. Bullying di sekolah ini menempati angka
tertinggi pada kasus pengaduan anak di sektor pendidikan sepanjang tahun 2011
hingga 2014 dengan total hampir 400 kasus (Republika, 15/10/2014).
Publik sering menuding bahwa perilaku itu bisa diakibatkan oleh
kurangnya perhatian keluarga, guru, bahkan kedodorannya sistem pendidikan
kita secara luas. Namun, juga tak dapat dielakkan bahwa media massa dan media
sosial juga menjadi biang kerok tumpulnya sensitivitas anak-anak muda pada
etika dan estetika.
Akibatnya, mereka tidak bisa membedakan realitas media dengan realitas
sosial. Benarlah kata John Fiske dalam Media Matters (1994) bahwa realitas
media dan peristiwa semakin sulit dibedakan karena semua realitas peristiwa
yang dimediakan telah menjadi "media event".
Melihat keprihatinan tersebut agaknya sulit untuk menyebut bahwa sistem
media yang kita anut saat ini sudah cukup aman dan sehat. Kita semakin
terdesak oleh keadaan di mana semakin sulit menghindari serbuan media massa
dan media sosial. Media telah memasuki ruang-ruang sosial dan psikologis anak
dan keluarga, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Keniscayaan ini
memaksa kita masuk ke dalam sebuah revolusi kelima dalam dunia pendidikan.
Revolusi pertama terjadi ketika keluarga menyerahkan pendidikan kepada
guru dan dikenalnya lembaga sekolah. Revolusi kedua terjadi ketika masyarakat
mengenal budaya tulis sehingga media pembelajaran dapat didokumentasikan.
Revolusi ketiga terjadi setelah ditemukannya mesin cetak yang memungkinkan
bahan pembelajaran diperbanyak dalam bentuk buku atau material lainnya.
Revolusi keempat meledak setelah radio dan televisi memasuki
ruang-ruang kelas, ruang keluarga, dan menyebarkan informasi dengan cepat dan
serempak. Dan, revolusi kelima, terjadi saat ini di mana semua orang bisa
menjadi komunikator, saling terkoneksi melalui jejaring internet, menjadi
pemain dalam media yang dapat di-share kepada siapa saja dan oleh karenanya
kontennya semakin sulit dikontrol.
Siapa pun bisa menggunakan media untuk kepentingannya. Beredarnya video
kekerasan melalui media sosial Youtube merupakan salah satu contoh bahwa
kekerasan di media massa dengan mudah ditransformasi dalam realitas peristiwa
dan kemudian dijadikan "media event" di-share kepada khalayak.
Keprihatinan masyarakat atas berbagai ekses media tersebut selama ini
sering menjadi wacana saja. Usaha untuk mendesak political will pemerintah
untuk mengintervensi media agar lebih selektif memilih program menjadi upaya
yang sia-sia karena saat ini negara memang tidak berhak lagi banyak mengatur
isi media. Mengadu kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga serupa karena
kewenangan lembaga kuasinegara ini juga tak begitu bertaring. Alhasil bola
ada di tangan pemilik dan pengelola media serta pada khalayak yang cerdas dan
kritis.
Di sinilah revolusi mental media menemui urgensinya. Media harus
menjadi bagian dari perjuangan rakyat mewujudkan jargon Trisakti Bung Karno
yang tenar lagi setelah didengungkan kembali oleh Jokowi itu. Media harus
dapat diandalkan menjadi sarana untuk mempertegas kedaulatan, memperkuat
kemandirian, dan membentuk kepribadian.
Untuk mempertegas kedaulatan politik, media dari manapun asalnya harus
tunduk pada kaidah hukum kita. Mereka bisa menggunakan teknologi informasi
yang super canggih, tetapi jangan sampai mengacak-acak NKRI. Dalam hal ini,
Facebook, misalnya, harus membuka diri untuk kita awasi agar tidak menjadi
media pemecah belah, perusak akhlak generasi muda, dan penetrasi budaya asing
melalui ajaran-ajaran baru yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.
Sedangkan untuk memperkuat kemandirian ekonomi, seharusnya media asing
harus memberi kontribusi lebih besar lagi bagi masyarakat, misalnya, dengan
membuka kantor atau pusat pangkalan data yang dapat membuka peluang investasi
dan lowongan kerja profesional. Dan, akhirnya demi menjaga martabat budaya
kita maka harus dipastikan media memberi pengaruh positif pada penanaman
nilai-nilai luhur masyarakat, mendidik, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kita tentu tidak mau jika kehadiran Zuckerberg yang membawa angin segar
bagi dunia teknologi informasi dan media sosial justru meningkatkan eskalasi
kasus bullying pada anak-anak sekolah. Juga tidak mungkin kita membiarkan
mentalitas bangsa kita semakin tidak sensitif terhadap lingkungan sekitar.
Kita tetap menunggu, berharap, dan optimistis tim persiapan
pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla telah menentukan arah kebijakan bidang media
yang revolusioner. Kita juga yakin calon menteri komunikasi dan informatika
atau apa pun namanya sudah siap dengan segudang PR di depan mata. Yang jelas
dia harus siap melakukan revolusi mental media. Setidaknya harus dapat
membuktikan bahwa media adalah bagian tak terpisahkan dalam membentuk
karakter bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar