Kamis, 23 Oktober 2014

Catatan Sederhana untuk Ibu Negara

Catatan Sederhana untuk Ibu Negara

Sely Purbasari Suryani  ;  Penulis tinggal di Jakarta
JAWA POS, 22 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


HALO Ibu, saya ucapkan selamat atas dilantiknya suami Ibu sebagai presiden kami yang baru. Ini bukan surat terbuka buat suami Ibu karena saya yakin sudah banyak dan bagus-bagus. Ini hanya catatan saya sebagai seorang warga negara biasa kepada ibu negaranya yang baru.

Ibu Iriana, saya hanya ingin menyampaikan bahwa sebaiknya Ibu tidak usah terlalu banyak tampil di media sosial, apalagi curhat-curhat di sana. Cukuplah media sosial sebagai sarana kami berbagi. Ibu menyerap aspirasi saja dari sana. Kalaupun ingin menjadikan media sosial sebagai sarana agar lebih dekat dengan rakyat, gunakanlah dengan bijak. Apalagi kalau ada pembaca yang memberikan komentar ’’gimana gitu’’. Siapa pun paham bahwa pascareformasi setiap orang seolah bebas berkata apa pun dan bebas ngatain siapa pun. Akan menjadi hal yang menggelikan andai kata Ibu dikatai kurang piknik atau kurang selfie cuma gara-gara mencurahkan kegalauan di media sosial. Lagi pula, kami sudah cukup jengah melihat ibu-ibu pejabat hanya posting selfie, sedang berada di mana, sedang apa, bersama tokoh siapa, atau mengikuti acara apa. Lalu, manfaaatnya bagi kami apa? Berdecak kagum ya, tapi jangan harap jatuh hati. Menangkan hati rakyat dengan mendatangi secara langsung. Jadilah ratu di hati mereka yang papa. Kami rindu perempuan seperti Lady Diana, yang tak ragu berjabat tangan dengan penderita kusta sehingga setelah peristiwa tersebut patahlah mitos bahwa kusta menular lewat berjabat tangan.

Ibu Iriana, negara ini membutuhkan sentuhan seorang ibu agar berkurang garangnya. Saya mengagumi Ibu Tien Soeharto, Ibu Sinta Nuriyah, Ibu Ainun Habibie, dan Ibu Ani Yudhoyono. Terlepas dari plus minus masing-masing, mereka telah memberikan warna berbeda bagi bangsa ini. Ibu Tien, entah mitos atau bukan (kalau saya percaya bukan mitos), telah berhasil memengaruhi suaminya agar menerbitkan peraturan yang melarang(menertibkan) poligami di lingkungan pemerintahan. Dengan begitu, PNS ribuan kali berpikir untuk poligami. Bukan, bukan saya tidak sependapat dengan poligami, toh itu memang ada tuntunannya di agama. Tapi, kalau bisa, jangan saya yang dipoligami. Perempuan mana pun ingin menjadi yang nomor satu dan satu-satunya, kata Mario Teguh. Ibu Sinta Nuriyah adalah ’’mata’’ bagi suaminya. Ibu Ainun Habibie cukup menginspirasi lewat kisah cintanya yang kemudian difilmkan. Kemudian, Ibu Ani Yudhoyono lumayan menghibur lewat keluarganya yang harmonis, terlepas kadang saya gemes terhadap ibu negara yang terakhir (karena hobi fotografi dan ber-sosmed-nya). Tapi, saya yakin, Ibu Ani pun membutuhkan hobi untuk menghindari depresi. Sekali lagi, sukar untuk tidak jatuh hati kepada keharmonisan keluarga Yudhoyono. Rakyat pasti bahagia melihat keluarga pemimpinnya bahagia.

Ibu Iriana, negara ini membutuhkan sentuhan seorang ibu. Sedih rasanya mendengar kabar sekolah tidak lagi nyaman. Pelecehan seksual terjadi di mana-mana, pembunuhan terjadi begitu mudahnya di kalangan remaja. Bisa jadi karena salah ambil helm teman, bisa jadi karena patah hati, atau karena semula just for fun tahu-tahu korbannya mati (kasus Ade Sara). Harga nyawa begitu murahnya di negeri ini dan makin murah bererapa tahun belakangan ini. Hadirlah di tengah-tengah anak muda, Bu. Belai rambut mereka. Genggam tangan mereka. Katakan kepada mereka bahwa negara ini indah dan mereka hadir untuk memperindah negara ini, bukan sebaliknya.

Ibu Iriana, ibu negara kami yang baru. Anda punya andil besar di balik kesuksesan suami. Bisa saja rakyat mencintai suami karena Ibu, bisa jadi rakyat membenci suami karena Ibu. Berat memang menjadi ibu negara, jangankan ibu negara, ibu dari seorang putri saja sukar minta ampun. Peradaban di tangan kita, para perempuan. Setelah menikah saya baru menyadari bahwa menjadi istri itu tidak hanya konco wingking. Ibarat ember yang dicangking-cangking. Banyak keputusan penting yang sukar untuk diputuskan suami tanpa memperoleh masukan dari istri. Dan saya pikir, semua pasangan pasti seperti itu. Entah tentang hal remeh atau hal besar. Entah soal tetangga atau soal beli rumah. Pasti ada diskusi hebat di balik keputusan-keputusan berat. Dan saya minta agar Ibu Iriana menjadi kawan diskusi yang baik, memberikan ide terbaik, support terbaik, dan tetap mendukung apa pun keputusan suami meski kadang tidak sejalan dengan pemikiran kita.

Ibu Iriana, selamat bertugas. Tentu kehadiran Anda bukan hanya pelengkap foto semata, tapi apalah daya seorang lelaki tanpa perempuan. Berilah suami Anda ide-ide segar yang mengembalikan selera humornya. Saya makin yakin bahwa negara ini semakin tidak bisa diajak bercanda lagi. Dikit-dikit marah, dikit-dikit bunuh, dikit-dikit hajar, dikit-dikit menyomasi, dikit-dikit tersinggung, dikit-dikit adu mulut. Nah, di situlah seharusnya seorang ibu hadir untuk merangkul anak-anak bangsa yang berselisih. Go ahead, Bu, kamu bisa!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar