Jumat, 24 Oktober 2014

Mencermati Jokowinomics

Mencermati Jokowinomics

Joko Tri Haryanto  ;  Penulis bekerja di Kemenkeu
KORAN JAKARTA, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Joko Widodo (Jokowi) resmi menjabat presiden ke-7 Republik Indonesia setelah dilantik bersama Wapres Jusuf Kalla. Dalam konteks rezim baru, rasanya perlu diulas tema mazhab Jokowinomics. Maklum, di sini mazhab ekonomi politik sangat diwarnai rezim berkuasa. Era Orde Lama ada paham Soekarnonomics sebagai gambaran kehidupan ekonomi politik terpimpin oleh Presiden Soekarno.

Soekarnonomics ditandai dengan kontrol politik terhadap kehidupan ekonomi dan pembangunan. Corak nasionalisme tingkat tinggi, anti-intervensi barat, politik propaganda, serta menjalin hubungan dengan blok sosialis menjadi warna kuat paham tersebut. Paham ini tumbang karena badai resesi tahun 1960-an.

Keruntuhan rezim Soekarnonomics memunculkan paham Orde Baru di mana kebijakan ekonomi dan politik menjadi makin kentara. Pada Orde Lama, nasionalisme dan stabilitas menjadi jargon utama. Di Presiden Soeharto, stabilitas dan isu kesejahteraan masyarakat justru menjadi ideologi dasar kemunculan corak kapitalisme liberal versi Indonesia.

Namun demikian, meski oleh beberapa pengamat Indonesia dianggap berhaluan kapitalisme liberal, Soeharto tetap memberi perhatian besar pada pengembangan sektor pertanian perdesaan sebagai pengimbang program industrialisasi yang masif. Buktinya Indonesia sukses mencapai swasembada beras. Ini diakui secara resmi Lembaga Pangan Internasional (FAO).

Sayang, keberhasilan Soehartonomics tersapu badai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melahirkan krisis moneter tahun 1998, sekaligus berganti era reformasi. Di dalam lingkup Soehartonomics sendiri terjadi pertarungan ideologi yang cukup sengit terutama dari para penasihat lingkaran istana. Widjojonomics sebagai personifikasi kelompok ekonom bertarung dengan Habibienomics yang mewakili unsur teknokrat.

Meskipun keduanya bermuara pada ideologi yang sama: kapitalisme industri, namun jalan yang ditempuh sangat bertentangan. Kelompok Widjojonomics mendasarkan diri pada konsep pembangunan teori struktural WW Rostow. Ide pembangunannya adalah modernisasi sistem ekonomi demi memperbesar kue pembangunan. Selanjutnya hal itu akan menciptakan skema trickle down effect guna meneteskan pembangunan kepada masyarakat. Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) merupakan buah pemikiran kelompok tersebut.

Ide tersebut sempat sukses era ’70-an khususnya ketika Indonesia masih menikmati bonanza kenaikan harga minyak dunia. Namun di awal ’80-an, mulai mendapat perlawanan dari kelompok Habibienomics yang berpendapat penguasaan teknologi melalui peran aktif negara akan mempercepat penciptaan industrialisasi. Ide Habibienomics didasarkan pada pemikiran teori lompatan teknologi khususnya berbasis capital besar.

Prinsip ini merujuk pada keberhasilan Jerman yang tumbuh cepat menguasai dunia, meski hancur pada Perang Dunia I. Dalam perjalanan, kelompok Widjojonomics menguasai pembangunan makro, keuangan, dan perdagangan, sementara kelompok Habibienomics sukses mengontrol pengembangan iptek dan sebagian industri teknologi tinggi.

Di era reformasi, beberapa kalangan sempat aktif mendiskusikan mazhab SBY-nomics. Ini berawal dari disertasi Presiden SBY ”Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal.” SBY-nomics didasarkan kepada pilar pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Kemudian menyangkut pembangunan sektor pertanian, perdesaan, serta peran penting pemerintah dalam dalam upaya tersebut. Secara umum, tema sebetulnya sama dengan ide pembangunan Soehartonomics. Namun SBY-nomics menekankan pentingnya persaingan sehat, bebas KKN sebagai upaya menciptakan efisiensi dalam perekonomian.

Jokowinomics

Beberapa tahun terakhir, seluruh masyarakat terkesima sosok Jokowi. Dalam hitungan kurang dari dua tahun, karier mantan pengusaha mebel ini melesat bak meteor. Dikenal sederhana, lugas, dan mampu berbaur dengan segala lapisan masyarakat, Jokowi diyakini mampu menjadi jawaban atas kerinduan masyarakat akan figur pemimpin yang ideal.

Jokowi berpotensi melahirkan pemikiran ekonomi politik baru yang sederhana, namun orisinal versi kerakyatan dalam bingkai mazhab Jokowinomics. Ini sebagai mazhab politik ekonomi baru berdasarkan konsep kerakyatan. Mashab ini mengutamakan aspek transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Birokrasinya melayani dengan semboyan “sepi ing pamrih rame ing gawe”. Jokowinomics juga mengagungkan ekonomi kelas bawah dan sektor informal yang dikemas secara profesional. Efisiensi teknologi dan komunikasi di semua level.

Ada beberapa ide dasar Jokowinomics, di antaranya ekonomi yang efisien, tanpa KKN, dan birokrat sehat yang melayani. Ini semua untuk mendukung penghapusan ekonomi biaya tinggi. Dalam prinsipnya, Jokowi menilai pemimpin dipilih untuk melayani rakyat, bukan buat dilayani sehingga kepentingan rakyat harus selalu di atas pribadi atau partai. Prinsip inilah yang mengubah paradigma biokrat dilayani menjadi pelayan.

Jokowinomics juga mendasarkan pertumbuhan ekonomi pada aspek sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan harus terus ditingkatkan. Pemimpin lain justru tidak memandang SDM itu penting karena tidak populer. Jokowi berkali-kali menekankan, “Tanpa kesehatan dan pendidikan memadai, mustahil program-program pembangunan dapat dijalankan dengan baik.” langkah itu ditempuh dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis tanpa birokrasi berbelit, khususnya bagi kelompok masyarakat kurang mampu.

Kepedulian pembangunan SDM berkualitas selaras dengan teori pertumbuhan ekonomi baru. Sebelumnya, teori pertumbuhan klasik Harod Domar dan Sollow Swan memandang kapital dan saving sebagai sumber pemacu utama pertumbuhan ekonomi. Teori baru justru memandang SDM berkualitas sebagai penentu pertumbuhan. Manusia yang berkualitas diharapkan memunculkan kreativitas sebagai dasar inovasi pertumbuhan ekonomi.

Dasar lain Jokowinomics adalah pengembangan ekonomi tradisional dan UMKM. Pasar tradisional sebagai etalase ekonomi kota dengan omzet sangat menjanjikan. Keberpihakan pemerintah pada pengembangan sektor ini sangat diharapkan melalui penataan pedagang tradisional dan sektor informal tanpa menggusur. Ide ini terasa selaras dengan napas kerakyatan yang menjadi dasar pengembangan sistem ekonomi Indonesia. Jadi, ketika lainnya masih menjadikan ekonomi kerakyatan di level teori, Jokowi sudah membumikan di lapangan.

Berikutnya, Jokowinomics memprioritaskan rehabilitasi kampung untuk mengatasi kesenjangan sosial yang semakin melebar sekaligus awal mitigasi bencana. Dasarnya, perluasan media-media sosial sebagai wahana interaksi berbagai kelompok justru semakin membuat manusia terlihat individualistis. Sekat-sekat pemisah antar-individu akan dihapus agar tercipta kekerabatan dan kesetiakawanan sosial.

Gagasan Jokowinomics perlu terus dikaji dan dikembangkan dalam spektrum yang lebih luas. Terlepas dari status apa pun yang nantinya akan melekat pada diri Jokowi, seluruh pola pikir dan mekanisme kerjanya bisa menjadi sebuah mainstream baru perpolitikan nasional. Dalam dimensi lain, konsep Jokowinomics diharapkan mampu menjadi milestone pembangunan Indonesia baru, demi menciptakan kehidupan bermasyarakat yang lebih manusiawi dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar