Sarjana
Kertas
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 24 Oktober 2014
SUATU
pagi saya iseng menyimak iklan lowongan kerja di berbagai media cetak. Jangan
salah paham, saya tidak sedang mencari-cari pekerjaan. Iseng saja. Ketika
membaca iklan-iklan tersebut, ternyata di sana saya masih menemukan lowongan
yang mencari tenaga kerja untuk kategori official
development program (ODP) dan management
trainee (MT).
Bagi
mereka yang bergerak dalam bidang sumber daya manusia (SDM), istilah ODP atau
MT menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan harus menempa dulu para fresh graduate yang direkrutnya
sebelum menerjunkannya ke dunia kerja. Itu tentu membutuhkan investasi
tersendiri yang tidak murah.
Beberapa
perusahaan besar, saya tahu, memiliki semacam pusat-pusat pendidikan dan
pelatihan untuk menempa para fresh graduate tersebut. Di sana, mereka diajari
mulai sejarah perusahaan, tata nilai dan budaya kerjanya, sampai hal-hal
praktis yang terkait dengan pekerjaan sehari-hari. Ada pula yang sampai
memberikan soft skill-nya.
Semua
itu –pakai bahasa langsung saja– cermin betapa kebanyakan fresh graduate kita belum siap kerja,
mentalitas passenger. Mereka baru siap tempa. Sebagai seorang pendidik, itu
tentu menjadi semacam otokritik untuk saya. Rupanya banyak materi pelajaran
di perguruan tinggi yang tidak nyambung dengan kebutuhan industri.
Moral Hazard
Sekarang
mari kita lihat potret yang lebih besar lagi. Menurut kajian McKinsey Global
Institute, Indonesia (2012) menempati peringkat ke-16 perekonomian dunia dan
memiliki 55 juta tenaga terampil (skilled
worker). McKinsey memperkirakan, pada 2030 Indonesia akan menjadi negara
terbesar ketujuh di dunia. Untuk sampai ke sana, kita membutuhkan 113 juta
skilled worker.
Apa
artinya? Di sini kita bicara mengenai skilled
worker, tenaga terdidik yang betul-betul terampil. Betul-betul kompeten.
Atau, kalau kita sederhanakan, siap kerja, bukan hanya bergelar S-1, S-2,
atau S-3.
Celakanya,
sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih mengidolakan gelar.
Bahkan, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif dengan tingkat
kesejahteraan. Masih banyak promosi jabatan di lingkungan instansi
pemerintahan maupun BUMN yang ditentukan oleh gelar.
Maka,
tak heran kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), juga pegawai BUMN dan
swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 atau S-3. Sebab,
hanya dengan cara itulah, mereka bisa naik jabatan menjadi kepala bagian,
misalnya. Atau, kalau di BUMN, mungkin bisa menjadi general manager.
Bahkan,
saat kampanye politik, gelar akademis, apalagi kalau sampai berderet, seakan
membuat peluang seseorang untuk terpilih lebih besar. ”Daya jualnya” menjadi
lebih tinggi. Kalau dia terpilih, pasti kesejahteraannya meningkat.
Pada
banyak kasus, kondisi semacam itu memicu moral hazard: memperoleh gelar jauh
lebih penting ketimbang mencari ilmu guna meningkatkan kompetensi. Jadi, asal
bisa mencantumkan gelar S-1, S-2, atau S-3, meski perguruan tingginya entah
berada di ruko sebelah mana atau numpang di salah satu sekolah, bukan
persoalan. Bahkan, tak penting pula dosen-dosennya datang dari mana. Pokoknya
asal bisa lulus dan bisa memperoleh gelar.
Kita
juga bisa memotret fenomena itu dari maraknya bisnis jasa pembuatan skripsi,
tesis, dan disertasi. Jasa-jasa itu tersedia karena para mahasiswa ingin
cepat lulus dan memperoleh gelar sesuai dengan keinginan mereka.
Bahkan,
ada yang caranya lebih kasar, jual beli ijazah. Cobalah masuk Google dan
ketik kata kunci ”jual ijazah”. Di sana, kita akan menemukan iklan yang
menawarkan gelar S-2 berbiaya Rp 2 juta–Rp3,5 juta, bergantung pilihan
universitasnya. Untuk gelar S-3, tarifnya Rp2,5 juta–Rp 4 juta. Syaratnya,
cukup kirim biodata dan transfer uang. Miris, bukan?
Skilled Worker
Fakta-fakta
itu jelas berkaitan langsung dengan kompetensi skilled worker. Mereka memang menyandang gelar sarjana, baik S-1
atau bahkan S-2, tetapi semuanya hanya ”sarjana kertas”. Bukan atas dasar
kompetensi yang dimilikinya.
Itu
sebabnya 17 persen dari lulusan perguruan tinggi kita masih menganggur. Kisah
tentang Ignatius Ryan Tumiwa, lulusan S-2 yang minta agar bisa membunuh
dirinya secara legal, seakan-akan mengukuhkan potret tersebut. Dia frustrasi
karena sudah bertahun-tahun lulus, tapi masih menganggur.
Kita
tentu tidak boleh membiarkan hal semacam itu menjadi berlarut-larut. Akhir
2015 kita akan memasuki era ASEAN
Economic Community (AEC). Supaya bisa bersaing, kita membutuhkan SDM-SDM
yang kompeten. Bukan sarjana kertas.
Masalah
yang terjadi di dunia pendidikan kita ini akan menjadi tantangan tersendiri,
bukan hanya bagi pemerintahan Jokowi-JK, tetapi bagi kita semua. Di sinilah,
saya kira, revolusi mental, termasuk dalam bidang pendidikan, akan menemukan
relevansinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar