Restorasi
GBHN
Yudi Latif ; Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
|
REPUBLIKA,
15 Oktober 2014
Yang menjengkal dari kecenderungan sikap “ahli” dan pelaku politik
kontemporer di negeri ini adalah kegairahan untuk meninggalkan sistem politik
sendiri dengan mencangkokkan sistem dari negara adikuasa, namun dengan cara
tambal sulam.
Lewat empat kali amandemen Konstitusi, kedudukan kedaulatan (locus of sovereignty) yang semula
memusat di MPR dihapuskan. Para pelaku amandemen mengira bahwa sistem
pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tiga tempat (Legislatif, eksekutif
dan yudikatif) seperti di Amerika Serikat lebih demokratis ketimbang sistem
pemerintahan yang memusatkan kedaulatannya di satu “lembaga tertinggi”
seperti sistem Westminster di Inggris. Jarang disadari bahwa “kedaulatan”
rakyat dalam demokrasi tidak harus selalu dijalankan dalam bentuk pemisahan
kekuasaan (separation of power)
seperti di Amerika Serikat. Yang terjadi di Inggris malah suatu penggabungan
kekuasaan (fusion of power) dengan
memusatkan kedaulatan rakyat di “parlemen”. Parlemen Inggris terdiri dari 3
unsur: Raja/Ratu di Parlemen sebagai unsur eksekutif, House of Commons (yang dipilih langsung) dan House of Lords (yang ditunjuk) sebagai unsur legislatif, dan juga
mengandung unsur judicial karena law lords yang berada di House of Lords merupakan “Appellate Committee” (peninjau
keputusan peraturan perundang-undangan).
Sistem pemerintahan Indonesia sebelum amandemen Undang-Undang Dasar
1945 hampir menyerupai Inggris dalam hal memusatkan kedaulatan rakyat di satu
lembaga tertinggi, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bedanya,
fungsi dan kekuasaan MPR dalam sistem pemerintahan kita lebih lemah ketimbang
parlemen di Inggris. MPR sebagai parlemen di Indonesia tidak mengandung unsur
eksekutif dan judicial, dan fungsi utamanya hanya merumuskan dua “norma
hukum” tertinggi (UUD dan GBHN) yang dilakukan oleh tiga unsur parlemen: DPR,
Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Orde Reformasi tampaknya cenderung hendak meniru sistem Amerika Serikat
tetapi “salah arah”, karena tidak mengadopsinya secara konsisten. Kekuasaan
membuat undang-undang (legislatif) di Amerika Serikat hanya dijalankan oleh
lembaga perwakilan saja, yakni Kongres, yang merupakan gabungan antara house of representatives (DPR) dan senate (DPD). Resminya, Presiden AS
dilarang untuk menyampaikan rancangan undang-undang ke Kongres. Adapun
kekuasaan membuat undang-undang dalam sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen
Konstitusi tidak hanya dijalankan oleh lembaga perwakilan. Meskipun pasal 20
ayat 1 menyatakan: “DPR memegang kekuasaan membuat undang-undang”, tetapi
ketentuan ini dimentahkan oleh ayat 2: “Setiap rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Artinya,
kita tidak konsisten menjalankan konsep pemisahan kekuasaan, karena Presiden
masih ikut dalam pembuatan undang-undang.
Setelah MPR dijatuhkan posisinya dari lembaga tertinggi, kewenangannya
dalam menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga ditiadakan.
Sebagai gantinya, muncul Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
yang ditetapkan dengan Undang- Undang. RPJPN ini kemudian diturunkan ke dalam
Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode lima tahunan, dengan
memberi kesempatan kepada Presiden untuk menentukan platform politik pembangunannya tersendiri, sesuai
dengan janji kampanye.
Masalahnya, karena RPJP ini ditetapkan oleh undang-undang, maka
Presiden ikut serta dalam merumuskan ketentuannya. Setelah itu, karena
Presiden juga diberikan kewenangan untuk menetapkan platform pembangunan,
maka Presiden juga yang menjalankan undang-undang itu dan menetapkan
anggarannya. Dan akhirnya, karena tidak ada mekanisme pertanggungjawaban kepada
MPR, maka Presiden juga yang mengawasi pelaksanannya. Alhasil, jika
Presidennya tidak amanah, mudah sekali kebijakan pembangunan di negeri ini
jatuh ke tangan kepentingan perseorangan, yang dapat merugikan kepentingan
nasional.
Hal ini amat berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di
Amerika Serikat. Di sana, meskipun
Presiden diberikan wewenang untuk menetapkan platform kebijakannya,
namun fungsi Kongres dalam menentukan
anggaran lebih kuat. Sesuai dengan sistem pemisahan kekuasaan, baik Senat dan
DPR di AS harus sama-sama menyetujui anggaran, kemudian ditandatangani
Presiden Amerika Serikat. Jika Presiden tidak setuju atas rancangan anggaran
yang ditetapkan Kongres, Presiden bisa memvetonya, dan rancangan anggarannya
dikembalikan ke Kongres. Di Kongres, veto tadi dapat dibatalkan dengan dua
per tiga suara menolak. Oleh karena itu, kerap terjadi dalam sejarah AS,
perselisihan dalam Kongres atau veto Kongres atas veto Presiden berdampak
pada penutupan pemerintahan (shut down),
seperti terjadi belum lama ini.
Selain persoalan teknis-instrumental, ada persoalan prinsipil. Dalam
konsepsi negara kekeluargaan, haluan negara sebagai norma dasar itu mestinya
dirumuskan oleh pelbagai representasi kekuatan politik dalam lembaga
tertinggi negara (MPR). Ekses negatif dari kewenangan MPR sebagai lembaga
tertinggi negara di masa lalu sebenarnya bisa saja dihilangkan. Artinya,
Presiden tidak perlu lagi dipilih oleh MPR; dan MPR juga tidak bisa langsung
menjatuhkan Presiden tanpa melalui mekanisme impeachment yang memerlukan pengajuan
DPR dan keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun, dalam ketentuan prosedur impeachment pada UUD pasca amandemen
pun sebenarnya terkandung pengakuan terselubung, yang menempatkan MPR sebagai
lembaga tertinggi. Karena MPR-lah yang diberikan wewenang sebagai pemutus
terakhir bisa atau tidaknya Presiden dimakjulkan. Seturut dengan itu,
mestinya tidak perlu ada keraguan untuk mengembalikan kewenangan MPR dalam
menetapkan GBHN dalam versi yang lebih disempurnakan dari produk GBHN di masa
lampau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar