Harapan
Kinerja Hukum Pemerintahan Jokowi-JK
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 23 Oktober 2014
Sampai kemarin harap-harap cemas mengenai siapa calon menteri,
khususnya bidang hukum dan penegakan hukum, amat terasa bukan bagi ahli hukum
saja, melainkan juga pemangku kepentingan lain seperti kalangan pengusaha
nasional dan asing. Mengapa? Alasan sederhana, karena mereka ingin Indonesia
dihormati sebagai negara yang cinta damai, aman, dan nyaman serta setiap
aktivitas selalu terlindungi secara hukum.
Keinginan tersebut tentu bersifat universal pada setiap bangsa dan di
semua negara. Keinginan dimaksud tidak selalu tercapai dan bagi Indonesia,
setelah melampaui masa pemerintahan enam presiden juga masih jauh dari
harapan tersebut.
Mengapa? jawaban atas pertanyaan sangat kompleks, tidak cukup satu dua
halaman, bahkan mungkin ratusan halaman jawaban sekalipun sulit menjawabnya.
Tampaknya pemimpin nasional Indonesia kewalahan membenahi masalah hukum
dan penegakan hukum. Bukan mereka tidak mau, namun tidak mampu disebabkan
tidak berjiwa hukum dalam setiap kebijakan politik di segala bidang. Apa maksudnya?
Berjiwa hukum adalah memandang hukum tidak sekadar norma dan logika semata,
tetapi sebagai sebuah nilai (values)
yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila di dalam penyusunan dan
pembahasan setiap rancangan UU dan keputusan politik.
Dalam pengamatan penulis, nilai tersebut telah ditinggalkan. Sekalipun
dalam bab “mengingat” setiap UU selalu dicantumkan UUD 1945, tetapi dalam
penyusunan dan pembahasan RUU dilupakan. Alasannya hanya karena tidak cocok
dengan nilai baru (modern) yang intinya bersumber pada filsafat liberalistik
individualistik dan berpihak pada kaum pemilik modal (kapitalis). Konteks ini
bertentangan secara diametral dengan keberpihakan pada paham musyawarah dan
mufakat dan gotong royong yang bertujuan menyejahterakan sekitar 240 juta jiwa
rakyat Indonesia.
Siapa yang tidak tahu masalah ini tentu hanya berpurapura tidak tahu,
apalagi pejabat negara yang ketika disumpah menyatakan akan setia pada
Pancasila dan UUD 1945. Namun apa lacur, kenyataan hidup pemerintahan kita
selama enam kali masanya mempunyai arah lain yang dianggap lebih penting dan
bermanfaat bagi kehidupan rakyatnya.
Sebanyak 35% rakyat miskin tentu tidak mengetahui, lagi pula tidak
perlu mengetahui kecuali perutnya terisi setiap hari dan esok lusa ada
jaminan untuk tetap hidup lebih baik dari semula.
Namun, pemimpin dalam bidang hukum sejatinya mengawal perjalanan
kebijakan bidang lain seperti ekonomi, sosial, budaya, dan dengan segala
ramifikasinya. Bukan sebaliknya, hanya ingin menunjukkan kuasa hukum semata,
apalagi dibarengi arogansi kekuasaan bak Petruk jadi ratu.
Masyarakat Indonesia termasuk patrilineal, bukan matrilineal, sehingga
seyogianya para pendamping pimpinan nasional sampai jajaran di bawahnya tidak
“mendominasi”, apalagi berperilaku sebagai “kepala kantor” karena baik-buruknya
dan berhasil atau tidaknya kinerja suami adalah berada pada beban suaminya
itu.
Dalam bahasa birokrasi di Indonesia, ada pepatah “jika jalan depan
susah bisa jalan belakang”, sudah menjadi “tradisi” pada setiap pergantian
pemerintahan, tentunya kita tidak tahu komisi apalagi yang patut mengawasi
masalah ini.
Dalam konteks persaingan usaha yang didambakan sehat dan tidak curang,
apalagi melibatkan korporasi asing, tentu korporasi nasional harus waspada
dan menjaga kualitas kinerja menjauhi dari perbuatan suap untuk memperoleh
proyek. Karena sudah banyak kasus baik di KPK dan kejaksaan, korporasi
terlibat tindak pidana termasuk korupsi.
Namun di balik itu semua, tidak semua kasus korporasi adalah murni
pidana melainkan juga ada yang dilatarbelakangi persaingan usaha (bisnis)
mungkin khas di Indonesia saja.
Petinggi hukum harus waspada terhadap iklim persaingan usaha baik
antara korporasi nasional dan asing atau antarkorporasi asing, karena ada
beberapa kasus korporasi disponsori oleh korporasi pesaingnya dengan tujuan
menghancurkan kredibilitas korporasi melalui penetapan pengurusnya sebagai
tersangka dan terdakwa. Dari sana bisa terjadi aset korporasi disita dan
akhirnya dirampas dengan putusan pengadilan. Dan, dampak negatifnya adalah
karyawan di-PHK dan devisa dan pajak badan sirna karenanya. Dalam kasus
seperti ini, jelas kerugian keuangan negara menjadi lima kali lipat dan unik
karena negara telah menimbulkan kerugian bagi negaranya.
Pak Jokowi dan JK, penulis dan tentu semua ahli hukum mendambakan
pemimpin yang perhatian terhadap masalah hukum sebagaimana penulis uraikan di
atas, khususnya dalam bidang perpajakan yang bak benang kusut. Di satu sisi, penerimaan
pajak (dalam negeri/luar negeri) tidak pernah memenuhi target dalam setiap
APBN dengan alasan jumlah wajib pajak (WP) yang baru mencapai 20 juta orang,
dan kurangnya pegawai pajak berbanding jumlah penduduk (seharusnya jumlah
WP). Selain itu, sistem otomasi perpajakan belum efektif sampai tingkat
kecamatan/kabupaten/kota. Di sisi lain, “hanky-panky“
fiskus dan WP masih belum berhenti mungkin akibat “self assessment“ yang disalahgunakan. Selain itu operasi
perpajakan belum dapat menyentuh jaringan tersembunyi antara fiskus, atasan
fiskus,dan WP.
Pemerintah SBY telah mengeluarkan empat Inpres Percepatan Pemberantasan
Korupsi, alih-alih korupsi cepat diberantas, malahan korupsinya meningkat
semakin cepat. Revisi UU KUP dan UU Tipikor sangat mendesak agar dapat
dibenahi mana perbuatan fiskus atau WP yang murni sengketa pajak, pidana
pajak atau termasuk tindak pidana korupsi. Sampai saat ini, pembedaan tegas
belum jelas karena UUnya dan iklim dunia usaha menjadi gamang khawatir
berimbas menjadi korupsi hanya karena ada kerugian keuangan negara.
Visi dan misi hukum Indonesia ke depan seharusnya berbasis pada “cost and benefit ratio“ bukan hanya
semata-mata pada penilaian “benar (right)
atau salah (wrong) karena penilaian
pertama telah gagal secara signifikan membangun masyarakat yang sejahtera,
aman, nyaman dan damai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar