Malala,
Satyarthi, dan Kekerasan Anak
Anonim ; Lulusan International Biblical College, Yerusalem
|
KORAN
JAKARTA, 14 Oktober 2014
Komite penghargaan di Oslo, Norwegia, mengumumkan Nobel Perdamaian 2014
jatuh ke tangan Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi. Keduanya merupakan
pejuang anak-anak. Berkat perjuangan mereka, anak-anak, khususnya di daerah
rawan konflik dan kekerasan, mendapat akses dunia pendidikan. Keduanya
melawan penindasan terhadap anak-anak, orang muda, serta gigih menyuarakan
hak bocah atas pendidikan.
Dengan demikian, tiga wanita meraih Nobel Perdamaian. Tokoh satunya
adalah Ibu Teresa yang meraih Nobel Perdamaian tahun 1979 berkat karya belas
kasihnya untuk kaum papa, termasuk anak-anak yang dibuang di jalanan
kota-kota besar India. Perjuangan ketiga peraih Nobel Perdamain itu jelas
amat relevan dengan kondisi negeri Indonesia.
Di sini masih banyak anak menjadi korban kekerasan sehingga hak-hak
dasarnya, terutama untuk bersekolah, terabaikan. Menyedihkan, sejak dari
dalam rahim, anak terus diancam beragam kekerasan. Ada kekerasan seksual,
dibuang, sampai dibunuh. Mereka selalu menghiasi pemberitaan. Seharusnya bayi
disambut gembira orang tuanya.
Sayang, sambutan pertama yang diterima di awal hidupnya justru kerap
buruk. Bila bayi macan atau binatang buas tidak sampai diperlakukan buruk
induknya, mengapa kebiadaban justru terjadi di lingkup manusia yang suka
mengklaim beradab? Mungkin benar pendapat para ahli zoologi bahwa manusia
lebih buas dari binatang paling buas mana pun.
Yang menyedihkan, setiap hari juga makin biasa bayi berumur beberapa
hari atau beberapa bulan dibuang. Menurut Komnas Perlindungan Anak, sepanjang
2012, ada 162 pembuangan bayi, 129 di antaranya meninggal. Jadi, setiap tiga
hari, ada satu bayi dibuang. Bayi-bayi malang itu dibuang di tempat sampah,
sungai, selokan, tempat ibadah, puskesmas, ruma sakit, atau bahkan kuburan.
Itu baru angka yang diketahui. Pasti banyak lagi bayi yang dibuang dan
tidak ada tercatat. Biasanya bayi dibuang karena tidak berhasil dibunuh lewat
aborsi. Ada 2,5 juta jiwa bayi diaborsi tahun 2010. Angkanya melonjak dari
tahun 2008 yang “baru” 2 juta jiwa. Tragisnya, 62,6 persen pelaku aborsi
berusia di bawah 18 tahun.
Berarti anak mengorbankan anak. Ini sesuai Pasal 1 Ayat (1)
Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Kurang Cinta Apa sebenarnya salah bayibayi itu? Mengapa mereka harus
mengalami kekerasan, dibuang, bahkan dibunuh? Inilah era lack of love
(kekurangan cinta), khususnya di kotakota besar seperti Jakarta.
Sebab kalau ada cinta yang cukup dari orang tuanya, bayi-bayi yang
sejatinya merupakan anugerah Sang Pencipta itu tidak perlu dibuang. Bayi-hayi
seharusnya diterima, disambut dengan gembira, dan dicintai. Konyolnya, banyak
remaja sering salah dalam memaknai cinta yang hanya dilihat dari sisi eros
(bahasa Yunani untuk menunjukkan daya tarik seksual lawan jenis).
Konsekuensinya, cinta pun dipersempit menjadi hubungan seksual, apalagi
organ-organ reproduksi atau genital remaja tengah berkembang.
Sekitar 28 persen dari 257 juta penduduk Indonesia berusia muda (64
juta) antara 15–24 tahun. Sedangkan menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010,
rata-rata perempuan menikah di bawah usia 20 tahun sekitar 47 persen. Lalu
menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007, sekitar 70 persen
remaja perempuan dan 64 persen remaja pria berpacaran sejak umur 12–19. Data
tersebut menggambarkan degradasi moral di kalangan remaja karena menjamurnya
informasi yang tidak bertanggung jawab tentang seks seperti pornografi yang
kian menjerumuskan mereka ke dalam perilaku seks bebas.
Banyak “anak baru gede” perempuan sering masuk perangkap pacarnya.
“Bila tak mau melakukan hubungan seks berarti tidak mencintai.” Karena takut
kehilangan cinta, hubungan seks pun terjadi. Seks bukan menjadi sesuatu yang
sakral lagi, tapi saluran pelepasan nafsu semata. Padahal hubungan seks pranikah
jelas sangat berisiko. Beragam penyakit menular seksual dan kehamilan.
Lantaran minim pendidikan dan pemahaman seks, banyak ABG perempuan kadang
tidak menyadari bisa hamil akibat hubungan seks. Penyesalan selalu datang
terlambat.
Menyedihkan, usia masih sangat muda, sudah terpaksa menjadi ibu.
Padahal secara emosional atau mental, dia belum siap. Fisiknya memang bisa,
tetapi psikisnya belum. Kehadiran janin di rahim menimbulkan persoalan rumit.
Dalam kondisi demikian, pria yang seharusnya bertanggung jawab biasanya
justru meninggalkan. Penderitaan ibu ABG pun kian lengkap. Tidak heran,
ketika bayi lahir, dia pun segera dibuang. Tradisi dan segala ajaran agama
hanya membolehkan hubungan seks setelah menikah. Di dalam institusi
keluargalah, cinta dirayakan dan martabat manusia dijaga.
Dalam keluarga juga seks menemukan makna yang benar karena bukan hanya
untuk kesenangan, tetapi sebagai prokreasi (ikut dalam karya pencitaan
Tuhan). Di dalam keluarga itu pula, anakanak manusia lahir dan disambut
dengan penuh cinta, bahkan dipanggil dengan sebutan buah hati. Bayi memang
tidak untuk dibuang, apalagi dibunuh sebelum sempat melihat mentari
(diaborsi), tetapi hanya untuk disayang. Untuk itu, perlu direfleksikan, agar
orang tua menyemaikan nilai-nilai peradaban, saling mencintai, membantu, dan
menghargai.
Rumah jangan hanya menjadi tempat singgah di mana setiap penghuninya
terjebak dalam urusan masing-masing. Mereka lebih suka mencari cinta,
perhatian, dan penghargaan di luar rumah. Semua harus lebih meningkatkan
kepedulian untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Keluarga tetap merupakan
institusi terbaik untuk menyelamatkan peradaban. Meskipun tantangan di luar
kian berat, bila di dalam rumah masih ada cinta dan kebersamaan, akan bisa
diatasi. Maka, jadikan rumah sungguh layak untuk berlindung serta memenuhi
hak anak agar tumbuh dan berkembang.
Anak harus dilindungi dari kekerasan. Setiap pribadi harus
mengembalikan nilai-nilai yang mengedepankan kasih sayang sejati sehingga tak
ada lagi bocah yang dicampakkan. Belajarlah dari Malala, Satyarthi, dan Bunda
Teresa agar anak-anak diterima dengan penuh kasih dan damai sehingga bisa
bersekolah dengan gembira. Siapa pun harus bersinergi mengupayakan sebuah
dunia yang damai bagi anakanak agar bertumbuh dan berkembang secara wajar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar