Pusat
Kesehatan atau Kesakitan?
Dedi Mulyadi ; Bupati
Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 27 Oktober 2014
Dalam pengelolaan kesehatan masyarakat kita mengenal istilah
puskesmas, yaitu fasilitas kesehatan yang berada pada level kecamatan dengan
fungsi untuk melayani masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan.
Dari sisi struktur, puskesmas memiliki cabang yang disebut
dengan puskesmas pembantu (pustu). Apabila kita mencermati kepanjangan
puskesmas, yaitu pusat kesehatan masyarakat, tentu kita akan berasumsi
pengertiannya cukup luas. Kata pusat menunjukkan sentral dari sisi aktivitas
manusia yang memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi keberlangsungan hidup dan
kehidupan.
Kesehatan adalah nilai tertinggi dalam siklus kehidupan setiap
manusia. Lamun ceuk urang Sunda mah , sanajan harta lubak libuk teu kalebok,
bru di juru bro di panto ngalayah di tengah imah (kata orang Sunda, walaupun
harta berlimpah di setiap penjuru hingga tidak termakan) tidak memiliki arti
apabila kita mengalami gangguan kesehatan. Inilah yang terjadi saat ini.
Kecukupan materi terhalang oleh berbagai larangan atas asupan makanan yang
harus diterima oleh tubuh. Kita mampu beli gula, tapi tidak boleh makan gula.
Beras banyak, tapi makan ditakar. Daging berlimpah, tapi kolesterol harus
dikontrol. Garam banyak, tapi tekanan darah tinggi. Riweuh apanan (repot
kan), kalau seperti ini. Artinya, betapa penting makna kesehatan bagi
kebahagiaan seseorang.
Kata orang Sunda, sehat itu adalah ngeunah dahar, tibra hees (makan enak tanpa pantangan, tidur
nyenyak tanpa halangan). Ngeunah
nyandang, ngeunah nyanding, duka ari nyandung mah... (memiliki sesuatu,
menggunakan sesuatu, entah kalau beristri lebih dari satu... tidak tahu, ah ...)
tanpa harus bayar uang ”retribusi”.
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang tinggal pada sebuah
habitat yang kita kenal dengan istilah kampung, dusun, desa, kecamatan,
kabupaten/kota bahkan negara. Orang Sunda membuat rumus bahwa hidup sehat itu
adalah mereka yang mampu membentuk karakter dirinya, sehingga mengalami watak
keseharian dengan karakter tiis ceuli,
herang mata. (Tiis ceuli,
telinga dingin terhadap berbagai ucapan, pendengaran yang merusak tata pikir
dan tata hatinya; herang mata,
matanya selalu melihat keindahan yang bersifat menyenangkan seluruh emosi dan
rasanya, terbebas dari yang pikasebeleun dan pikakeuheuleun alias penglihatan
yang mengakibatkan kebencian dan kekesalan).
Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan lingkungannya.
Gunung yang hijau, air jernih mengalir, angin berembus perlahan, hujan jatuh
membasahi seluruh permukaan alam yang menari bernyanyi tanpa henti. Keindahan
tanpa batas. Ah, pokona mah endah weh...
(Ah, pokoknya indah deh...). Dengan demikian, akan melahirkan masyarakat yang
panjang umur, terbebas dari konflik, tidak mumet dalam politik, meletakkan
diri pada kepasrahan yang menjadi garis perjalanan hidup manusia. Hirup ukur
sasampeuran, awak ukur sasampayan, sariring riring dumadi, sarengkak
saparipolah, sadaya kersaning Allah... (menerima seluruh ketentuan hidup yang
didasarkan pada kepasrahan takdir Yang Mahakuasa). Alhasil, bagi orang Sunda,
untuk setiap musibah, selalu ada kata ”untung”. Orang jatuh dari pohon,
untung teu potong sukuna (untuk tidak patah kakinya), untung teu maot (untung tidak meninggal). Jika pun jatuh sampai
meninggal, untung maot, lamun hirup mah
leuwih susah (untung meninggal, jika saja hidup tentu hidupnya lebih
sulit).
Kalau melihat hal tersebut, pusat kesehatan itu ada pada setiap
rasa manusia yang sangat dipengaruhi oleh apa yang didengar, apa yang
dilihat, apa yang diisap, dan apa yang disuap. Artinya, kesehatan sangat
dipengaruhi oleh pendengaran, penglihatan, penghisapan, pengucapan, yang
membentuk karakter manusia yang berpusat pada perut, hati, dan jantung serta
otak. Dari situlah, kesehatan manusia akan mampu ditata dan dikendalikan.
Ketika pusat kesehatan diwujudkan dalam bentuk bangunan, yang
memiliki derajat terendah dalam susunan struktur pelayanan publik di dinas
kesehatan atau kementerian kesehatan, maka menjadi hal yang sangat aneh. Kita
memahami sepenuhnya, bahwa puskesmas itu merupakan standar pelayanan minimal
walaupun pada saat ini sudah banyak bermetamorfosis menjadi puskesmas rawat
inap yang memiliki fungsi pelayanan tidak sekadar pelayanan dasar. Tetapi
tetap saja dari sisi pendekatan bahasa dan pendekatan makna, kata puskesmas
tidak cocok untuk meletakkan fungsi dan peran derajat kesehatan masyarakat.
Asa ku aneh (terasa aneh) memang, kesehatan masyarakat dipusatkan pada
sebuah bangunan yang diisi oleh tenaga medis, tenaga administrasi, obat, dan
bangunan standar. Sangatlah pantas kalau tingkat kematian ibu akibat
melahirkan masih tinggi, penyakit dengan ancaman kematian tinggi sudah
menyebar ke seluruh desa. Di desa sekarang ada kanker, stroke, gagal ginjal,
diabetes, leukimia, bahkan sudah ada HIV. Hal tersebut mungkin dipicu oleh
pemahaman kita yang salah terhadap kesehatan. Kesehatan itu adalah berobat,
kesehatan itu adalah operasi, kesehatan itu adalah alat pacu jantung,
kesehatan itu adalah kemoterapi. Kata saya yang bodoh, itu bukan kesehatan.
Itu kesakitan. Kalau yang diurus oleh dinas kesehatan terfokus pada
pengobatan, nanti kita ganti saja jangan dinas kesehatan, tapi ganti jadi
dinas kesakitan. Lucu kan?
Dunia ini adalah kumpulan katakata. Kata menunjukkan makna,
menempatkan kata yang salah akan melahirkan makna yang salah. Memaknai
sesuatu yang salah, akan melahirkan perilaku hidup yang sesat. Sesat bukan
persoalan aliran agama nih , tapi kita tersesat dalam pola hidup kita.
Kesehatan terpusat pada hati dan pikiran. Dari hati dan pikiran yang sehat,
tidak akan pernah melawan keinginan alam besar dan alam kecil. Alam besar
adalah pusat yang menggerakkan, alam kecil, tanah, air, udara, matahari yang menjadi
bagian dari diri kita.
Pusat kesehatan dari sisi aspek lingkungan ada pada seluruh
wilayah makro dan mikro kita. Kalau ingin sehat, bangunlah pagi-pagi, bukakan
jendela rumah agar udara segar masuk ke kamar kita terus mandi di pancuran,
airnya bening, belum tercemar. Salat subuh jangan lupa. Setelah itu makan
nasi hangat, kayunya pakai kayu bakar, yang tidak perlu subsidi elpiji, sama
tutug oncom pakai garam. Ngambil pacul, pergi ke sawah, badan digerakkan,
kalorinya dibakar. Pukul 10.00 kita makan lagi, terus kerja lagi sampai pukul
12.00. Pulang salat zuhur, istirahat. Pukul 14.00 kita ke kebun sampai pukul
16.00, pulangnya bawa pisang tanpa pestisida. Terus salat asar, habis salat
makan lagi. Magribnya menutup pintu dan jendela tanpa dikunci, salat magrib.
Baca Alquran sampai isya. Selepas isya, tidur deh ... enggak usah nonton
televisi.
Tidur tanpa nonton televisi tidak akan pusing oleh kebisingan
politik. Tengah malam, bangun salat tahajud, terus tidur lagi sampai subuh. Ah, rarasaan nu kieu pusat kesehatan mah...
(Ah, rasa-rasanya yang beginilah namanya pusat kesehatan). Walaupun hal ini
tidak mungkin ditemukan lagi, kecuali di kampung adat seperti di Baduy, tidak
ada puskesmas, tidak ada dokter, tidak ada perawat, tidak ada obat kimia,
mereka umurnya panjang-panjang, hidupnya bahagia tanpa konflik, bahkan tidak
ada demokrasi pemilihan langsung, yang ada demokrasi alam yang diatur oleh
siklus alam. Jangan-jangan puskesmas itu di sini. Heup ah... (Sudah ah...)
Apabila realitasnya seperti ini, pusat kesehatan itu berada pada
tanah, air, udara, dan matahari. Pada titik inilah kita harus gemar untuk
menyerahkan diri secara total, agar tidak ada jarak antara kita dan Dia.
Tetapi ironinya, kita malah berbuat sebaliknya, merusak keberadaannya, atas nama
peningkatan ekonomi dan kemakmuran, kemudian kita bangun bangunan semu atas
nama kesehatan masyarakat bernama puskesmas.
Wah, jadi serius nih... Tidak ada salahnya kalau kita melakukan
koreksi. Frase ”pusat kesehatan masyarakat” kita ganti saja menjadi ”balai
gangguan kesehatan” atau ”rumah berobat”, atau istilah lain yang lebih jujur
bahwa yang datang ke situ orang yang sakit dan butuh pelayanan tingkat
pertama. Mudah-mudahan kalau diganti kalimatnya sudah enggak ada lagi orang
yang datang, karena puskesmasnya sudah dipindahkan oleh masyarakat ke dalam
hati dan pikirannya. Bisa jadi nanti enggak ada lagi kementerian kesehatan,
karena kesehatan menjadi milik semua kementerian. Yang ada adalah kementerian
gangguan kesehatan. Yang diurusnya adalah bangunan pelayanan, obat,
kelengkapan medis, tenaga medis dan asuransi gangguan kesehatan serta
manajerial pelayanan gangguan kesehatan yang berstandar internasional.
Mengerti kan maksud saya? Kalau tidak mengerti, nanti baca lagi
tulisan saya yang berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar