Jumat, 24 Oktober 2014

Malala, Satyarthi, dan Kekerasan Anak

Malala, Satyarthi, dan Kekerasan Anak

Anonim  ;  Lulusan International Biblical College, Yerusalem
KORAN JAKARTA, 14 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Komite penghargaan di Oslo, Norwegia, mengumumkan Nobel Perdamaian 2014 jatuh ke tangan Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi. Keduanya merupakan pejuang anak-anak. Berkat perjuangan mereka, anak-anak, khususnya di daerah rawan konflik dan kekerasan, mendapat akses dunia pendidikan. Keduanya melawan penindasan terhadap anak-anak, orang muda, serta gigih menyuarakan hak bocah atas pendidikan.

Dengan demikian, tiga wanita meraih Nobel Perdamaian. Tokoh satunya adalah Ibu Teresa yang meraih Nobel Perdamaian tahun 1979 berkat karya belas kasihnya untuk kaum papa, termasuk anak-anak yang dibuang di jalanan kota-kota besar India. Perjuangan ketiga peraih Nobel Perdamain itu jelas amat relevan dengan kondisi negeri Indonesia.

Di sini masih banyak anak menjadi korban kekerasan sehingga hak-hak dasarnya, terutama untuk bersekolah, terabaikan. Menyedihkan, sejak dari dalam rahim, anak terus diancam beragam kekerasan. Ada kekerasan seksual, dibuang, sampai dibunuh. Mereka selalu menghiasi pemberitaan. Seharusnya bayi disambut gembira orang tuanya.

Sayang, sambutan pertama yang diterima di awal hidupnya justru kerap buruk. Bila bayi macan atau binatang buas tidak sampai diperlakukan buruk induknya, mengapa kebiadaban justru terjadi di lingkup manusia yang suka mengklaim beradab? Mungkin benar pendapat para ahli zoologi bahwa manusia lebih buas dari binatang paling buas mana pun.

Yang menyedihkan, setiap hari juga makin biasa bayi berumur beberapa hari atau beberapa bulan dibuang. Menurut Komnas Perlindungan Anak, sepanjang 2012, ada 162 pembuangan bayi, 129 di antaranya meninggal. Jadi, setiap tiga hari, ada satu bayi dibuang. Bayi-bayi malang itu dibuang di tempat sampah, sungai, selokan, tempat ibadah, puskesmas, ruma sakit, atau bahkan kuburan.

Itu baru angka yang diketahui. Pasti banyak lagi bayi yang dibuang dan tidak ada tercatat. Biasanya bayi dibuang karena tidak berhasil dibunuh lewat aborsi. Ada 2,5 juta jiwa bayi diaborsi tahun 2010. Angkanya melonjak dari tahun 2008 yang “baru” 2 juta jiwa. Tragisnya, 62,6 persen pelaku aborsi berusia di bawah 18 tahun.

Berarti anak mengorbankan anak. Ini sesuai Pasal 1 Ayat (1) Undangundang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Kurang Cinta Apa sebenarnya salah bayibayi itu? Mengapa mereka harus mengalami kekerasan, dibuang, bahkan dibunuh? Inilah era lack of love (kekurangan cinta), khususnya di kotakota besar seperti Jakarta.

Sebab kalau ada cinta yang cukup dari orang tuanya, bayi-bayi yang sejatinya merupakan anugerah Sang Pencipta itu tidak perlu dibuang. Bayi-hayi seharusnya diterima, disambut dengan gembira, dan dicintai. Konyolnya, banyak remaja sering salah dalam memaknai cinta yang hanya dilihat dari sisi eros (bahasa Yunani untuk menunjukkan daya tarik seksual lawan jenis). Konsekuensinya, cinta pun dipersempit menjadi hubungan seksual, apalagi organ-organ reproduksi atau genital remaja tengah berkembang.

Sekitar 28 persen dari 257 juta penduduk Indonesia berusia muda (64 juta) antara 15–24 tahun. Sedangkan menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, rata-rata perempuan menikah di bawah usia 20 tahun sekitar 47 persen. Lalu menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia 2007, sekitar 70 persen remaja perempuan dan 64 persen remaja pria berpacaran sejak umur 12–19. Data tersebut menggambarkan degradasi moral di kalangan remaja karena menjamurnya informasi yang tidak bertanggung jawab tentang seks seperti pornografi yang kian menjerumuskan mereka ke dalam perilaku seks bebas.

Banyak “anak baru gede” perempuan sering masuk perangkap pacarnya. “Bila tak mau melakukan hubungan seks berarti tidak mencintai.” Karena takut kehilangan cinta, hubungan seks pun terjadi. Seks bukan menjadi sesuatu yang sakral lagi, tapi saluran pelepasan nafsu semata. Padahal hubungan seks pranikah jelas sangat berisiko. Beragam penyakit menular seksual dan kehamilan. Lantaran minim pendidikan dan pemahaman seks, banyak ABG perempuan kadang tidak menyadari bisa hamil akibat hubungan seks. Penyesalan selalu datang terlambat.

Menyedihkan, usia masih sangat muda, sudah terpaksa menjadi ibu. Padahal secara emosional atau mental, dia belum siap. Fisiknya memang bisa, tetapi psikisnya belum. Kehadiran janin di rahim menimbulkan persoalan rumit. Dalam kondisi demikian, pria yang seharusnya bertanggung jawab biasanya justru meninggalkan. Penderitaan ibu ABG pun kian lengkap. Tidak heran, ketika bayi lahir, dia pun segera dibuang. Tradisi dan segala ajaran agama hanya membolehkan hubungan seks setelah menikah. Di dalam institusi keluargalah, cinta dirayakan dan martabat manusia dijaga.

Dalam keluarga juga seks menemukan makna yang benar karena bukan hanya untuk kesenangan, tetapi sebagai prokreasi (ikut dalam karya pencitaan Tuhan). Di dalam keluarga itu pula, anakanak manusia lahir dan disambut dengan penuh cinta, bahkan dipanggil dengan sebutan buah hati. Bayi memang tidak untuk dibuang, apalagi dibunuh sebelum sempat melihat mentari (diaborsi), tetapi hanya untuk disayang. Untuk itu, perlu direfleksikan, agar orang tua menyemaikan nilai-nilai peradaban, saling mencintai, membantu, dan menghargai.

Rumah jangan hanya menjadi tempat singgah di mana setiap penghuninya terjebak dalam urusan masing-masing. Mereka lebih suka mencari cinta, perhatian, dan penghargaan di luar rumah. Semua harus lebih meningkatkan kepedulian untuk mencegah kekerasan terhadap anak. Keluarga tetap merupakan institusi terbaik untuk menyelamatkan peradaban. Meskipun tantangan di luar kian berat, bila di dalam rumah masih ada cinta dan kebersamaan, akan bisa diatasi. Maka, jadikan rumah sungguh layak untuk berlindung serta memenuhi hak anak agar tumbuh dan berkembang.

Anak harus dilindungi dari kekerasan. Setiap pribadi harus mengembalikan nilai-nilai yang mengedepankan kasih sayang sejati sehingga tak ada lagi bocah yang dicampakkan. Belajarlah dari Malala, Satyarthi, dan Bunda Teresa agar anak-anak diterima dengan penuh kasih dan damai sehingga bisa bersekolah dengan gembira. Siapa pun harus bersinergi mengupayakan sebuah dunia yang damai bagi anakanak agar bertumbuh dan berkembang secara wajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar