Diskusi Kompas-Kemenko Kesra tentang “Perumahan
Rakyat”
Bersiasat
dengan Sumber Dana yang Terbatas
A Handoko ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
17 Oktober 2014
SETELAH 69 tahun merdeka, Indonesia tidak juga bisa lepas dari
persoalan ketersediaan papan bagi penduduknya. Alih-alih menjadi percontohan
bagi negara kawasan ASEAN, Indonesia justru sedang menghadapi gunung
persoalan di depan mata.
Angka kekurangan pasokan rumah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik
tahun 2013 atau yang lebih populer dengan sebutan backlog, mencapai 15 juta
unit. Ketimpangan pasokan dan permintaan menyebabkan backlog terus meningkat.
Permintaan rumah baru setiap tahun kira-kira mencapai 800.000 unit. Adapun
pasokan hanya sekitar 200.000 unit.
Pembiayaan adalah salah satu dari sekian banyak akar soal tak
tersedianya jumlah permukiman sesuai kebutuhan. Dengan taksiran harga
rata-rata rumah layak huni Rp 200 juta per unit, butuh dana Rp 3.000 triliun
untuk membangun 15 juta rumah.
Atau, jika mengacu pada angka kebutuhan tahunannya saja, butuh Rp 160
triliun per tahun. Pemerintah dengan ruang fiskal yang sempit karena beban
subsidi energi jelas tak bisa memberi alokasi yang cukup untuk pemenuhan
kebutuhan perumahan.
Beberapa program sudah dijalankan pemerintah, seperti bantuan
pembangunan rumah tak layak huni dan pembangunan rumah susun sederhana sewa.
Namun, dengan keterbatasan anggaran, program ini juga tak bisa menyelesaikan
persoalan kebutuhan permukiman penduduk dalam waktu singkat. Di luar itu,
pemerintah juga sudah meluncurkan skema pembiayaan, fasilitas likuiditas
pembiayaan perumahan (FLPP).
FLPP merupakan skema pembiayaan perumahan bersubsidi untuk bunga dan
uang muka. Namun, skema itu hanya bisa membantu 60.000 masyarakat
berpendapatan kurang dari Rp 3 juta per bulan untuk mendapatkan rumah setiap
tahun. Skema ini juga baru menyentuh pada persoalan masyarakat berpenghasilan
rendah sekalipun tidak semuanya bisa terakomodasi. Sementara masalah ketimpangan
pasokan dan kebutuhan rumah tetap ada.
Dengan asumsi seluruh penduduk yang butuh rumah bisa membayar uang muka
dan cicilan setiap bulan, persoalan tak lantas selesai. Pengembang dihadapkan
pada persoalan lain, yakni sumber dana pembiayaan pembangunan rumah.
Dana
perbankan
Walaupun ada yang merogoh kocek sendiri, kebanyakan pengembang
mengharapkan pembiayaan dari lembaga keuangan bank. Namun, sektor perbankan
yang selama ini menjadi tulang punggung pembiayaan proyek perumahan kini
sedang ngos- ngosan.
Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) oleh perbankan jauh lebih kecil
dibandingkan dengan pertumbuhan kredit yang disalurkan. Per Juli 2014,
pertumbuhan DPK hanya 11,6 persen setahun dari Rp 3.392 triliun menjadi Rp
3.787 triliun. Namun, kredit tumbuh 15,6 persen dari Rp 3.021 triliun menjadi
Rp 3.495 triliun.
Rasio pinjaman terhadap simpanan nasabah (LDR) juga sudah sangat ketat.
Batas atas LDR yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) adalah 92 persen, sedangkan pada Juli 2014 sudah mencapai
92,19 persen. Dengan level itu, bank hanya punya sisa likuiditas kurang dari
8 persen untuk mengantisipasi penarikan dana oleh nasabah.
Apalagi, pembiayaan perumahan hanya merupakan satu dari sekian jenis
sektor yang mesti dibiayai oleh perbankan supaya roda perekonomian nasional
tetap jalan.
Dalam jangka pendek, sulit mengharapkan bank menambah jumlah pembiayaan
untuk perumahan, kecuali jika perbankan bisa menghimpun sumber dana murah
dengan tenor jangka panjang. Sumber itu memang sudah teridentifikasi,
misalnya dari perusahaan pengelola dana pensiun atau asuransi. Namun,
eksekusi penggunaan sumber dana jangka panjang itu belum bisa dilakukan
segera.
Dalam keputusasaan, muncul harapan bahwa darurat penyediaan permukiman
akan terjawab oleh skema tabungan perumahan rakyat yang diakomodasi lewat
rancangan undang-undang. Ini adalah konsep tabungan pekerja yang bisa
dimanfaatkan mendapat rumah.
Dari sisi sumber dana, perbankan mendapatkan satu akses lagi, terutama
untuk menjamin ketersediaan dalam jangka panjang. Namun, Rancangan
Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) itu kandas dalam pembahasan
tingkat I antara Panitia Khusus DPR dan pemerintah, sehari menjelang sidang
paripurna.
Pangkal kegagalan pengesahan RUU itu adalah Pasal 16 yang menyebutkan
bahwa pekerja harus menanggung 2,5 persen iuran dari gaji dan pemberi kerja
sebesar 0,5 persen dari gaji pekerja. Pemerintah menarik kembali RUU itu
dalam pembahasan terakhir sebelum paripurna keberatan dengan pasal ini.
Dengan analogi bahwa pekerja adalah pegawai negeri sipil dan pemberi
kerja adalah pemerintah, pemerintah harus mengalokasikan Rp 1.400 triliun
selama 21 tahun untuk iuran tabungan perumahan rakyat. Lalu, masa antrean
untuk bisa mendapatkan rumah hingga 21 tahun juga terlalu lama. Pemerintah
meminta konsep tabungan perumahan rakyat dibahas lebih komprehensif (Kompas,
1/10).
Kegagalan RUU Tapera ini juga memupus harapan para pegawai swasta. Ke
depan, konsep tabungan perumahan harus dimatangkan. Selain itu, wacana integrasi
lembaga tunggal yang mengurusi penyediaan tanah dan pembangunan rumah juga
harus direalisasikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar