Pemimpin
yang Bernalar Etis
Masduri ; Akademikus Teologi
dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya
|
SINAR
HARAPAN, 20 Oktober 2014
Kegaduhan para politikus di parlemen, memunculkan resah diri dalam
masyarakat. Kita menaruh curiga yang besar, bahwa masa depan politik kita
bakal kacau-balau akibat ambisi kuasa masing-masing kelompok koalisi terlalu
besar. Kecuriagan khalayak ramai pun makin menguat ketika Koalisi Merah Putih
(KMP) bertaruh demi bisa memegang kuasa tertinggi di DPR dan MPR.
Akibatnya, meski PDIP sebagai pemenang pemilihan legislatif bersama
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang juga memenangi pemilihan presiden, hanya
bisa gigit jari karena tak dapat jatah apapun di parlemen. Lalu benarkah ini
penanda runtuhnya keadaban politik kita? Sampai seperti itukah tingkah etis
para politikus sehingga hendak mengorbankan kepentingan publik demi kuasa?
Bukankah politik digelar guna mencapai keadaban hidup dalam kebersamaan.
Sejak awal, John Locke sebagai filsuf politik mengandaikan bahwa
kehadiran negara sebagai upaya mencapai hak kesejahteraan hidup, yang sangat
mungkin dikebiri bila tak ada kesepakatan membangun negara. Bahkan jauh lebih
ekstrem, Thomas Hobbes menandaskan bahwa kuasa negara itu sangat besar
laiknya Leviathan, sebuah binatang buas dalam mitologi Timur Tengah, yang
ditakuti oleh banyak orang.
Sehingga dengan ketakukan besar yang dirasa oleh rakyat, negara bisa
menggelar kesejahteraan hidup karena setiap orang tak merasa punya kuasa
lebih, melainkan sama-sama menghadirkan dirinya sebagai rakyat yang secara
setara berhak mengakses berbagai fasilitas dan program yang ditebar oleh
negara. Lalu mungkinkah cita-cita tersebut dapat tercapai, bila kuasa negara
dipegang oleh mereka yang gaduh dan berbuat hanya untuk kepentingan diri dan
kelompoknya? Tentu saja tidak.
Kepemimpinan itu harus menghadirkan nalar etis yang bisa dicerna oleh
publik. Ketidakmampuan pemimpin baik legislatif maupun eksekutif dalam
menerjemahkan hajat orang banyak dalam laku kesehariannya, bakal menimbulkan
pesimisme yang berlebihan. Kepemimpinan itu harus menghadirkan pencerahan,
karena pemimpin adalah tumpuan pengharapan setiap orang. Meminjam bahasa John
Gage Allee, pemimpin adalah pemandu (guide),
penunjuk (conductor), komandan (commander) yang menggerakkan kebekukan
menuju puncak cita-cita kebangsaan.
Kembali
ke Rakyat
Etika kepemimpinan itu harus digelar di depan publik, agar mereka tahu
dan paham, bahwa wakil kita di parlemen yang dipilih pada pemilihan
legislatif yang lalu benar-benar bersuara atas nama rakyat. Karena seperti
pemaknaan Abraham Lincoin, demokrasi itu mengembalikan jasanya pada rakyat
sebagai pemilih yang tertatih-tatih hadir demi melihat wakilnya tersenyum
gagah di parlemen. Kuasa politik yang diberikan rakyat baik pada legislatif
maumpun eksekutif dimaksudkan mewakili dirinya menyuarakan kepentingan bersama
yang telah digariskan oleh negara.
Semua orang sudah maklum, bahwa cita-cita kebangsaan kita, yang oleh
Anies Baswean disebut sebagai janji kemerdekaan adalah menghadirkan
kedaualatan, keadilan, dan kemakmuran. Harapan ideal ini tak bisa dicapai oleh
elite politik yang minus etika. Etika secara sederhana menggambarkan
idealisme dan gerakan.
Karena itulah, sejak awal Plato selalu mewanti-wanti bahwa keadaban
sebuah negara hanya dapat dicapai bila kuasa kepemimpinan dipegang seorang
filsuf. Barangkali tafsir yang bisa kita hadirkan, kepemimpinan itu harus
dipegang oleh mereka yang memiliki kemapanan etis, yang tingkah dan arah
kebijakannya dimaksudkan menghidupi dan memuaskan hajat hidup orang banyak.
Ini karena bahasa filsuf merupakan representasi dari golongan orang
bijaksana.
Kebijaksaan itu lahir dari orang etis yang menjadi pemimpin. Tugas
pemimpin bukan hanya mengarahkan kebijakan, tetapi bertingkah juga ideal
sebagai peneguh keadaban diri sekaligus sinyal bahwa kepemimpinan yang
dipegangnya bakal mampu memenuhi hak-hak rakyatnya untuk hidup sejahtera dan
penuh keamanan, sebagaimana dijanjikan negara dalam konstitusi kita.
Hanya pemimpin bernalar etis yang bakal mampu membawa perubahan besar
bagi kemajuan dan kesejahteraan. Pada mereka menggantung masa depan republik. Akankah elite politik
kita, baik di eksekutif maupun di legislatif memahami suara dan kehendak
rakyatnya? Cita-cita kita bersama adalah lahirnya keadaban negara.
Negara sebagai benda mati tak bergerak, adalah tanggung jawab pemerintah
sebagai penyelanggaraan sekaligus pemimpin negara untuk mewujudkan kehendak
tersebut.
Kita mengharapkan ada nalar etis baru yang bisa mereka pertunjukkan
kepada rakyatnya. Mereka adalah orang-orang baru yang mestinya menghadirkan
harapan baru.
Nalar etis kepemimpinan adalah pertaruhan hidup antara mereka yang
hendak lapuk dengan kekuasaan dan uang, atau mereka menjaga integritas diri
mengabdi pada bangsa dan negara dengan ganjaran keadaban hidup yang bakal
dikenang sepanjang masa. Itu adalah pilihan.
Masihkah nalar etis pemimpin kita tajam membaca nilai-nilai hidup dan
kemanusiaan? Jalan hidup yang tak sepanjang usia kehidupan di muka Bumi. Bagi
filsuf eksitensialis atau setidaknya bagi mereka yang diilhami kesadaran
eksistensial, hidup dipandang sebagai jalan pahit derita. Cara terbaik
membebaskan diri dari derita itu, dengan mengabdi pada kepentingan
kemanusian. Itulah mengapa ajaran setiap agama selalu mengandaikan
ketercerahan etis pengabdian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar