Menanti
Menakertrans Pemberani
Rekson Silaban ; Direktur
Indonesia Labor Institute
|
KOMPAS,
23 Oktober 2014
KEBIJAKAN ketenagakerjaan pada lima tahun terakhir tidak memunculkan terobosan
baru dalam persoalan ketenagakerjaan. Tuntutan buruh dan pengusaha sering
direspons dengan cara populis sehingga kebijakan yang dibuat tidak bisa
dijalankan karena bertentangan dengan perundang-undangan.
Seperti saat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi merespons
tuntutan buruh menghapus buruh alih daya, dengan mengeluarkan Kepmenakertrans
Nomor 19 Tahun 2012, yang membatasi penggunaan tenaga kerja alih daya hanya
untuk lima jenis kegiatan. Kepmenakertrans ini disambut gembira buruh, tetapi
ditentang Apindo. Namun, keduanya sadar kebijakan ini tidak bisa
diimplementasikan karena secara teknis sulit dilakukan. Kepmenakertrans ini
membuat mekanisme, untuk menentukan jenis pekerjaan alih daya harus mendapat
rekomendasi dari asosiasi bisnis. Mayoritas jenis pekerjaan tak memiliki
asosiasi akibatnya rekomendasi pun tak pernah ada. Praktik penyimpangan buruh
alih daya tetap berjalan seperti semula, business as usual.
Contoh kedua, saat pemerintah merespons kemarahan Apindo akibat
kenaikan upah minimum yang cukup tinggi tahun 2013. Presiden mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2013 yang isinya membuat pembatasan upah
sesuai dengan kerentanan sektor. Sekalipun sesungguhnya Inpres ini melanggar
UU No 13/2003, untuk meredam gejolak pebisnis, inpres terpaksa dibuat.
Seperti dapat diduga, inpres ini tidak bisa diterapkan karena rujukan
hukumnya yang lemah.
Contoh ketiga, tuntutan buruh untuk memperbaiki pengawasan
ketenagakerjaan dengan melibatkan tripartit direspons dengan mengeluarkan
kepmenakertrans baru dengan membentuk dewan pengawas tripartit nasional.
Namun, lagi-lagi lembaga ini tak bisa berjalan karena hanya berfungsi sebagai
dewan konsultatitf, tetapi tak jelas fungsi dan wewenangnya dalam mencegah
penyimpangan hukum ketenagakerjaan.
Pekerjaan
rumah mendesak
Dalam praktik selama ini, Kemenakertrans sebenarnya hanya mengurus soal
kecil dalam urusan ketenagakerjaan, yaitu penempatan, pengawasan, dan menjaga
hubungan industrial yang damai. Masalah penciptaan lapangan kerja bukan
domain langsung kementerian ini. Pekerjaan utama Kemenakertrans adalah
memastikan hubungan kerja buruh dan majikan berlangsung adil, peraturan
perundang-undangan diawasi dengan ketat, konflik industrial bisa diatasi
dengan mekanisme cepat untuk menghindari mogok, memberikan pelatihan, dan
penguatan kapasitas tripartit untuk berunding dengan nalar.
Untuk menakertrans baru kabinet JKW-JK, penulis sarankan agar mulai
melakukan pembenahan dari sumber konflik utama yang selama ini menjadi momok
hubungan industrial Indonesia. Pertama, tentang mekanisme penetapan upah
minimum. Sesuai dengan aturan, penetapan upah minimum 2015 harus diputuskan
pada 30 November. Itu berarti hanya satu bulan setelah dilantik jadi menteri
akan langsung menghadapi konflik tahunan buruh-majikan. Sistem pengupahan
Indonesia sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Perlu direformasi ke sistem
yang less-conflict and politicking.
Namun, karena waktunya sempit, menakertrans hanya bisa bergerak cepat
mengeluarkan petunjuk pengupahan yang baru sehingga survei upah, perundingan
berlangsung lancar. Namun, untuk upah minimum 2016, menakertrans harus
menemukan sistem pengupahan yang baru untuk menghentikan seremoni konflik
tahunan buruh versus majikan. Sejumlah opsi sudah ditawarkan, termasuk opsi
yang sudah lama ditawarkan penulis, mulai dari upah berdasarkan
produktivitas, kompetensi, serta usaha kecil dan besar. Yang belum ada adalah
keberanian untuk melakukannya.
Kedua, pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai Januari
2015. Karena mayoritas pekerja Indonesia adalah unskilled labor (tak
terampil) ada kekhawatiran besar, pasar kerja kita akan dikuasai pekerja dari
negara lain. Pasar yang dibuka untuk ASEAN terdiri atas lima sektor jasa
(transportasi udara, e-ASEAN, pelayanan kesehatan, turis, dan jasa logistik)
serta tujuh sektor produksi (produk pertanian, elektronik, perikanan, produk
berbasis karet, tekstil, otomotif, dan produk berbasis kayu). Sementara untuk
bidang profesional ada delapan, yaitu perawat, rekayasa, arsitek, tenaga
survei, akuntan, pariwisata, praktisi medis, dan dokter gigi).
Menakertrans harus segera menggelar rapat darurat untuk mengantisipasi
mengalirnya tenaga kerja asing ke Indonesia, dengan mempersiapkan
perlindungan kepada buruh dalam negeri yang rentan kehilangan pekerjaan
akibat kompetensi yang rendah. Selanjutnya, dengan melalui kerja sama
antardepartemen, memilih segmen unggulan yang dapat menjadi produk unggulan
Indonesia untuk bisa memasuki pasar negara lain. Pasar negara lain tak bisa
dimasuki apabila tidak memiliki sertifikat sesuai dengan standar mutual
recognition agreement (MRA), yaitu sertifikasi kompetensi yang diakui ASEAN.
Indonesia harus sebanyak mungkin memperbanyak pelatihan kerja yang sesuai
dengan standar MRA. Sehingga, jika pasar ASEAN bisa dimasuki pekerja kita,
tekanan pengangguran domestik bisa ditekan.
Ketiga, masalah eskalasi pelanggaran UU ketenagakerjaan sebagai akibat
lemahnya pengawasan. Ini adalah isu lama yang tidak bisa diselesaikan sejak
sistem pengawasan didesentralisasi. Padahal, menurut penilaian penulis, tidak
sulit untuk mencari solusi atas hal ini. Sistem pengawasan harus direformasi
dengan melibatkan peran tripartit. Varian sistem pengawasan di dunia ini ada
beragam, Indonesia hanya perlu memilih, mengadopsi sebagian atau keseluruhan sistem
tersebut sesuai dengan kebutuhan. Namun, kalau tidak ada keberanian mengubah,
konflik industrial akan selalu tinggi. Karena instrumen pengawasan sejak awal
memang sudah tidak layak, old fashioned, rentan korupsi. Reformasi ini bisa
dilakukan dalam periode tahun 2015-2016.
Keempat, tingginya pengangguran dan pekerja informal. Sekalipun dinas
tenaga kerja bukanlah yang memiliki otoritas langsung atas kebijakan
ketenagakerjaan, disnaker bisa melakukan tugasnya dengan mengurangi tingkat
pengangguran sesuai dengan kapasitasnya. Salah satu yang tercepat adalah
dengan mengeluarkan aturan pemagangan di semua perusahaan.
Aturan misalnya ditetapkan sebagai berikut: perusahaan dengan jumlah
karyawan kurang dari 50 diwajibkan menerima pekerja magang sebanyak 2 persen,
perusahaan dengan karyawan 100 orang lebih wajib menerima 4 persen, dan
seterusnya sesuai dengan kelipatan. Kalau ini dilakukan, setidaknya
pengangguran akan turun 600.000-800.000, dengan asumsi ada 30.000 perusahaan
dengan skala usaha di atas 50 pekerja. Dengan berbekal pengalaman magang.
akan mempercepat mereka masuk sebagai pekerja formal.
Memperketat
pekerja asing
Hal lain yang bisa dilakukan untuk menurunkan pengangguran adalah
memperketat pengawasan pekerja asing yang berkeliaran di Indonesia. Ratusan
ribu pekerja asing mencari kerja di Indonesia dengan legalitas palsu atau
hanya dengan visa turis. Menakertrans harus segera menggelar operasi bersama
polisi, KPK, dan imigrasi. Serikat buruh bisa memberikan data atas kasus ini
di sejumlah perusahaan asing di Indonesia.
Belum lagi misalnya kalau digelar pelatihan masif di berbagai balai
latihan kerja (BLK), ini akan ikut menyumbang penurunan pengangguran.
Asumsi-asumsi makro yang selama ini dikemukakan bahwa dengan pertumbuhan
ekonomi 1 persen akan menciptakan lapangan kerja 250.000-300.000 cenderung
bias, dan sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya. Karena bisa saja
pertumbuhan terjadi di sektor padat modal, atau sektor keuangan yang tidak
memerlukan pekerja yang banyak. Program ini bisa mulai dilakukan pada tahun
kedua menakertrans nanti.
Kelima, polemik lama tentang UU No 13/2003. Inilah satu-satunya UU yang
aneh di Indonesia. Alasannya: ditolak pengusaha dan buruh walau dengan
dimensi berbeda; sudah enam kali diubah oleh putusan Mahkamah Konstitusi,
sampai tidak seorang pun paham isi keseluruhan pasalnya; isinya (lihat: Pasal
157) berbenturan dengan UU SJSN No 40/2004 tentang aturan jaminan pensiun.
Sayangnya, UU ini sering di-politicking sehingga pemerintah dan DPR gamang
mengubahnya.
Menakertrans baru harus mensponsori perubahan UU ini, setidaknya untuk
alasan kejelasan isinya pasal demi pasal setelah putusan MK. Apabila
menakertrans tahun depan mengajukan konsepnya ke DPR, paling lambat tahun
2017 UU kontroversial ini akan hilang.
Keenam, pengaturan kebebasan berserikat. Banyaknya serikat buruh di
Indonesia telah menjadikan hubungan industrial menjadi buruk. Itu karena
kunci dari keharmonisan hubungan industrial adalah peran para aktor yang
menduduki lembaga-lembaga tripartit daerah dan nasional. Indonesia adalah
negara yang tidak memiliki aturan tentang kriteria untuk menjadi serikat
buruh nasional, provinsi, dan daerah. Kalaupun ada, hanya sebatas kewajiban
administratif registrasi, seperti memiliki AD/ART, pengurus, kantor, dan mendaftar
di kantor disnaker setempat. Namun, tidak mensyaratkan jumlah anggota dan
sebaran anggotanya di daerah.
Longgarnya kriteria ini membuat setiap saat lahir serikat buruh baru
yang umumnya hasil dari perpecahan. Penulis sudah berulang kali menyarankan
agar Indonesia mengikuti international best practices ILO yang menyebutkan,
mitra tripartit yang kredibel adalah serikat buruh yang paling banyak
mewakili atau the most representatives. Atas dasar itu, menakertrans baru
harus segera melakukan dua hal: menetapkan batas threshold untuk menentukan
parameter sebuah serikat buruh sesuai dengan tingkatannya (wilayah, sektoral,
atau konfederasi). Mirip cara kita menetapkan parpol, UU keormasan. Ada
kejelasan menetapkan kriteria menjadi organisasi tingkat nasional.
Setelah kriteria ditetapkan, langsung diadakan verifikasi nasional.
Sejak reformasi belum pernah sekali pun verifikasi nasional dilakukan
sehingga keberadaan orang-orang di tripartit nasional sering diragukan
kebenarannya. Akibatnya, tidak ada satu pun rekomendasi tripartit nasional
yang bisa dilahirkan, karena legitimasinya yang rendah. Melalui pengaturan
dan verifikasi akan ditemukan mitra pemerintah dan Apindo yang benar-benar
the most representatives. Mereka inilah yang berhak mengatasnamakan buruh
Indonesia dalam perumusan aturan, UU dan kebijakan lain. Ini mendesak
dilakukan karena banyak hal yang segera dirundingkan menakertrans dalam
tripartit.
Ketujuh, perumusan besaran uang jaminan pensiun. Sesuai dengan UU SJSN,
jaminan pensiun di BPJS Ketenagakerjaan akan dimulai Juli 2015. Itu berarti
menakertrans baru harus segera menggelar perundingan dengan Apindo dan
serikat buruh. Isu ini akan sensitif dan memakan banyak waktu perundingan.
Apalagi sebagai program baru belum ada pengalaman tripartit dalam menetapkan
besaran manfaat pasti yang dimaksud, hitungan aktuaria, pengelolaannya,
pengawasan, dan sebagainya. Namun, karena perintah UU, skema pilihan harus
diputuskan sebelum batas waktu.
Inilah tujuh area krusial menakertrans baru. Disarankan agar menakertrans
membentuk tujuh gugus tugas khusus untuk menggarap satu per satu isu tersebut
sehingga bisa selesai dengan cepat. Penolakan dengan beragam alasan akan
pasti terjadi, menakertrans tidak boleh takut atas desakan demo atau tekanan
politik. Karena saat ini ada momentum yang tersedia dengan munculnya JKW-JK
sebagai simbol pemimpin bersih. Jadi, diperlukan menakertrans yang berani
karena perubahan tidak pernah ada jika tidak ada yang memulai perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar