Dari
Sumpah Pemuda ke Sumpah Presiden
Maryanto ; Pemerhati
Politik Bahasa
|
KORAN
TEMPO, 28 Oktober 2014
Pada 20 Oktober 2014, ketika dilantik, Presiden Joko Widodo
bersumpah akan berbakti kepada nusa dan bangsa. Kerja, kerja, dan kerja bakti
yang dijanjikan Jokowi tentu bersumber dari semangat Sumpah Pemuda-peristiwa
luar biasa yang jatuh pada 28 Oktober, 86 tahun lalu.
Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Presiden tersebut, masih tersisa
janji berbakti kepada bahasa. Semangat satu nusa, bangsa, dan bahasa sudah
merupakan sebuah komitmen. Sayangnya, Presiden (beserta Wakilnya) tidak
berjanji untuk menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Janji itu
mungkin sudah secara otomatis digaransi karena teks Sumpah Presiden pun
dituliskan dan diucapkan dalam bahasa Indonesia.
Agaknya, masih sulit untuk menggaransi bahwa setiap putra dan
putri Indonesia yang sekarang memangku kepentingan negara dan bangsa ini
mampu mengangkat bahasa Indonesia setinggi-tingginya. Jokowi pun terlihat
(dari layar televisi) lebih suka berbahasa Inggris daripada berbahasa
Indonesia ketika bertemu dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbott di
Istana Merdeka sekitar pukul 19.00, hanya beberapa jam setelah prosesi
pelantikannya.
Di hadapan tamu asing, sebaiknya, Jokowi selalu tampil dengan
jati diri sendiri. Akan terasa lebih natural jika saat mereka sedang bertamu
di Indonesia, bahasa rakyat-sederhana dan tidak berjarak sebagai kekhasan
Jokowi-yang dituturkan. Dalam pidato pelantikan, presiden pilihan rakyat ini
mengajak segenap komponen bangsa menghadirkan Indonesia di dunia global
dengan kehormatan, martabat, dan harga diri. Di sinilah pentingnya bahasa
Indonesia guna menandai kehadiran Indonesia.
Pekerjaan untuk menghadirkan Indonesia, sebagaimana diikrarkan
pada 28 Oktober 1928, tampak sangat operasional dari segi bahasa. Pada butir
ketiga Sumpah Pemuda, kata kerja "menjunjung" (bahasa persatuan)
dipilih sebagai predikat kalimat. Kalau dibandingkan dengan kalimat butir
pertama dan kedua yang berkata kerja "mengaku" (untuk bertanah air
dan berbangsa), sesuai dengan teori linguistik, kalimat ketiga itu bermakna
lebih menuntut kinerja (performatif).
Kinerja berbahasa Indonesia, untuk mewujudkan komitmen Sumpah
Pemuda, sangat mudah diukur. Pertama, kinerja itu terukur dari tingkat
kesetiaan untuk berbahasa Indonesia di mana saja; kedua, dari kebanggaan
untuk berbahasa dengan siapa saja; ketiga, dari tanggung jawab untuk
meningkatkan mutu bahasa Indonesia. Mutu bahasa itu berjenjang dari bahasa
"gaul" sehari-hari hingga bahasa teoretis-akademis.
Tiga ukuran kinerja berbahasa itu pernah dirumuskan oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (melalui Pusat Bahasa atau sekarang
Badan Bahasa) dan digunakan untuk gerakan disiplin berbahasa Indonesia yang
digulirkan oleh Presiden Soeharto pada 1995. Gerakan Soeharto berhasil
menertibkan bahasa di ruang publik.
Pasca-Reformasi 1998, bahasa di ruang publik, seperti terpampang
pada reklame dan papan nama (perumahan, misalnya), tampak kembali memupuk
tumbuhnya sikap bangsa Indonesia yang inferior. Sikap bangga dan setia serta
tanggung jawab terhadap bahasa sendiri terus merosot. Disiplin berbahasa itu
sulit ditegakkan meskipun sudah ada UU Nomor 24 Tahun 2009. Di dalam UU itu,
bahasa Indonesia diatur penggunaannya, tapi pelanggarannya kurang akan
sanksi.
Tuntutan bekerja yang sering diucapkan Jokowi memperoleh
momentum pembuktian selama lima tahun ke depan: 2014-2019. Kinerja
pemerintahan ini dituntut untuk terus memartabatkan bahasa negara dan bangsa
Indonesia. Bukti keberhasilan Jokowi akan terlihat dan terukur dari beberapa
hal berikut ini.
Pertama, seberapa jauh penggunaan bahasa di ruang publik ditertibkan
kembali untuk membuktikan impian Indonesia berkepribadian. Untuk itu,
Presiden Jokowi perlu menguji kebanggaan dan kesetiaan serta tanggung jawab
jajaran pejabat pemerintahan dalam berbahasa Indonesia. Tak perlu ragu
melanjutkan langkah yang baik dari pemerintahan terdahulu, termasuk Orde
Baru. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 mengenai bahasa pejabat juga
perlu diteruskan dan dikuatkan.
Kedua, seberapa jauh bahasa Indonesia makin berperan di kawasan
regional Asia Tenggara. Forum Parlemen ASEAN pernah diusulkan Indonesia agar
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kerja. Pada 2015, Indonesia juga
akan terbuka hampir tanpa sekat dengan negara lain untuk komunitas ASEAN.
Ketiga, seberapa jauh kelembagaan bahasa Indonesia diperkuat.
Secara kelembagaan, bahasa Indonesia belum kuat. Tugas
kelembagaan bahasa diemban hanya oleh Menteri Pendidikan. Pada era Jokowi,
kelembagaan bahasa bisa makin kurang terurus karena terpecahnya pendidikan
dasar-menengah dan pendidikan tinggi.
Untuk menjunjung bahasa Indonesia seperti komitmen Sumpah
Pemuda, masih ada setumpuk isu strategis dan tugas teknis kebahasaan yang
lain. Meskipun hanya tersirat dalam teks Sumpah Presiden, urusan bahasa tidak
akan pernah sepi. Setidaknya, atas kehendak konstitusi, Presiden Jokowi wajib
berbahasa Indonesia sebagai bahasa kerja pemerintahannya. Kerja, kerja, dan kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar