Jumat, 24 Oktober 2014

Urgensi Kementerian Pangan

Urgensi Kementerian Pangan

Khudori  ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
REPUBLIKA, 17 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Dalam visi, misi, dan janji kampanye, Jokowi-JK bertekad membawa Indonesia berdaulat di bidang pangan. Ini, antara lain, dicapai dengan mem bagikan sembilan juta hektare lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 hektare menjadi dua hektare, perbaikan jaringan irigasi di tiga juta hektare lahan, membangun 25 bendungan, 1.000 desa berdaulat benih dan go organic, mencetak satu juta hektare lahan baru, mendirikan bank petani dan UMKM, dan mendirikan gudang dan fasilitas pengolahan di sentra produksi.

Jokowi-JK juga membenahi kelembagaan dengan membentuk kementerian yang mengurus pangan. Isu ini strategis. Tanpa membenahi kelembagaan, mustahil berdaulat di bidang pangan.

Dibentuk pada 1993, enam tahun kemudian, tepatnya pada 1999, Menteri Negara Urusan Pangan dibubarkan. Sejak itu hingga kini tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan.

Otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Padahal, elite daerah tidak menjadikan pertanian sebagai driverpencitraan. Bahkan, daerah menerjemahkan beragam peta jalan swasembada pangan.

Menyadari tidak ada lagi lembaga penyambung pusat-daerah, dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Di daerah di bentuk DKP daerah, baik provinsi mau pun kabupaten, yang diketuai gubernur maupun bupati. Di pusat, DKP diketuai Presiden dan secara harian diketuai menteri pertanian. Selain pemda (provinsi/kabupaten/kota), DKP melibatkan 18 kementerian/lembaga yang terkait soal pangan.

Di Thailand, lembaga serupa bernama National Food Commision (NFC) dan membawahkan 11 kementerian. Pangan di Thailand maju luar biasa berkat NFC.
Saat ini DKP merupakan kelembagaan tertinggi di bidang pangan. Masalah terjadi karena gerak DKP hanya disera kan pejabat eselon I: Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementan yang powerless. Jangankan menggerakkan 18 kementerian/lembaga terkait, mengoordinasikan sesama pejabat eselon I lintas kementerian saja BKP tak berdaya.

Akhirnya, terjadilah kontradiksi: pangan yang amat strategis dan multisektoral hanya diurus pejabat setingkat dirjen. Presiden sepertinya tidak menyadari posisinya yang strategis itu.

Masalah-masalah prinsip yang membuat aneka kebijakan pangan lumpuh tidak tersentuh. Misalnya, di level hulu bagaimana Kementan berjalan sendiri meraih target swasembada gula, jagung, kedelai, dan daging sapi serta surplus 10 juta ton beras pada 2014. Ini mutlak perlu tambahan lahan dan air memadai yang otoritasnya di Kemenhut dan Kementerian Pekerjaan Umum.

Di hilir kondisinya makin parah. Bukan saja tidak terkoordinasi, masing-masing kementerian justru bertubrukan kepentingan. Saat Kementan mati-matian menggenjot produksi, Kementerian Perdagangan mengobral izin impor.
Yang paling parah sejak otonomi daerah, Kementan seperti anak tiri karena tidak punya "tangan dan kaki" di daerah. Padahal, implementasi dan eksekusi program ada di daerah.

Lahirnya UU No 18/2012 tentang Pangan menerbitkan asa baru. Dalam UU itu kelembagaan pangan diatur di Bab XII dan terdiri atas empat pasal (Pasal 126- 129). Kelembagaan diatur lewat perpres, berada di bawah presiden, dan melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan, selain memberi penugasan khusus BUMN pangan guna melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lain yang ditetapkan oleh pemerintah.

Lembaga pangan harus terbentuk paling lama tiga tahun setelah UU disahkan. Dari rancangan perpres yang dibuat Kementan, lembaga diberi nama Badan Otoritas Pangan Nasional (BOPN). BOPN bertugas menyusun kebijakan pangan; mengoordinasikan, mengintegrasikan, menyelaraskan, dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan pangan nasional dan daerah; serta melaksanakan tugas pangan secara nasional.

Seperti lembaga super body, cakupan fungsinya amat luas: dari ketersediaan, dis tribusi, harga, konsumsi, keamanan, hingga penanganan kerawanan pangan dan gizi. BOPN berbentuk lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), seperti tecermin dari tugasnya: "melaksanakan tugas di bidang pangan". Karena LPNK, BOPN hanya ada di pusat dan dipimpin kepala badan eselon IA.

Ditilik dari bentuknya, BOPN dan BKN hakikatnya tak berbeda. Sebagai LPNK, BOPN harus memiliki kementerian induk. Dari sisi kedekatan, amat mungkin BOPN menginduk ke Kementan, sama seperti BKN saat ini. Perubahan itu sama sekali tidak menyentuh aspek powerless kelembagaan pangan.

Karena itu, terlalu berlebihan mengharapkan BOPN membawa negeri ini berdaulat di bidang pangan seperti tujuan UU Pangan dan duet Jokowi-JK.
Karena itu, langkah Jokowi-JK membentuk kelembagaan yang mengurus pangan merupakan langkah tepat.

Agar portofolio Kementan tidak berkurang, sebaiknya urusan pangan dilekatkan ke kementerian ini. Namanya bisa Kementerian Pangan dan Pertanian. Tugas pokoknya membantu presiden merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Kementerian Pangan fokus pada perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi, dan harmonisasi regulasi dari hulu ke hilir. Tidak hanya antarkementerian/lembaga, tapi juga dengan pemda. Tujuan akhir bukan hanya mandiri, tapi juga berdaulat di bidang pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar