Menantikan
Sang Pemenang
Sri Palupi ; Peneliti
Institute Ecosoc
|
KOMPAS,
22 Oktober 2014
SELEPAS hiruk-pikuk pemilihan pimpinan DPR dan MPR, seorang anggota
Koalisi Merah Putih menyatakan senang koalisinya berhasil duduk di pimpinan
DPR dan MPR. Sementara anggota Koalisi Indonesia Hebat meresponsnya dengan
pernyataan bahwa dalam berpolitik, kemenangan yang sesungguhnya tidak saat
mendapatkan kedudukan, tetapi saat mendapatkan dukungan rakyat. Baik Koalisi
Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat tak menyadari, di dalam
berpolitik, kemenangan tak berarti menjadi yang pertama dan menduduki jabatan
utama. Kemenangan juga tidak berarti dapat dukungan rakyat.
Sebab, jabatan dan dukungan rakyat hanya alat untuk mewujudkan tujuan
politik, yaitu kebaikan bersama. Pemenang yang sesungguhnya dalam politik
adalah mereka yang berhasil mewujudkan kebaikan bersama. Persoalannya, apa
yang disebut sebagai kebaikan bersama selama ini dipahami dan diterjemahkan
dalam ukuran yang artifisial, seperti pertumbuhan ekonomi, produk domestik
bruto (PDB), pendapatan per kapita, arus investasi, jumlah kelas menengah,
status layak utang, bertumpuknya penghargaan dari luar, yang tak sejalan
dengan kualitas hidup rakyat. Itulah mengapa kian banyak bangsa meninggalkan
tolok ukur kebaikan bersama yang palsu dan beralih ke tolok ukur sejati,
yaitu kebahagiaan rakyat.
Pemimpin republik datang silih berganti, tetapi rakyat tak juga merasa
bahagia. Ada kecenderungan, setelah menduduki jabatan utama para penguasa
menghadapkan rakyat pada kondisi paradoks. Ini terasa terutama dalam sepuluh
tahun terakhir. Indikator ekonomi makro dipuji lembaga-lembaga asing.
Indonesia diprediksi jadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Bahkan Dana
Moneter Internasional (IMF) memprediksikan, pada 2020 PDB Indonesia masuk
urutan 10 besar dunia, yakni 3.200 miliar dollar AS, di bawah Rusia (3.500
miliar dollar AS) dan Inggris (3.400 miliar dollar AS). Indonesia diprediksi
menggeser Jerman, Perancis, Rusia, Inggris, dan juga Jepang.
Proyeksi ini tak memberikan optimisme pada kebahagiaan rakyat. Di saat
ekonomi bertumbuh dan pendapatan per kapita meningkat, kehidupan rakyat
justru kian terasa berat. Kesenjangan distribusi pendapatan melebar, indeks
pembangunan manusia tak menunjukkan perbaikan signifikan, kedalaman, dan
keparahan kemiskinan malah meningkat. Rakyat kian tak berdaulat atas Tanah
Air sendiri.
Aset ekonomi negara yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dikuasai korporasi besar. PDB lebih banyak disumbang
korporasi besar. Meski proporsinya hanya 0,01 persen, unit usaha besar
menyumbang 41,83 persen PDB dan 82,98 persen ekspor. Ini karena 98,88 persen
unit usaha mikro kesulitan mencari sumber dana.
Indonesia kini menjadi negara dengan penghasilan menengah. Namun,
keberhasilan ini dicapai dengan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa
kendali. Keselamatan rakyat dan kehidupan generasi mendatang tak masuk dalam
hitungan. Demi pertumbuhan ekonomi dan citra penguasa, rakyat dipaksa
menanggung berbagai penderitaan akibat perampasan lahan, meluasnya konflik
dan kekerasan, meningkatnya intensitas bencana sebagai konsekuensi dari
kerusakan lingkungan.
Ekonomi
kebahagiaan
Pada 19 Juli 2011, PBB menandatangani resolusi terkait dengan
kebahagiaan dan pembangunan holistik. Kebahagiaan ditetapkan sebagai
indikator pembangunan. Lahirnya resolusi ini dilatarbelakangi dua kenyataan.
Pertama, paradoks ekonomi global. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi
negara-negara di dunia meningkat, pendapatan per kapita meningkat, dan jumlah
kelas menengah meningkat. Di sisi lain, keputusasaan kian melanda dunia,
daerah kumuh meningkat, disintegrasi keluarga dan komunitas, rasa aman kian
menipis, serta bencana akibat kerusakan lingkungan meluas. Pertumbuhan
ekonomi nyatanya tidak mengarah pada peningkatan kualitas hidup manusia.
Kedua, semakin banyak bangsa meninggalkan indikator ekonomi mainstream
dan beralih pada ekonomi kebahagiaan. Ekonomi kebahagiaan diterapkan pertama
kali tahun 1972 oleh Bhutan. Miris dengan meluasnya dampak liberalisasi
ekonomi, Bhutan tak lagi merisaukan pertumbuhan ekonomi, dan beralih
menggunakan frase Gross National Happiness (GNH) sebagai tolok ukur kemajuan.
Konsep GNH Bhutan mencakup empat pilar: pemerintahan baik dan
akuntabel; pembangunan sosial ekonomi berkelanjutan; pelestarian budaya; dan
konservasi lingkungan. Empat pilar ini dirinci dalam sembilan domain, yaitu
kualitas psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan waktu, keragaman dan
ketahanan budaya, pemerintahan yang baik, vitalitas masyarakat, keragaman dan
ketahanan ekologi, serta standar hidup. Sembilan domain ini mewakili komponen
kebahagiaan.
GNH mengoreksi dan menggeser definisi ”nilai”, dari uang ke kehidupan.
Kekuasaan dan pengambilan keputusan yang selama ini terpusat pada korporasi
dan pasar uang global kini bergeser ke orang-orang dan masyarakat lokal.
Dengan GNH, pembangunan dijalankan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua
orang, mendukung demokrasi dan keadilan, serta mengembangkan kehidupan yang
sarat kebahagiaan. Paradigma ekonomi lama yang condong melayani dan
memperbesar konsumsi ditanggalkan.
Bhutan semakin maju dalam pencapaian GNH. Langkah Bhutan menginspirasi
dunia dan memperkuat kepercayaan akan adanya jalan lain di luar kapitalisme.
Tercatat, Inggris, Perancis, dan negara-negara Amerika Latin menerapkan
indikator kebahagiaan dalam ekonomi mereka. Itulah mengapa kebanyakan
negara-negara Amerika Latin memiliki indeks kebahagiaan tinggi meskipun
pendapatan per kapitanya relatif rendah.
Survei yang dilakukan UN Sustainable Development Solutions Network
(SDSN) terhadap 156 negara pada 2013 menyimpulkan, rakyat Indonesia kurang
bahagia. Bahkan dibandingkan dengan negara ASEAN. Bagaimana bisa bahagia
kalau pertumbuhan ekonominya lebih banyak dinikmati kalangan atas, sementara
rakyat kebanyakan terus diimpit kenaikan harga, kualitas pendidikan apa
adanya, serta layanan birokrasi buruk dan korup.
Sang
pemenang
Ketidakbahagiaanlah yang mendorong rakyat memilih Jokowi, sosok yang tak
terkait Orde Baru. Rakyat berharap Jokowi benar-benar meninggalkan cara lama
dalam mengurus negara dan jadi sang pemenang. Tentu tak mudah jadi pemenang
mengingat banyak hal buruk diwariskan pemerintah sebelumnya, seperti utang
menumpuk, aset ekonomi negara menipis, kasus pelanggaran HAM terbengkalai,
kerusakan lingkungan, konflik agraria, serta mafia dan koruptor menggurita.
Sudah lama rakyat menanti sang pemenang, bukan orang bejo yang mendapat
kesempatan jadi presiden. Rakyat butuh kehadiran sang pemenang, bukan sekadar
presiden. Sebab, sang pemenang tak akan menipu atau membohongi rakyat. Akhir
kata, ada satu kekuatan yang ada dalam diri pemenang yang membedakannya dari
pecundang: pemenang mendengarkan kebenaran yang ada dalam dirinya;
mendengarkan nuraninya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar