Tamu
Kehormatan
Agus M Irkham ; Pegiat
Literasi
|
KORAN
TEMPO, 28 Oktober 2014
Frankfurt Book Fair (FBF) selesai digelar pada pertengahan
Oktober lalu. Pameran buku terbesar dan tertua di dunia ini menjadi etalase
bagi perkembangan intelektual suatu negara yang terlihat dari buku-buku yang
dipamerkan. Indonesia hadir dengan membawa tak kurang dari 2.000 buku dalam
genre sastra, pemikiran, budaya, kuliner (masakan), maupun buku anak.
Pameran yang diselenggarakan di Frankfurt, Jerman, ini menjadi
sarana mengkampanyekan citra negara-negara yang ikut serta, khususnya negara
yang terpilih menjadi Guest of Honour (GoH) atau tamu kehormatan. Tahun ini,
Finlandia yang menjadi tamu kehormatan dalam pameran yang diikuti oleh lebih
dari 100 negara itu. Dalam FBF 2015 nanti, giliran Indonesia yang akan
menjadi GoH.
FBF 2015 diharapkan dapat menjadi penanda bagi kebangkitan
intelektualitas Indonesia yang terejawantahkan dalam buku tentang pengelolaan
kebudayaan, khususnya mengenai diplomasi budaya. Termasuk perkembangan
industri perbukuan di Indonesia. Bukan tanpa sebab Indonesia terpilih sebagai
GoH. Kita punya 17.504 pulau, 1.128 suku, dan 750 bahasa ibu. Kita ini negara
adidaya budaya.
Dipandang sebagai sumber ide kajian dan penulisan, Indonesia
adalah tambang karya tak terkira. Ibarat sebuah himpunan teks, Indonesia
sangat mengundang untuk segera didaras. Sungguh sebuah hadiah bagi dunia,
negara dengan ribuan suku dan ratusan bahasa ibu mampu hidup dalam kerja sama
dan harmoni. Di titik ini, kebinekaan Indonesia menjadi modal kultural dan
alamiah yang dapat menginspirasi berlangsungnya perdamaian dunia.
Meskipun begitu, desentralisasi keuangan dan kekuasaan birokrasi
yang diundangkan sejak 15 tahun lalu ternyata belum cukup untuk mendorong
berlakunya kebinekaan Indonesia dalam konteks penerbit, distribusi, dan
penulis buku. Hal ini terlihat dari jumlah penerbit, toko buku, dan penulis
yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Dalam lalu lintas wacana dan ilmu pengetahuan, masyarakat Papua
khususnya, dan Indonesia bagian timur pada umumnya, masih tetap mengalami
ketidakadilan budaya, yakni berupa sulitnya mendapatkan pengetahuan melalui
buku, sekaligus kecilnya kontribusi mereka dalam pengelolaan kebudayaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian dipadatkan dalam bentuk buku.
Maka perlu sebuah terobosan untuk mengurai itu.
Di jalur distribusi, misalnya, perlu dibuat saluran baru yang
lebih efisien dan menjangkau sasaran lebih luas dan jauh dengan melibatkan
komunitas literasi dan taman bacaan.
Sedangkan di ranah produksi bisa dengan dibuka seluas-luasnya
kesempatan kepada para generasi muda di luar Jawa, untuk turut menjadi subyek
dalam lalu lintas wacana dan pengetahuan, yaitu dengan menulis buku dan
menerbitkannya sendiri.
Menulis lantas menerbitkan buku bukanlah persoalan mudah. Juga
bukan lagi sebuah aktivitas personal, melainkan sudah komunal bahkan
industrial. Untuk itu, di sinilah diperlukan campur tangan negara/pemerintah,
melalui kebijakan yang dapat memfasilitasi dan mengadvokasi tumbuhnya para
penulis dan penerbit di daerah, sehingga tidak selalu menjadikan Jawa sebagai
acuan perkembangan.
Kalau ini bisa terwujud, FBF 2015 benar-benar akan menjadi
representasi intelektualitas Indonesia. Kebangkitan literasi sebagai ujung
tombak kebangkitan bangsa Indonesia akan semakin mendapati dasarnya.? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar