Haji
dan Pendidikan Antikorupsi
Muhammad Kosim ; Doktor
Bidang Pendidikan Islam IAIN IB Padang
|
HALUAN,
10 Oktober 2014
Di tahun ini, lebih dari 150 ribu jemaah haji asal Indonesia menunaikan
rukun Islam kelima di tanah suci. Besar harapan kita, sekembalinya ke tanah
air, mereka menjadi haji mabrur sehingga memberi efek positif terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak pesan moral yang terkandung dalam
rangkaian ibadah haji tersebut. Salah satu di antaranya adalah mendidik
seseorang untuk menolak praktik korupsi.
Merenungkan pesan ini amat
penting, mengingat negeri ini masih banyak digerogoti oleh orang-orang yang
rakus, korup terhadap kekayaan negara. Akhirnya, rakyat menjadi sengsara.
Pesan moral ibadah haji untuk
menolak tindakan korupsi dapat dilihat dari sejumlah rangkaian ibadah haji.
Thawaf, misalnya, mengajarkan manusia agar setiap beraktivitas mesti sesuai
dengan perintah Allah SWT.
Ali Syariati dalam bukunya
Hajj: Reflection on its Rituals, menjelaskan makna Ka’bah dalam rangkaian
tawaf. Menurutnya, Ka’bah melambangkan ketetapan (konstan), sebab dia hanya
diam. Sementara manusialah yang bergerak (aktif) mengitari ka’bah. Ka’bah
ibarat Matahari, manusia ibarat planet yang mengitari matahari tersebut.
Itu artinya, Allah-lah pusat
eksistensi yang merupakan titik fokus dari dunia yang fana ini. Sementara
manusia mesti bergerak, beraktivitas, berbuat dan bersikap mesti berpusat
kepada kehendak-Nya. Apapun perbuatan dan gerak manusia hanya untuk-Nya,
tidak boleh bertentang dengan ajaran-Nya. Tentu, korupsi merupakan perbuatan
yang dilarang-Nya.
Ali Syariat juga menyebut,
manusia harus bergerak dan berbaur dengan manusia lain secara bersama dengan
mengenakan pakaian ihram secara disiplin. Jika seseorang diam, tidak
bergerak, maka pada hakekatnya ia telah mati, bukan manusia yang sesungguhnya.
Dalam kebersamaan gerak ini, tak ada konsep “Aku”, tak ada “Egoisme
pribadi”, tak ada konsep “Individualistik”, yang ada hanya konsep “Kita”,
atau “Ummah”. Konsep “Aku” seketika berubah menjadi “Kita” untuk
menghampiri Allah SWT.
Maka tawaf mengelilingi
Ka’bah telah mengajarkan kepada umat Islam untuk bersatu melaksanakan
perintah Allah dan merapatkan barisan pula memberantas segala perbuatan
yang dilarang-Nya.
Begitu pula Sa’i, melambangkan
perjuangan fisik, mencari hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dari alam. Manusia tidak boleh fatalis, pesimis dan menyerah kepada “nasib”.
Tapi sa’i mengajarkan manusia untuk berjuang, berijtihad memiliki semangat,
vitalitas dan optimisme, lagi-lagi dengan dasar tauhid yang kuat.
Selain itu, putihnya pakaian
ihram melambangkan kesucian dan kesederhanaan. Ketika pakaian ini dipakai,
buangkan segala sifat kesombongan, keangkuhan, egosime, kerakusan dan segala
penyakit hati yang merusak. Hidup sederhana sangat penting sebagai perisai
dari pola hidup serakah dan rakus yang mengundang tumbuhsuburnya praktik
korupsi.
Pesan-pesan ibadah haji
tersebut hanya bisa dipetik oleh orang-orang yang berakal dan memiliki niat
yang tulus hanya karena Allah. Mereka senantiasa berharap dianugerahkan
Allah menjadi haji mabrur.
Hakikat Haji Mabrur
Kata mabrur sendiri berasal
dari kata barra, yabirru, barran yang berarti kebaikan, kebenaran, ketaatan
atau kesalehan. Mabrur seakar kata dengan al-birr yang juga berarti kebaikan.
Kata al-Birr terdapat dalam al-Baqarah ayat 177, yang menjelaskan hakikat
kebaikan itu sendiri, yaitu: orang yang memiliki akidah yang mantap, ibadah
yang taat, dan kepedulian sosial yang kuat, serta kepribadian yang
bertanggung jawab.
Kata al-Birr juga ditemui dalam
surat Ali Imran ayat 92 yang menegaskan bahwa kebaikan yang sesungguhnya
tidak akan dapat diraih kecuali dengan kerelaan menafkahkan harta yang
paling dicintai.
Dari ciri-ciri al-Birr dalam Alquran
dapat dipahami bahwa haji mabrur tidak saja memiliki kesalehan ritual,
tetapi juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Jangankan korupsi atau mengambil
hak orang lain, menerima pemberian orang lain saja mereka enggan. Sebab
mereka yakin tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Karena itu,
mereka rela memberi sebagian hartanya pada orang lain, sekalipun harta itu
amat dicintainya (Qs. Ali Imran/3: 92).
Demikian terpujinya karakter
haji mabrur, maka tidak ada ganjaran yang patut diberikan kepada mereka,
kecuali surga (alhajjul mabruru laitsa
lahul jazaa-u illal jannah).
Menyaksikan praktik demokrasi
di negeri yang saban hari disuguhi oleh berita kasus korupsi ini mengundang
pertanyaan banyak orang: masih adakah harapan negeri yang mayoritas muslim
ini akan bebas dari korupsi?
Sebagai orang yang beriman,
tentu pantang berputus asa. Umat Islam yang setiap tahun semakin banyak menunaikan
ibadah haji, diharapkan mampu mengambil hikmah dari perjalan suci tersebut.
Jika mayoritas jamaah haji
tersebut kembali ke tanah air menjadi mabrur, cinta dan menebar kebaikan,
maka kehadiran mereka akan mampu meminimalisir perilaku korupsi, atau lebih
dari itu mereka tampil sebagai pahlawan antikorupsi.
Untuk menjadi haji mabrur,
sebelum ia berangkat mestilah meluruskan niatnya hanya karena Allah semata.
Harta yang digunakan juga harus diperoleh dari hasil pekerjaan yang halal,
bukan dari pekerjaan haram. Apalagi Rasulullah SAW pernah mengingatkan:
Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari (hasil) ketidakjujuran dan
sholat tanpa bersuci (Hadis riwayat Imam Abu Dawud).
Sebaliknya, jika biaya haji
yang digunakan dari hasil pekerjaan yang haram, bisa jadi perjalanan haji
justru semakin menutup hatinya dari hidayah Allah SWT dan akhirnya
berstatusnya sebagai “haji” yang terlibat dalam tindakan korupsi.
Haji Berbekal Takwa
Bekal jamaah haji tidak saja
berupa harta tetapi bekal terbaik adalah bekal takwa. Bahkan sebelum musim
haji (bulan Syawal, Dzulqaidah dan Dzhulhijjah), umat Islam terlebih dahulu
melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri dilakukan
agar seseorang menjadi orang yang bertakwa.
Begitu pula urutan ayat
perintah puasa untuk takwa (Qs. Al-Baqarah/2: 183) lebih didahulukan dari
pada ayat yang berbicara ibadah haji (Qs. Al-Baqarah/2: 196-203).
Hal ini mengisyaratkan bahwa
untuk melaksanakan ibadah haji, seseorang mesti berupaya membekali dirinya
dengan takwa. Dengan begitu, ketika ia kembali ke tanah air, sikap
keberagamaannya semakin konsisten dan berkomitmen untuk menegakkan dan
memperjuangkan kebenaran. Sebab orang yang bertakwa adalah orang yang
selalu mawas diri, berhati-hati agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang
dimurkai-Nya.
Dengan begitu, maka setiap
muslim yang sudah menunaikan ibadah haji, akan menjadi teladan dalam kehidupan
umat. Keteladanan dalam berbicara, berpenampilan, bersikap dan bertindak, termasuk
anti terhadap korupsi. Wallahu a’lam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar