Urgensi
Kementerian Pangan
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA,
17 Oktober 2014
Dalam
visi, misi, dan janji kampanye, Jokowi-JK bertekad membawa Indonesia
berdaulat di bidang pangan. Ini, antara lain, dicapai dengan mem bagikan
sembilan juta hektare lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3
hektare menjadi dua hektare, perbaikan jaringan irigasi di tiga juta hektare
lahan, membangun 25 bendungan, 1.000 desa berdaulat benih dan go organic, mencetak satu juta hektare
lahan baru, mendirikan bank petani dan UMKM, dan mendirikan gudang dan
fasilitas pengolahan di sentra produksi.
Jokowi-JK
juga membenahi kelembagaan dengan membentuk kementerian yang mengurus pangan.
Isu ini strategis. Tanpa membenahi kelembagaan, mustahil berdaulat di bidang
pangan.
Dibentuk
pada 1993, enam tahun kemudian, tepatnya pada 1999, Menteri Negara Urusan
Pangan dibubarkan. Sejak itu hingga kini tidak ada lagi lembaga yang bertugas
merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan.
Otonomi
daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Padahal, elite daerah
tidak menjadikan pertanian sebagai driverpencitraan. Bahkan, daerah
menerjemahkan beragam peta jalan swasembada pangan.
Menyadari
tidak ada lagi lembaga penyambung pusat-daerah, dibentuk Dewan Ketahanan
Pangan (DKP). Di daerah di bentuk DKP daerah, baik provinsi mau pun
kabupaten, yang diketuai gubernur maupun bupati. Di pusat, DKP diketuai Presiden
dan secara harian diketuai menteri pertanian. Selain pemda (provinsi/kabupaten/kota),
DKP melibatkan 18 kementerian/lembaga yang terkait soal pangan.
Di Thailand,
lembaga serupa bernama National Food Commision (NFC) dan membawahkan 11
kementerian. Pangan di Thailand maju luar biasa berkat NFC.
Saat ini
DKP merupakan kelembagaan tertinggi di bidang pangan. Masalah terjadi karena
gerak DKP hanya disera kan pejabat eselon I: Ketua Badan Ketahanan Pangan
(BKP) di Kementan yang powerless. Jangankan menggerakkan 18 kementerian/lembaga
terkait, mengoordinasikan sesama pejabat eselon I lintas kementerian saja BKP
tak berdaya.
Akhirnya,
terjadilah kontradiksi: pangan yang amat strategis dan multisektoral hanya
diurus pejabat setingkat dirjen. Presiden sepertinya tidak menyadari
posisinya yang strategis itu.
Masalah-masalah
prinsip yang membuat aneka kebijakan pangan lumpuh tidak tersentuh. Misalnya,
di level hulu bagaimana Kementan berjalan sendiri meraih target swasembada
gula, jagung, kedelai, dan daging sapi serta surplus 10 juta ton beras pada
2014. Ini mutlak perlu tambahan lahan dan air memadai yang otoritasnya di
Kemenhut dan Kementerian Pekerjaan Umum.
Di hilir
kondisinya makin parah. Bukan saja tidak terkoordinasi, masing-masing
kementerian justru bertubrukan kepentingan. Saat Kementan mati-matian
menggenjot produksi, Kementerian Perdagangan mengobral izin impor.
Yang
paling parah sejak otonomi daerah, Kementan seperti anak tiri karena tidak punya
"tangan dan kaki" di daerah. Padahal, implementasi dan eksekusi
program ada di daerah.
Lahirnya
UU No 18/2012 tentang Pangan menerbitkan asa baru. Dalam UU itu kelembagaan
pangan diatur di Bab XII dan terdiri atas empat pasal (Pasal 126- 129). Kelembagaan
diatur lewat perpres, berada di bawah presiden, dan melaksanakan tugas pemerintahan
di bidang pangan, selain memberi penugasan khusus BUMN pangan guna
melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan
pokok dan pangan lain yang ditetapkan oleh pemerintah.
Lembaga
pangan harus terbentuk paling lama tiga tahun setelah UU disahkan. Dari
rancangan perpres yang dibuat Kementan, lembaga diberi nama Badan Otoritas
Pangan Nasional (BOPN). BOPN bertugas menyusun kebijakan pangan; mengoordinasikan,
mengintegrasikan, menyelaraskan, dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan pangan
nasional dan daerah; serta melaksanakan tugas pangan secara nasional.
Seperti
lembaga super body, cakupan
fungsinya amat luas: dari ketersediaan, dis tribusi, harga, konsumsi,
keamanan, hingga penanganan kerawanan pangan dan gizi. BOPN berbentuk lembaga
pemerintah nonkementerian (LPNK), seperti tecermin dari tugasnya:
"melaksanakan tugas di bidang pangan". Karena LPNK, BOPN hanya ada
di pusat dan dipimpin kepala badan eselon IA.
Ditilik
dari bentuknya, BOPN dan BKN hakikatnya tak berbeda. Sebagai LPNK, BOPN harus
memiliki kementerian induk. Dari sisi kedekatan, amat mungkin BOPN menginduk
ke Kementan, sama seperti BKN saat ini. Perubahan itu sama sekali tidak menyentuh
aspek powerless kelembagaan pangan.
Karena
itu, terlalu berlebihan mengharapkan BOPN membawa negeri ini berdaulat di
bidang pangan seperti tujuan UU Pangan dan duet Jokowi-JK.
Karena
itu, langkah Jokowi-JK membentuk kelembagaan yang mengurus pangan merupakan
langkah tepat.
Agar portofolio
Kementan tidak berkurang, sebaiknya urusan pangan dilekatkan ke kementerian
ini. Namanya bisa Kementerian Pangan dan Pertanian. Tugas pokoknya membantu
presiden merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan
pangan. Kementerian Pangan fokus pada perumusan kebijakan, koordinasi,
sinkronisasi, dan harmonisasi regulasi dari hulu ke hilir. Tidak hanya
antarkementerian/lembaga, tapi juga dengan pemda. Tujuan akhir bukan hanya
mandiri, tapi juga berdaulat di bidang pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar