Mencermati
Jokowinomics
Joko Tri Haryanto ; Penulis bekerja di Kemenkeu
|
KORAN
JAKARTA, 22 Oktober 2014
Joko Widodo (Jokowi) resmi menjabat presiden ke-7 Republik Indonesia setelah
dilantik bersama Wapres Jusuf Kalla. Dalam konteks rezim baru, rasanya perlu
diulas tema mazhab Jokowinomics. Maklum, di sini mazhab ekonomi politik
sangat diwarnai rezim berkuasa. Era Orde Lama ada paham Soekarnonomics
sebagai gambaran kehidupan ekonomi politik terpimpin oleh Presiden Soekarno.
Soekarnonomics ditandai dengan kontrol politik terhadap kehidupan
ekonomi dan pembangunan. Corak nasionalisme tingkat tinggi, anti-intervensi
barat, politik propaganda, serta menjalin hubungan dengan blok sosialis
menjadi warna kuat paham tersebut. Paham ini tumbang karena badai resesi
tahun 1960-an.
Keruntuhan rezim Soekarnonomics memunculkan paham Orde Baru di mana
kebijakan ekonomi dan politik menjadi makin kentara. Pada Orde Lama,
nasionalisme dan stabilitas menjadi jargon utama. Di Presiden Soeharto,
stabilitas dan isu kesejahteraan masyarakat justru menjadi ideologi dasar
kemunculan corak kapitalisme liberal versi Indonesia.
Namun demikian, meski oleh beberapa pengamat Indonesia dianggap
berhaluan kapitalisme liberal, Soeharto tetap memberi perhatian besar pada
pengembangan sektor pertanian perdesaan sebagai pengimbang program
industrialisasi yang masif. Buktinya Indonesia sukses mencapai swasembada
beras. Ini diakui secara resmi Lembaga Pangan Internasional (FAO).
Sayang, keberhasilan Soehartonomics tersapu badai korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) yang melahirkan krisis moneter tahun 1998, sekaligus berganti
era reformasi. Di dalam lingkup Soehartonomics sendiri terjadi pertarungan
ideologi yang cukup sengit terutama dari para penasihat lingkaran istana.
Widjojonomics sebagai personifikasi kelompok ekonom bertarung dengan
Habibienomics yang mewakili unsur teknokrat.
Meskipun keduanya bermuara pada ideologi yang sama: kapitalisme
industri, namun jalan yang ditempuh sangat bertentangan. Kelompok
Widjojonomics mendasarkan diri pada konsep pembangunan teori struktural WW
Rostow. Ide pembangunannya adalah modernisasi sistem ekonomi demi memperbesar
kue pembangunan. Selanjutnya hal itu akan menciptakan skema trickle down
effect guna meneteskan pembangunan kepada masyarakat. Rencana Pembangunan
Lima Tahunan (Repelita) merupakan buah pemikiran kelompok tersebut.
Ide tersebut sempat sukses era ’70-an khususnya ketika Indonesia masih
menikmati bonanza kenaikan harga minyak dunia. Namun di awal ’80-an, mulai
mendapat perlawanan dari kelompok Habibienomics yang berpendapat penguasaan
teknologi melalui peran aktif negara akan mempercepat penciptaan
industrialisasi. Ide Habibienomics didasarkan pada pemikiran teori lompatan
teknologi khususnya berbasis capital besar.
Prinsip ini merujuk pada keberhasilan Jerman yang tumbuh cepat
menguasai dunia, meski hancur pada Perang Dunia I. Dalam perjalanan, kelompok
Widjojonomics menguasai pembangunan makro, keuangan, dan perdagangan,
sementara kelompok Habibienomics sukses mengontrol pengembangan iptek dan
sebagian industri teknologi tinggi.
Di era reformasi, beberapa kalangan sempat aktif mendiskusikan mazhab
SBY-nomics. Ini berawal dari disertasi Presiden SBY ”Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi
Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal.”
SBY-nomics didasarkan kepada pilar pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
Kemudian menyangkut pembangunan sektor pertanian, perdesaan, serta peran
penting pemerintah dalam dalam upaya tersebut. Secara umum, tema sebetulnya
sama dengan ide pembangunan Soehartonomics. Namun SBY-nomics menekankan
pentingnya persaingan sehat, bebas KKN sebagai upaya menciptakan efisiensi
dalam perekonomian.
Jokowinomics
Beberapa tahun terakhir, seluruh masyarakat terkesima sosok Jokowi.
Dalam hitungan kurang dari dua tahun, karier mantan pengusaha mebel ini
melesat bak meteor. Dikenal sederhana, lugas, dan mampu berbaur dengan segala
lapisan masyarakat, Jokowi diyakini mampu menjadi jawaban atas kerinduan
masyarakat akan figur pemimpin yang ideal.
Jokowi berpotensi melahirkan pemikiran ekonomi politik baru yang
sederhana, namun orisinal versi kerakyatan dalam bingkai mazhab Jokowinomics.
Ini sebagai mazhab politik ekonomi baru berdasarkan konsep kerakyatan. Mashab
ini mengutamakan aspek transparansi dan akuntabilitas pemerintah.
Birokrasinya melayani dengan semboyan “sepi
ing pamrih rame ing gawe”. Jokowinomics juga mengagungkan ekonomi kelas
bawah dan sektor informal yang dikemas secara profesional. Efisiensi
teknologi dan komunikasi di semua level.
Ada beberapa ide dasar Jokowinomics, di antaranya ekonomi yang efisien,
tanpa KKN, dan birokrat sehat yang melayani. Ini semua untuk mendukung
penghapusan ekonomi biaya tinggi. Dalam prinsipnya, Jokowi menilai pemimpin
dipilih untuk melayani rakyat, bukan buat dilayani sehingga kepentingan
rakyat harus selalu di atas pribadi atau partai. Prinsip inilah yang mengubah
paradigma biokrat dilayani menjadi pelayan.
Jokowinomics juga mendasarkan pertumbuhan ekonomi pada aspek sumber
daya manusia (SDM) berkualitas dan harus terus ditingkatkan. Pemimpin lain
justru tidak memandang SDM itu penting karena tidak populer. Jokowi
berkali-kali menekankan, “Tanpa
kesehatan dan pendidikan memadai, mustahil program-program pembangunan dapat
dijalankan dengan baik.” langkah itu ditempuh dengan pelayanan kesehatan
dan pendidikan gratis tanpa birokrasi berbelit, khususnya bagi kelompok
masyarakat kurang mampu.
Kepedulian pembangunan SDM berkualitas selaras dengan teori pertumbuhan
ekonomi baru. Sebelumnya, teori pertumbuhan klasik Harod Domar dan Sollow
Swan memandang kapital dan saving sebagai sumber pemacu utama pertumbuhan
ekonomi. Teori baru justru memandang SDM berkualitas sebagai penentu
pertumbuhan. Manusia yang berkualitas diharapkan memunculkan kreativitas
sebagai dasar inovasi pertumbuhan ekonomi.
Dasar lain Jokowinomics adalah pengembangan ekonomi tradisional dan
UMKM. Pasar tradisional sebagai etalase ekonomi kota dengan omzet sangat
menjanjikan. Keberpihakan pemerintah pada pengembangan sektor ini sangat
diharapkan melalui penataan pedagang tradisional dan sektor informal tanpa
menggusur. Ide ini terasa selaras dengan napas kerakyatan yang menjadi dasar
pengembangan sistem ekonomi Indonesia. Jadi, ketika lainnya masih menjadikan
ekonomi kerakyatan di level teori, Jokowi sudah membumikan di lapangan.
Berikutnya, Jokowinomics memprioritaskan rehabilitasi kampung untuk
mengatasi kesenjangan sosial yang semakin melebar sekaligus awal mitigasi
bencana. Dasarnya, perluasan media-media sosial sebagai wahana interaksi
berbagai kelompok justru semakin membuat manusia terlihat individualistis.
Sekat-sekat pemisah antar-individu akan dihapus agar tercipta kekerabatan dan
kesetiakawanan sosial.
Gagasan Jokowinomics perlu terus dikaji dan dikembangkan dalam spektrum
yang lebih luas. Terlepas dari status apa pun yang nantinya akan melekat pada
diri Jokowi, seluruh pola pikir dan mekanisme kerjanya bisa menjadi sebuah
mainstream baru perpolitikan nasional. Dalam dimensi lain, konsep
Jokowinomics diharapkan mampu menjadi milestone pembangunan Indonesia baru,
demi menciptakan kehidupan bermasyarakat yang lebih manusiawi dan
bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar