Minggu, 19 Oktober 2014

Bersiasat dengan Sumber Dana yang Terbatas

                               Diskusi  Kompas-Kemenko Kesra tentang “Perumahan Rakyat”

Bersiasat dengan Sumber Dana yang Terbatas
A Handoko  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  17 Oktober 2014

                                                                                                                       


SETELAH 69 tahun merdeka, Indonesia tidak juga bisa lepas dari persoalan ketersediaan papan bagi penduduknya. Alih-alih menjadi percontohan bagi negara kawasan ASEAN, Indonesia justru sedang menghadapi gunung persoalan di depan mata.

Angka kekurangan pasokan rumah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2013 atau yang lebih populer dengan sebutan backlog, mencapai 15 juta unit. Ketimpangan pasokan dan permintaan menyebabkan backlog terus meningkat.

Permintaan rumah baru setiap tahun kira-kira mencapai 800.000 unit. Adapun pasokan hanya sekitar 200.000 unit.

Pembiayaan adalah salah satu dari sekian banyak akar soal tak tersedianya jumlah permukiman sesuai kebutuhan. Dengan taksiran harga rata-rata rumah layak huni Rp 200 juta per unit, butuh dana Rp 3.000 triliun untuk membangun 15 juta rumah.

Atau, jika mengacu pada angka kebutuhan tahunannya saja, butuh Rp 160 triliun per tahun. Pemerintah dengan ruang fiskal yang sempit karena beban subsidi energi jelas tak bisa memberi alokasi yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan perumahan.

Beberapa program sudah dijalankan pemerintah, seperti bantuan pembangunan rumah tak layak huni dan pembangunan rumah susun sederhana sewa. Namun, dengan keterbatasan anggaran, program ini juga tak bisa menyelesaikan persoalan kebutuhan permukiman penduduk dalam waktu singkat. Di luar itu, pemerintah juga sudah meluncurkan skema pembiayaan, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).

FLPP merupakan skema pembiayaan perumahan bersubsidi untuk bunga dan uang muka. Namun, skema itu hanya bisa membantu 60.000 masyarakat berpendapatan kurang dari Rp 3 juta per bulan untuk mendapatkan rumah setiap tahun. Skema ini juga baru menyentuh pada persoalan masyarakat berpenghasilan rendah sekalipun tidak semuanya bisa terakomodasi. Sementara masalah ketimpangan pasokan dan kebutuhan rumah tetap ada.

Dengan asumsi seluruh penduduk yang butuh rumah bisa membayar uang muka dan cicilan setiap bulan, persoalan tak lantas selesai. Pengembang dihadapkan pada persoalan lain, yakni sumber dana pembiayaan pembangunan rumah.

Dana perbankan

Walaupun ada yang merogoh kocek sendiri, kebanyakan pengembang mengharapkan pembiayaan dari lembaga keuangan bank. Namun, sektor perbankan yang selama ini menjadi tulang punggung pembiayaan proyek perumahan kini sedang ngos- ngosan.

Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) oleh perbankan jauh lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan kredit yang disalurkan. Per Juli 2014, pertumbuhan DPK hanya 11,6 persen setahun dari Rp 3.392 triliun menjadi Rp 3.787 triliun. Namun, kredit tumbuh 15,6 persen dari Rp 3.021 triliun menjadi Rp 3.495 triliun.

Rasio pinjaman terhadap simpanan nasabah (LDR) juga sudah sangat ketat. Batas atas LDR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah 92 persen, sedangkan pada Juli 2014 sudah mencapai 92,19 persen. Dengan level itu, bank hanya punya sisa likuiditas kurang dari 8 persen untuk mengantisipasi penarikan dana oleh nasabah.

Apalagi, pembiayaan perumahan hanya merupakan satu dari sekian jenis sektor yang mesti dibiayai oleh perbankan supaya roda perekonomian nasional tetap jalan.

Dalam jangka pendek, sulit mengharapkan bank menambah jumlah pembiayaan untuk perumahan, kecuali jika perbankan bisa menghimpun sumber dana murah dengan tenor jangka panjang. Sumber itu memang sudah teridentifikasi, misalnya dari perusahaan pengelola dana pensiun atau asuransi. Namun, eksekusi penggunaan sumber dana jangka panjang itu belum bisa dilakukan segera.

Dalam keputusasaan, muncul harapan bahwa darurat penyediaan permukiman akan terjawab oleh skema tabungan perumahan rakyat yang diakomodasi lewat rancangan undang-undang. Ini adalah konsep tabungan pekerja yang bisa dimanfaatkan mendapat rumah.

Dari sisi sumber dana, perbankan mendapatkan satu akses lagi, terutama untuk menjamin ketersediaan dalam jangka panjang. Namun, Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) itu kandas dalam pembahasan tingkat I antara Panitia Khusus DPR dan pemerintah, sehari menjelang sidang paripurna.

Pangkal kegagalan pengesahan RUU itu adalah Pasal 16 yang menyebutkan bahwa pekerja harus menanggung 2,5 persen iuran dari gaji dan pemberi kerja sebesar 0,5 persen dari gaji pekerja. Pemerintah menarik kembali RUU itu dalam pembahasan terakhir sebelum paripurna keberatan dengan pasal ini.

Dengan analogi bahwa pekerja adalah pegawai negeri sipil dan pemberi kerja adalah pemerintah, pemerintah harus mengalokasikan Rp 1.400 triliun selama 21 tahun untuk iuran tabungan perumahan rakyat. Lalu, masa antrean untuk bisa mendapatkan rumah hingga 21 tahun juga terlalu lama. Pemerintah meminta konsep tabungan perumahan rakyat dibahas lebih komprehensif (Kompas, 1/10).

Kegagalan RUU Tapera ini juga memupus harapan para pegawai swasta. Ke depan, konsep tabungan perumahan harus dimatangkan. Selain itu, wacana integrasi lembaga tunggal yang mengurusi penyediaan tanah dan pembangunan rumah juga harus direalisasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar