Rabu, 22 Oktober 2014

Pemimpin yang Bernalar Etis

Pemimpin yang Bernalar Etis

Masduri  ;  Akademikus Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya
SINAR HARAPAN, 20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Kegaduhan para politikus di parlemen, memunculkan resah diri dalam masyarakat. Kita menaruh curiga yang besar, bahwa masa depan politik kita bakal kacau-balau akibat ambisi kuasa masing-masing kelompok koalisi terlalu besar. Kecuriagan khalayak ramai pun makin menguat ketika Koalisi Merah Putih (KMP) bertaruh demi bisa memegang kuasa tertinggi di DPR dan MPR.

Akibatnya, meski PDIP sebagai pemenang pemilihan legislatif bersama Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang juga memenangi pemilihan presiden, hanya bisa gigit jari karena tak dapat jatah apapun di parlemen. Lalu benarkah ini penanda runtuhnya keadaban politik kita? Sampai seperti itukah tingkah etis para politikus sehingga hendak mengorbankan kepentingan publik demi kuasa? Bukankah politik digelar guna mencapai keadaban hidup dalam kebersamaan.

Sejak awal, John Locke sebagai filsuf politik mengandaikan bahwa kehadiran negara sebagai upaya mencapai hak kesejahteraan hidup, yang sangat mungkin dikebiri bila tak ada kesepakatan membangun negara. Bahkan jauh lebih ekstrem, Thomas Hobbes menandaskan bahwa kuasa negara itu sangat besar laiknya Leviathan, sebuah binatang buas dalam mitologi Timur Tengah, yang ditakuti oleh banyak orang.

Sehingga dengan ketakukan besar yang dirasa oleh rakyat, negara bisa menggelar kesejahteraan hidup karena setiap orang tak merasa punya kuasa lebih, melainkan sama-sama menghadirkan dirinya sebagai rakyat yang secara setara berhak mengakses berbagai fasilitas dan program yang ditebar oleh negara. Lalu mungkinkah cita-cita tersebut dapat tercapai, bila kuasa negara dipegang oleh mereka yang gaduh dan berbuat hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya? Tentu saja tidak.

Kepemimpinan itu harus menghadirkan nalar etis yang bisa dicerna oleh publik. Ketidakmampuan pemimpin baik legislatif maupun eksekutif dalam menerjemahkan hajat orang banyak dalam laku kesehariannya, bakal menimbulkan pesimisme yang berlebihan. Kepemimpinan itu harus menghadirkan pencerahan, karena pemimpin adalah tumpuan pengharapan setiap orang. Meminjam bahasa John Gage Allee, pemimpin adalah pemandu (guide), penunjuk (conductor), komandan (commander) yang menggerakkan kebekukan menuju puncak cita-cita kebangsaan.

Kembali ke Rakyat  

Etika kepemimpinan itu harus digelar di depan publik, agar mereka tahu dan paham, bahwa wakil kita di parlemen yang dipilih pada pemilihan legislatif yang lalu benar-benar ber­suara atas nama rakyat. Karena seperti pemaknaan Abraham Lincoin, demokrasi itu mengembalikan jasanya pada rakyat sebagai pemilih yang tertatih-tatih hadir demi melihat wakilnya tersenyum gagah di parlemen. Kuasa politik yang diberikan rakyat baik pada legislatif maumpun eksekutif dimaksudkan mewakili dirinya menyuarakan kepentingan bersama yang telah digariskan oleh negara.

Semua orang sudah maklum, bahwa cita-cita kebangsaan kita, yang oleh Anies Baswean disebut sebagai janji kemerdekaan adalah menghadirkan kedaualatan, keadilan, dan kemakmuran. Harapan ideal ini tak bisa dicapai oleh elite politik yang minus etika. Etika secara sederhana menggambarkan idealisme dan gerakan.

Karena itulah, sejak awal Plato selalu mewanti-wanti bahwa keadaban sebuah negara hanya dapat dicapai bila kuasa kepemimpinan dipegang seorang filsuf. Barangkali tafsir yang bisa kita hadirkan, kepemimpinan itu harus dipegang oleh mereka yang memiliki kemapanan etis, yang tingkah dan arah kebijakannya dimaksudkan menghidupi dan memuaskan hajat hidup orang banyak. Ini karena bahasa filsuf merupakan representasi dari golongan orang bijaksana.

Kebijaksaan itu lahir dari orang etis yang menjadi pemimpin. Tugas pemimpin bukan hanya mengarahkan kebijakan, tetapi bertingkah juga ideal sebagai peneguh keadaban diri sekaligus sinyal bahwa kepemimpinan yang dipegangnya bakal mampu memenuhi hak-hak rakyatnya untuk hidup sejahtera dan penuh keamanan, sebagaimana dijanjikan negara dalam konstitusi kita.

Hanya pemimpin bernalar etis yang bakal mampu membawa perubahan besar bagi kemajuan dan kesejahteraan. Pada mereka menggantung  masa depan republik. Akankah elite politik kita, baik di eksekutif maupun di legislatif memahami suara dan kehendak rakyatnya? Cita-cita kita bersama adalah lahirnya keadaban negara.

Negara sebagai benda mati tak bergerak, adalah tanggung jawab pemerintah sebagai penyelanggaraan sekaligus pemimpin negara untuk mewujudkan kehendak tersebut.

Kita mengharapkan ada nalar etis baru yang bisa mereka pertunjukkan kepada rakyatnya. Mereka adalah orang-orang baru yang mestinya menghadirkan harapan baru.

Nalar etis kepemimpinan adalah pertaruhan hidup antara mereka yang hendak lapuk dengan kekuasaan dan uang, atau mereka menjaga integritas diri mengabdi pada bangsa dan negara dengan ganjaran keadaban hidup yang bakal dikenang sepanjang masa. Itu adalah pilihan.

Masihkah nalar etis pemimpin kita tajam membaca nilai-nilai hidup dan kemanusiaan? Jalan hidup yang tak sepanjang usia kehidupan di muka Bumi. Bagi filsuf eksitensialis atau setidaknya bagi mereka yang diilhami kesadaran eksistensial, hidup dipandang sebagai jalan pahit derita. Cara terbaik membebaskan diri dari derita itu, dengan mengabdi pada kepentingan kemanusian. Itulah mengapa ajaran setiap agama selalu mengandaikan ketercerahan etis pengabdian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar