MEA,
Tantangan Terdekat Rezim Baru
Gunoto Saparie ; Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
Orwil
Jawa Tengah
|
KORAN
JAKARTA, 20 Oktober 2014
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla yang dilantik hari ini,
rasanya tidak punya waktu untuk bersantai-santai dulu karena tantangan ke
depan sangat berat. Tantangan terdekat adalah pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan
yang tinggal beberapa waktu lagi.
Ini bisa menjadi peluang dan tantangan. Salah satu keuntungan MEA,
kemudahan berkunjung ke negara-negara anggota ASEAN, Indonesia tidak lagi
menggunakan paspor Indonesia Raya, tetapi paspor berlambang ASEAN.
Memang, ketika MEA dimulai pada 15 Januari 2015, negara-negara Asia
Tenggara menyatu sebagai kekuatan perdagangan baru, sebagaimana negara-negara
Eropa dengan bentukan Uni Eropa.
Namun, di sisi lain juga ada berbagai tantangan yang akan dihadapi Indonesia
dalam pelaksanaan MEA, khusus untuk perbankan. Persoalan yang dihadapi adalah
peraturan kepemilikan saham oleh pihak asing.
Berdasarkan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1999 tentang
Pembelian Saham Bank Umum, bank asing boleh menguasai saham perbankan
Indonesia hingga 99 persen. Sedangkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
15/4/DPM disebutkan bahwa saham bank umum yang bisa dikuasai asing sebesar 40 persen. Jumlah itu bisa
ditingkatkan, tetapi ada syarat yang harus dipenuhi. Misalnya, pihak tersebut
harus mendapat rekomendasi dari otoritas pengawasan negara asal.
Memang, kinerja bank umum yang diukur dari sisi aset, dana pihak ketiga
(DPK), kredit, dan laba memperlihatkan perbankan nasional makin sehat.
Profitabilitas perbankan juga tidak mengecewakan, meski rasio net interest
margin (NIM) menurun. Kondisi tersebut didukung meningkatnya laba perbankan.
Di tengah berbagai tekanan, ketahanan industri perbankan nasional tetap
dapat terjaga. Kondisi tersebut didukung
rasio permodalan yang kuat, dimana capital adequacy ratio (CAR)
meningkat cukup lumayan. Fungsi intermediasi perbankan juga tetap berjalan
lancar, meski penyaluran kredit sedikit tersendat seiring perlambatan
perekonomian dan juga akibat dampak kebijakan stabilisasi bank sentral. Selain itu, resiliensi
(resiliency, kekenyalan) perbankan nasional juga terjaga seiring kemampuan
industri ini mempertahankan tingkat efisiensi yang tercermin dari tren
penurunan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO).
Kinerja perbankan yang baik memberikan kontribusi positif terhadap
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Hal tersebut tak lepas dari
peranan sistem perbankan yang mendominasi sistem keuangan Indonesia dengan
pangsa aset lebih dari 70 persen. Dengan kinerja perbankan yang masih terjaga
dan fungsi intermediasi yang masih tumbuh dalam mendukung pembiayaan
perekonomian, stabilitas sistem keuangan pun tetap terjaga.
Kalah
Di tengah kinerja yang bagus tersebut, ada sejumlah tantangan yang
harus dihadapi industri perbankan nasional. Perbankan nasional harus berbenah
dan bersiap menghadapi MEA pada 2015 dan integrasi perbankan ASEAN pada 2020.
Dari sisi aset, dana simpanan, dan kapitalisasi pasar, perbankan Indonesia
masih kalah dari bank-bank di kawasan ASEAN, terutama Singapura, Malaysia,
dan Thailand.
Perbankan Indonesia juga masih menghadapi masalah permodalan. Untuk
dapat mempertahankan kesehatan dan rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR)
sebesar 90 persen, perbankan membutuhkan modal tak kurang dari 100 triliun rupiah. Sedangkan kapasitas
pasar modal Indonesia saat ini diperkirakan hanya bisa menyediakan 30 triliun rupiah.
Industri perbankan juga menghadapi persoalan likuiditas. Ini disebabkan
pertumbuhan DPK lebih rendah dari
pertumbuhan kredit. Rata-rata pertumbuhan DPK selama lima tahun
terakhir sekitar 17 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan kredit rata-rata
23 persen per tahun.
Tantangan lain adalah masalah
akses layanan finansial yang belum dinikmati secara luas oleh masyarakat.
Sekitar 40 persen penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap layanan
finansial. Sedangkan pendalaman pasar keuangan (financial deepening) di sektor perbankan juga masih rendah.
Berdasarkan data Bank Dunia, tingkat kedalaman pasar keuangan Indonesia
mencapai 25 persen pada 2011. Rasio ini
masih jauh dibandingkan negara-negara kawasan ASEAN, seperti Thailand (102
persen), Singapura (104 persen) dan Malaysia (106 persen).
Persoalan yang tidak kalah pentingnya untuk dihadapi adalah makin
kuatnya cengkeraman asing di industri perbankan nasional. Asing demikian
leluasa berkiprah di industri perbankan Indonesia. Kondisi ini sangat berbeda
jauh dengan perlakuan negara-negara asing terhadap ekspansi perbankan
Indonesia. Selama ini, perbankan Indonesia, termasuk bank BUMN, kesulitan
mengembangkan sayap ke luar negeri.
Perkembangan perbankan nasional memang tidak dapat dipisahkan dari
kondisi ekonomi domestik dan global
yang cukup volatil. Sampai kini terlihat bahwa volatilitas pada perekonomian negara maju serta
kebijakan bank sentral yang menyertainya telah cukup mempengaruhi perkembangan perbankan Indonesia. Tantangan
perbankan masih akan cukup besar
karena beberapa factor seperti
perekonomian global dan domestik.
Tetapi, sesungguhnya perbankan nasional di masih memiliki kesempatan sangat luas. Misalnya, penetrasi
perbankan masih relatif lebih rendah
dari tetangga lainnya. Rasio kredit
per PDB Indonesia baru 34%, sedangkan
Thailand, Malaysia, dan Singapura sudah
di atas 95%.
Ini menggambarkan, peluang pertumbuhan perbankan Indonesia jauh lebih besar dari negara
lainnya. Peluang kedua kuatnya ekonomi domestik yang ditopang peningkatan kelas menengah serta penduduk usia produktif. Ini tidak atau belum dimiliki negara-negara lainnya.
Ceruk
Kalau berbicara tentang potensi
kelas menengah, tentu akan
berbincang betapa kuatnya
sektor-sektor yang terkait. Peluang
penyaluran kredit yang semakin selektif masih terbuka lebar.
Peningkatan kelas menengah juga mendorong munculnya industri-industri
kreatif berskala kecil dan menengah yang
menciptakan peluang ceruk pasar baru bagi perbankan.
Seiring dengan implementasi MEA, sektor perbankan Indonesia memiliki
potensi atau peluang yang cukup besar untuk dapat menguasai pasar dalam MEA.
Salah satu kelebihan sektor perbankan Indonesia adalah cukup aman (prudent).
Selain itu, sektor perbankan juga memiliki pertumbuhan kredit yang cukup
stabil.
Tetapi, harus diakui, potensi itu akan sulit tercapai jika
perbankan tidak mampu meningkatkan
kualitas SDM dan menjaga pertumbuhan kredit agar lebih stabil dan aman. SDM yang baik merupakan salah satu kunci
utama memenangkan kompetisi sangat ketat di era pasar bebas ASEAN.
SDM industri perbankan Indonesia perlu memiliki kompetensi attitude, skill, dan knowledge untuk dapat bersaing dengan tenaga kerja
asing. SDM profesional hanya akan dicapai dengan upaya berkelanjutan,
terarah, dan efektif bila dikelola
dalam wadah professional. Ini harus didukung serta dikembangkan bankir itu sendiri.
Demikianlah, pemberlakuan MEA tahun mendatang tentu saja member
tantangan tersendiri bagi industri perbankan dan pemerintah Jokowi-JK.
Kompetisi antarbank tidak hanya berskala nasional, namun meluas
regional ASEAN.
Dewasa ini ada sejumlah wilayah penting yang patut menjadi perhatian
untuk mendorong perbankan dapat menjadi kompetitif, kontributif, dan member
kemudahan akses. Interkoneksi semakin tinggi sehingga diperlukan produk dan
jasa keuangan makin beragam baik bank maupun pasar modal.
Interkoneksitas antarindustri keuangan
tidak dapat dielakkan. Hampir setiap bank besar memiliki anak perusahaan di bidang jasa
keuangan, asuransi, dana pension, atau sekuritas. Lima tahun terakhir ini keadaannya semakin nyata dan interkoneksi tersebut tambah besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar