Senin, 27 Oktober 2014

Dilema Kota di Atas Tanggul

Dilema Kota di Atas Tanggul

Bernardus Djonoputro ;  Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah
KOMPAS, 27 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


RENCANA pembangunan tanggul raksasa berbentuk Garuda yang di atasnya terdapat bangunan-bangunan masif mixed-use dan jalan tol di muka Teluk Jakarta memperlihatkan sebuah realitas urbanitas kota kita. Kota sebagai ekspresi kekuasaan menyiratkan kekuatan uang dan kemiskinan sekaligus. Ruang kota-kota Indonesia pun mengalami keadaan ketika kesenjangan dan pengaruh kekuasaan menjadi fenomena utama kota. Kota-kota Indonesia yang semakin padat sangat rentan bencana, kelompok kaum urban yang rentan pun menempati berbagai ruang kota produktif, terjepit kekuatan kapital yang seakan mengarahkan pembangunan kota ke ruang yang salah.

Kewibawaan produk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta 2030 sudah langsung dihadapkan pada dilema sejak lahir. Pandangan kapitalistik Pemerintah Provinsi Jakarta dengan keputusan untuk mengganti posisi segenap pemangku kepentingan kota dari stakeholder (pemangku kepentingan) menjadi shareholder (pemilik saham) seolah mengamini titik berat kekuasaan pemanfaatan ruang pada pemilik modal sebagai determinan penting arah kebijakan kota. Maka, jangan salahkan masyarakat memandang produk peraturan daerah ini sangat berpihak pada kekuatan yang memiliki pengaruh, kapital dan hak veto.

Saat ini kita pun dibuat terbelalak dengan rencana pembangunan megaproyek tersebut karena dalam RTRW Jakarta 2030 hanya tercantum indikasi program yang mengatur rencana untuk mencapai penurunan risiko bencana pantai utara Jakarta, salah satunya dengan membangun tanggul. Dalam Kebijakan Penataan Ruang Pasal 6 Ayat 8 dan Pasal 14 tentang Strategi Penataan Ruang, hanya secara selintas ditetapkan tiga tahapan rencana tanggul laut. Tahap 1 di sepanjang garis pantai Jakarta Utara saat ini. Tahap 2 adalah sepanjang garis pantai untuk melindungi 17 pulau hasil reklamasi. Barulah tahap 3 tanggul yang lebih luar untuk melindungi bagian utara reklamasi. Bentuk dan peruntukan daratan masif berbentuk garuda raksasa tidak tercantum baik di Perda No 1 Tahun 2012 tentang RTRW Jakarta maupun Perda No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang.

Teknokrasi bisa anarkis

Kenaikan muka air laut sudah jamak menjadi sebab dibangunnya berbagai sistem tanggul laut di seluruh dunia. Penelitian memperlihatkan muka laut rata-rata naik 1,6 milimeter hingga 1,8 milimeter tiap tahun di sepanjang abad XX. Lembaga Intergovernmental Panel on Climate Change memproyeksikan kenaikan sekitar 18 sentimeter pada 2050. Tanggul laut berbagai ukuran pun sudah dibangun sejak zaman dulu. Di Qiantang, Tiongkok, kota tua Batroun di Lebanon, dan Akko di Israel. Bangunan zaman pertengahan di Belanda sampai tanggul modern seperti di Vancouver, Kanada; Galveston di Texas, AS; dan Saemangum di Korea. Di Jepang, 43 persen dari 29.000 km garis pesisirnya dilindungi semacam tanggul. Fungsi lain tanggul pun paling-paling sebagai tempat rekreasi dan untuk menghindari dari ancaman ombak tinggi, tsunami, dan topan.

Kontroversi pembangunan infrastruktur pengendali air masif sebagai intervensi teknokrasi selalu diwarnai isu seputar kelayakan ekonomi, sasaran yang dianggap utopis, analisis dampak lingkungan, dan belum maksimalnya manajemen pengendaliannya. Banyak diskusi soal kurangnya kajian sosial, dampak langsung pada masyarakat sekitar, proses demokratis dalam pengambilan keputusan, serta berubahnya kawasan lindung bakau. Pro dan kontra pembangunan tanggul laut perlu menilik analisis biaya dan keuntungan serta efektivitas sebagai sebuah intervensi untuk manajemen kawasan pesisir. Kelihatannya pemerintah secara sengaja mengaburkan konsep tanggul laut dan kota di atas tanggul. Ketidaktegasan Pemprov Jakarta dalam menanggapi keanehan program pemerintah pusat ini sarat nuansa gagap teknologi dan terpojokkan dalam dilema rasio antara biaya dan keuntungan sosial.

Bagi Pemprov Jakarta, penanganan masalah banjir di hulu yang seyogianya menjadi fokus utama jauh lebih penting daripada megaproyek ini. Crash-program justru seharusnya segera dilakukan untuk menata sistem tata air dan banjir di Jakarta sesuai rencana yang sudah spesifik diatur dalam indikasi program RTRW 2030 melalui pembangunan kolam-kolam retensi dan revitalisasi waduk dengan berbagai terobosan teknologi untuk mengatur daerah aliran sungai (DAS). Kegagalan mengelola 13 sungai sistem Cisadane dan Citarum dengan kualitas air buruk akan membuat genangan kolam tanggul menjadi toilet terbesar di dunia! Akan menjadi malapetaka yang disebabkan intervensi teknokratik yang anarkis.

Keberpihakan

Jakarta sebagai bagian dari sistem kota-kota tidak bisa terlepas dari aturan Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali dan RTR Kawasan Strategis Nasional, Penataan Ruang Jabodetabekpunjur dan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Menteri Pekerjaan Umum dalam Kongres IX Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) yang lalu menyatakan pentingnya penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan penggunaan lahan, serta prinsip pembangunan berkelanjutan yang seharusnya sudah direncanakan sejak proses perencanaan dilakukan. Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) menjadi hal terpenting sebagai langkah awal dalam menentukan berbagai kebijakan rencana dan program pembangunan berkelanjutan sebagaimana UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, menjadi ironis ketika hal-hal itu justru tidak pernah mengemuka karena pejabat kita yang berpihak pada output, bukan proses dan outcome.

Kenyataannya, megapolitan Jadebotabekpunjur adalah konurbasi perkotaan terbesar di belahan dunia selatan dengan 27,5 juta penduduk, melebihi jumlah penduduk Australia, Selandia Baru, Samoa, dan Fiji jika disatukan. RTRW Jakarta 2030 dibangun atas dasar proyeksi penduduk kota inti 12,5 juta. Asas manfaat dan keberpihakan pembangunan infrastruktur berbiaya raksasa ini harus secara mendalam meninjau manfaat bagi penduduk, terutama sejuta warga paling rentan di pesisir utara Jakarta yang tersebar di enam kecamatan yang akan terdampak langsung oleh kegiatan ini. Penelitian IAP tentang Planning Integrated Coastal Adaptation Strategies for North Jakarta yang dilakukan di pesisir utara Jakarta akhir 2013 menemukan bahwa penduduk setempat yang sebagian besar masih mengandalkan kehidupannya dari laut sangat rentan terhadap perubahan alam sekitarnya, terutama laut. Mengabaikan mereka akan menciptakan dampak sosial yang buruk bagi kota dan bagi kemampuan mereka beradaptasi dengan bencana akibat perubahan lingkungan.

Ketika gambar ilustrasi kota di atas tanggul berbentuk burung Garuda dilansir para petinggi negara ke publik, pertanyaan pun timbul. Untuk siapakah kota baru ini dibangun dan bagaimana perhitungan proyeksi tambahan 1,5-2 juta orang di atas aktivitas kota baru sepanjang tanggul? Dengan hitungan baru, jumlah penduduk dalam RTRW harus menjadi 14,5 juta orang dan pemerintah harus segera menyelesaikan proses pengaturan lahan baru tumbuh yang saat ini belum diatur. Semakin mengherankan lagi ketika peletakan batu pertama proyek ini justru dapat protes dari Wali Kota Jakarta Utara. Sangat nyata terlihat tak ada koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Selain perlu dilakukan perhitungan ulang tentang daya dukung tanah baru di atas tanggul, proyeksi bangkitan lalu lintas jalan tol dan nilai ekonomi ataupun masa pengembalian investasinya harus dilakukan segera di awal. Perkiraan pembiayaan infrastruktur Rp 500 triliun akan menjadikan megaproyek ini salah satu proyek terbesar di dunia. Bagaimana dengan pembiayaannya? Pola Kemitraan Publik dan Swasta (KPS) di Indonesia belum terbukti berdaya guna. Juga tilik perangkat pembiayaan mulai dari peraturan pemerintah, perusahaan penjaminan ataupun pengelola dana infrastruktur, dana talangan pemerintah dalam bentuk Viability Gap Fund, hingga organ-organ keuangan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia yang sampai kini belum berperan signifikan.



Dana talangan sebagai garansi atas gagal bayar, risiko politik ataupun risiko komersial, dan risiko kredit negara untuk investasi infrastruktur belum sekali pun berjalan di Indonesia. Lebih sedih lagi, sepanjang dua periode kepemimpinan SBY belum ada satu pun proyek prioritas KPS yang selesai karena dari sekian banyak tender investasi yang sedang berlangsung semua terhenti di tahap tender.

Kelihatan kita mengulangi lagi kebiasaan melansir proyek tanpa disertai persiapan studi kelayakan (feasibility study) yang mumpuni. Semua dilakukan secara ala kadarnya, hanya berpatokan pada pencitraan dan jadwal politis pergantian pemerintah, dan berpotensi menjadi proyek KPS baru yang tidak berujung pangkal. Dituntut kearifan pemimpin nasional dan Jakarta untuk mempersiapkan dan menyosialisasikan proyek raksasa seperti ini secara transparan dan sesuai aturan. Kota di atas tanggul tidak ada dalam RTRW Jakarta 2030 yang saat ini berlaku. Pemerintah baru harus siap untuk konsisten, berpihak pada kemajuan serta yang berkeadilan sosial dan berwawasan pembangunan yang berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar