Kawan
dan Lawan Politik
Mohamad Sobary ; Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 27 Oktober 2014
Pak Jokowi punya banyak pendukung dan kawan yang bisa
diandalkan. Mereka kuat dan bisa membikin Pak Jokowi menang dalam pemilu yang
baru lalu.
Mereka kuat karena pada dasarnya semua orang-orang lemah,
terbukti dari ”saweran” politik yang disalurkan melalui suatu rekening khusus
recehan.
Ini semua luar biasa. Hanya suasana jiwa dan solidaritas politik
di masa revolusi dulu yang bisa menyamainya. Kita terkejut, dan heran, bahwa
di tengah suasana serbauang, serbamateri, serbabayar, dan tak satu pun unsur
gratis dalam hidup ini, tiba-tiba, entah apa sebabnya, sebuah solidaritas
yang tak terbayangkan muncul.
Kita belum lagi tahu, faktor apa penyebabnya. Apakah kita tak
perlu tahu dan cukup mengatakan solidaritas ya solidaritas? Apakah
solidaritas itu cukup dijelaskan, semata untuk Pak Jokowi dan tidak mungkin
untuk orang lain?
Betapa luar biasanya fenomena politik ini. Apakah ini suatu
cermin kewibawaan kharismatik yang bisa membius kesadaran massa, yang hanya
dimiliki Bung Karno pada zamannya? Apakah kewibawaan keduanya memiliki
sumber-sumber yang sama dan muncul dalam wajah politik yang sama?
”Kita belum tahu.” ”Apakah Pak Jokowi setingkat Bung Karno?”
”Kita juga belum tahu.” ”Apakah kewibawaan Pak Jokowi sama
dengan kewibawaan Bung Karno?”
”Kita belum tahu.” ”Apakah pengaruh kewibawaan keduanya sama?”
”Mungkin sama pengaruhnya. Tapi tak berarti Pak Jokowi sama
dengan Bung Karno”
Mungkin tidak harus sama. Pak Jokowi ya Pak Jokowi. Bung Karno
ya Bung Karno. Itu saja. Lagi pula buat apa harus sama dan disama-samakan? Biarlah
masing-masing menjadi pribadi khusus, sesuai tuntutan sejarah. Dan itu
berarti keduanya tidak sama, dan memang tidak harus sama.
Kecuali itu, kawan politik Pak Jokowi, pendukung Pak Jokowi,
tidak sama dengan kawan politik dan pendukung politik Bung Karno. Seperti
disebut di atas tadi, secara sepintas solidaritas politik kali ini tampak
seperti solidaritas di zaman revolusi, solidaritas pada Bung Karno. Tapi apa
yang ”tampak seperti” belum tentu sama, dan kelihatannya tidak sama. Saya
tidak tahu persis bagaimana kawan politik Bung Karno di zaman revolusi.
Apakah mereka tidak memiliki ambisi politik, dan tidak minta imbalan pada
Bung Karno agar mereka diangkat menjadi menteri atau pejabat lain yang setara
menteri, atau yang punya wibawa besar di masyarakat.
Kawan Pak Jokowi mungkin lain. Seikhlas-ikhlasnya mereka
mendukung, ”ngeploki ” dan ”nyuraki ” agar Pak Jokowi menang, keikhlasan
mereka kelihatannya, rasa-rasanya, disertai suatu pamrih. Apalagi bagi mereka
yang memang oportunis. Orang oportunis mengerikan. Tak mungkin ada ketulusan
pada jenis manusia seperti itu.
Orang yang selamanya tak pernah ada hubungan dengan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tiba-tiba muncul dan menggunakan
istilah ”merapat”. Sesudah ”merapat” mereka mapan di situ. Tak malu-malu
mereka mendesakdesak dan merepotkan sekali. Orang dari partai lain ikut
kiprah mati-matian di partai lain, tiba-tiba tak tahu malu, ”merapat” seperti
disebutkan tadi, sekadar menjual kepintaran bicara.
Anehnya, orang terpesona pada kepintaran bicara. Anehnya lagi,
Pak Jokowi pun terpesona pada orang yang pintar bicara, yang jelas belum
tentu pintar kerja. Apa dengan sikap seperti ini, janji menyusun kabinet
”profesional” untuk membangun Indonesia ”hebat”, bisa dicapai, dan tidak
bakal kedodoran d tengah jalan?
Bukan hanya begitu. Kawan politik Pak Jokowi kelihatannya kawan
yang transaksional, bukan kawan politik Bung Karno, yang berpikir tulen demi
Indonesia. Kalau kabinet yang disebut bakal banyak profesionalnya, tetapi
kemudian ternyata hanya banyak pengamatnya, kita sudah tahu, dalam tiga
minggu, atau tiga bulan, kabinet pengamat itu hanya bakal banyak diskusi dan
menghasilkan analisis situasi mutakhir. Kita tak jadi punya kabinet yang bisa
bekerja. Sebetulnya makin diam kabinet itu makin baik.
Di mana-mana, orang kerja haruslah diam, tidak berisik, jangan
kebanyakan analisis, tidak perlu kebanyakan debat. Mestinya kita memilih
pendukung yang sedikit bicara banyak kerja. Kalau kebalikannya, yaitu
kebanyakan pengamat dan politisi, tampaknya kita berani bertaruh: tanggung
tidak jadi apa-apa selain diskusi, berdebat, diskusi dan berdebat.
Situasi seperti ini sedang berlangsung sekarang. Pak Jokowi
sedang dipengaruhi oleh cara berpikir dan cara memandang kehidupan politik,
yang tak semuanya berorientasi pada hasil, hasil, dan hasil. Banyak tekanan,
yang tampil dalam bentuk saran-saran halus, seolah sekedar saran, tapi
sebetulnya, kalau saran itu tak dipenuhi, kita tahu, kawan politik ini akan
segera berubah menjadi lawan politik paling penuh kedengkian. Mereka bisa
ngerecoki.
Mereka bisa menjadi sejenis duri di dalam daging. Dan jangan
salah, orang seperti ini mudah sekali menjual rahasia politik kepada pihak
luar, yang tak begitu menyukai Pak jokowi. Apa lagi si oportunis yang
hidupnya memang hanya untuk mencari kesempatan politik dan jabatan.
Kalau orang seperti itu sudah diakomodasi dengan baik dan akan
duduk manis selama masih bisa memperoleh keuntungan politik yang dicari,
mereka akan diam. Tapi Pak Jokowi, apa pantas orang yang bercita- cita luhur
membela Indonesia, tetapi mengakomodasi orang oportunis? Apa ini enak secara
etis? Apa keadaan seperti ini tak dianggap berbahaya secara politis?
Pak Jokowi kelihatannya tak memiliki kemewahan politik untuk
bisa ”to turn political enemies into friend ”, dan kemungkinan yang paling
dekat malah sebaliknya: ”to turn political friends into enemies ” Ini
gara-gara kaum oportunis yang dipuja- puja, dan dijunjung-junjung seperti
pahlawan. Kita bakal melihat bahaya potensial ini menjadi bahaya nyata dan
merepotkan segalanya.
Jangan salah. Kecuali kawan politik, Pak Jokowi memiliki lawan-
lawan politik yang membawa ”bara” yang siap menyala untuk membakar apa saja
yang tak mereka sukai. Saya kira, ini semua sudah diperhitungkan. Mungkin
bahkan sudah ada akomodasi politiknya yang manis? Berapa lama kita tahan
berpura-pura dalam drama politik yang bukan cerminan jiwa kira sendiri? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar