Pesta
Rakyat
Aris Setiawan ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 23 Oktober 2014
Sesaat setelah Jokowi dan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan
Wakil Presiden RI, sebagian masyarakat melangsungkan pesta rakyat. Tak hanya
di Jakarta, keramaian pesta juga berlangsung di hampir pelosok negeri. Nama
"pesta rakyat" seolah menandakan bahwa sejatinya Jokowi adalah
milik rakyat. Dalam pesta itu, segala lapisan masyarakat berbaur dalam satu
tujuan, yakni mengungkapkan rasa syukur. Kita dapat melihat artis-artis kelas
kampung hingga Ibu Kota bernyanyi. Uniknya, mereka tidak dibayar, alias
gratisan. Semua demi menyemarakkan pengukuhan Jokowi, sang Presiden.
Selama ini, kita mendengar slogan "Jokowi adalah kita". Dalam
pesta rakyat, slogan itu menjadi nyata. Rakyat melihat Jokowi sebagai
representasi diri mereka: sederhana, jujur, bahkan terkadang terlihat ndeso.
Dan, justru kenaturalan dan kesederhanaan itulah yang sesunggunya memikat dan
bikin rakyat jatuh cinta. Dalam pidato resminya di hadapan MPR dan DPR, tanpa
diduga ia dengan lugas menyebut "tukang bakso" untuk menemani kata
"nelayan" dan "petani", yang selama ini jamak diucap.
Sebuah diksi baru yang kemudian menggambarkan bahwa ia berusaha menyentuh
segala lapisan masyarakat kelas bawah tanpa membedakan antara yang satu dan
yang lain. Wajar jika pelantikan Jokowi menjadi "pesta" bagi
segenap rakyat Indonesia.
Pesta bukan semata menghambur-hamburkan sesuatu secara berlebihan.
Apalagi semata bersenang-senang. Dalam pesta itu, segala doa dan harapan
disematkan. Pemotongan tumpeng sebagai simbol keselamatan dilakukan. Saat di
atas panggung pesta rakyat di Monas, Jokowi memberikan potongan tumpeng
pertama kepada seorang wanita, Siti Mugiyah, yang belakangan diketahui
sebagai sopir taksi dan penopang hidup keluarga. Potongan kedua dan ketiga
pun ia peruntukkan bagi pejuang kehidupan kelas akar rumput yang selama ini
terlupakan. Jokowi tak memberikan potongan tumpeng itu kepada pejabat,
kolega, apalagi politikus dan ketua partai. Ia menekankan arti keberpihakan
kepada rakyat kecil. Ia menjadi "harapan baru" sebagai oasis di
tengah kerasnya kehidupan dewasa ini. Jokowi menandai babak baru di mana
persentuhannya dengan rakyat begitu terasa.
Setelah berpesta, selanjutnya rakyat akan mengawasi dan menunggu hasil
kinerja Jokowi. Mungkin ia kalah dari segi koalisi partai di parlemen, tapi
ia memiliki koalisi dengan nama "rakyat". Uniknya, keikhlasan yang
diberikan oleh rakyat (sebut pula relawan) selama ini patut menjadi catatan
tersendiri. Sebutlah, misalnya, para artis Ibu Kota, yang sekali manggung
mendapat puluhan hingga ratusan juta rupiah, rela bercapek-capek tampil tanpa
dibayar demi Jokowi. Sebuah pemandangan yang langka dijumpai di dunia serba
industri dewasa ini dengan segala hitung-hitungan untung-rugi.
Hal ini mengingatkan kita akan jejak-jejak kebudayaan manusia Indonesia
yang dibangun di atas kesadaran kohesi kolektif, kerja sama, dan saling
menghargai. Sebutlah, misalnya, gotong-royong di kampung, ngayah di Bali,
serta sambatan di Jawa Tengah. Pada intinya, mereka melakukan sesuatu bukan
untuk mencari uang atau materi, melainkan demi persaudaraan dan kasih sayang
antarsesama. Pesta rakyat yang digelar hendak bersuara lantang menyampaikan
hal tersebut.
Karena itu, dari pesta rakyat yang telah digelar , kiranya dapat
dipetik kandungan hikmah dan pesan yang tersimpan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar