Kamis, 23 Oktober 2014

Mengapresiasi Prabowo

Mengapresiasi Prabowo

Endang Suryadinata  ;  Penulis dan Peminat Sejarah
JAWA POS, 23 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


YANG dilakukan Prabowo beberapa hari ini seiring pelantikan Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden (20/10) patut diapresiasi. Di tengah anjuran sebagian pendukungnya agar tidak menghadiri pelantikan, Prabowo memilih hadir. Bahkan, ketika namanya disebut dalam pidato pertama Presiden Jokowi, ketua umum Partai Gerindra itu berdiri dan memberikan hormat. Prabowo juga menemui Wapres Jusuf Kalla dan menyampaikan permintaan maaf, Selasa (21/10).

Kontestasi, bahkan rivalitas, yang memanas sejak Pilpres 2014 berakhir mencair setelah Jokowi menemui Prabowo di rumah almarhum Prof Soemitro Djojohadikoesoemo yang tidak lain adalah ayah kandung Prabowo di Jalan Kertanegara 46, Jakarta Selata (Jawa Pos, 18/10).

Sikap Prabowo tersebut membuktikan bahwa dia memang seorang negarawan dan kesatria. Bahkan, dia menulis surat kepada para pendukungnya untuk bisa legawa dalam menerima kekalahan.

Memang, sejarah sudah mencatat, mulai para raja Nusantara pada masa lalu hingga para pemimpin saat ini, ternyata tidak pernah mudah bersikap legawa untuk menerima kekalahan. Simak saja, sejak Kerajaan Singasari hingga Mei 1998, selalu ada darah yang tumpah karena pergantian kekuasaan. Para korban keris Mpu Gandring, korban 1965, atau korban Mei 1998 adalah saksinya.

Apalagi dalam keseharian orang lebih menonjolkan kemenangan atau kesuksesan. Lalu, kekalahan dianggap sesuatu yang hina. Lihat, sistem pendidikan kita juga terlalu menghargai anak-anak yang bisa meraih angka atau nilai bagus, tetapi tidak becus dalam kehidupan. Sepak bola kita menjadi cermin buruk karena banyak konflik kekerasan yang dipicu sikap tidak mau menerima kekalahan.

Akibatnya, kekalahan dianggap sebagai cela. Seolah kekalahan adalah noda hitam yang layak disesali seumur hidup. Padahal, ajaran yang terlalu mengagungkan kemenangan jelas bukan ajaran yang holistis. Kehidupan kita masing-masing adalah cermin. Betapa tidak ada kehidupan yang mulus 100 persen atau hanya terdiri atas kemenangan. Sebaliknya, tidak ada kehidupan yang hanya dipenuhi kekalahan.

Lalu, bagaimana kekalahan harus dihayati? Kekalahan tentu saja tidak pernah menjadi cita-cita kita. Tentu hanya orang bodoh yang menginginkannya. Lihat, setiap capres-cawapres yang berkompetisi dalam ajang pilpres pasti hanya mengharapkan sebuah kemenangan. Karena itu, masing-masing capres-cawapres memiliki tim sukses. Tidak ada tim gagal atau kalah. Walau ada capres-cawapres yang kalah, tim suksesnya dijamin tidak pernah kalah. Maklum, mereka sudah mendapat bayaran sepadan.

Karena itu, segenap rakyat Indonesia jangan hanya memberikan tepukan atau pujian kepada Jokowi karena berhasil keluar sebagai pemenang dan dilantik. Tetapi, kita juga perlu memberikan penghargaan kepada Prabowo yang, meskipun lama, akhirnya mau menerima kekalahannya. Sebab, tanpa kemauan Prabowo menerima Jokowi, kemudian mengucapkan selamat alias mengaku kalah, Pilpres 2014 akan jadi masalah yang berlarut-larut.

Dengan rivalitas dan fanatisme para pendukungnya, pesta demokrasi kita kali ini menjadi lebih kompetitif, bahkan paling kompetitif sejak pilpres digelar mulai 2004. Karena itu, sikap legawa Prabowo sungguh menyejukkan dan penting bagi bangsa ini untuk memulai langkah baru bersama presiden baru.

Kita juga gembira, Jokowi-JK yang meskipun keluar sebagai pemenang berani menyalami dan bahkan menyebut nama Prabowo di tengah kehadiran 17 wakil negara sahabat serta para anggota MPR. Jokowi tidak menunggu pihak yang kalah menyalami pihak yang menang. Apalagi kemenangan tidak bisa diraih kalau tidak ada yang kalah atau ada pihak yang mau menerima kekalahan dengan legawa.

Bagi Prabowo-Hatta dan para pendukungnya, kekalahan bukan akhir pengabdian kepada nusa dan bangsa. Kekalahan yang diterima dengan sikap kesatria atau kenegarawanan juga punya nilai tersendiri. Karena itu, para pendukung atau konstituen juga perlu diberi penjelasan bahwa kekalahan tidak berarti harus ’’mutung’’. Negeri ini tidak akan bisa meraih impiannya jika ada anak bangsa yang tidak mau berkarya lagi gara-gara kalah dalam pilpres. Kita bisa belajar dari Al Gore yang mau mengalah kepada George W. Bush dalam Pilpres 2004. Kekalahan itu justru memicu Gore untuk terus berkarya. Gore menjadi pahlawan penyelamat lingkungan hidup dunia dan dianugerahi Nobel Perdamaian 2008.

Jadi, kekalahan pun bisa dimaknai sebagai kemenangan bagi hati yang mau bersikap lapang. Confucius menulis, ’’Kemuliaan hidup bukan karena kita tak pernah kalah atau jatuh, namun bagaimana kita bisa segera bangkit setelah kalah atau jatuh.’’

Akhirnya, kita juga perlu menyamakan persepsi, pilpres bukan tujuan utama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pilpres hanyalah sarana demokratis guna mencari pemimpin yang bisa membawa kesejahteraan dan kejayaan.

Pasca pelantikan Jokowi, mari kita jaga Indonesia agar tetap damai. Sudah tidak perlu ada kubu yang menang atau kalah. Dengan demikian, Jokowi dan jajaran pemerintahan serta kita semua akan bisa kerja, kerja, dan kerja sebagaimana slogan Dahlan Iskan. Apa yang dilakukan Prabowo pun membuat namanya pantas dalam sejarah kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar