Jumat, 24 Oktober 2014

MEA, Tantangan Terdekat Rezim Baru

MEA, Tantangan Terdekat Rezim Baru

Gunoto Saparie  ;  Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
Orwil Jawa Tengah
KORAN JAKARTA, 20 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla yang dilantik hari ini, rasanya tidak punya waktu untuk bersantai-santai dulu karena tantangan ke depan sangat berat. Tantangan terdekat adalah pemberlakuan  Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan yang tinggal beberapa waktu lagi.

Ini bisa menjadi peluang dan tantangan. Salah satu keuntungan MEA, kemudahan berkunjung ke negara-negara anggota ASEAN, Indonesia tidak lagi menggunakan paspor Indonesia Raya, tetapi paspor berlambang ASEAN.

Memang, ketika MEA dimulai pada 15 Januari 2015, negara-negara Asia Tenggara menyatu sebagai kekuatan perdagangan baru, sebagaimana negara-negara Eropa dengan bentukan  Uni Eropa. Namun, di sisi lain juga ada berbagai tantangan yang akan dihadapi Indonesia dalam pelaksanaan MEA, khusus untuk perbankan. Persoalan yang dihadapi adalah peraturan kepemilikan saham oleh pihak asing.

Berdasarkan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum, bank asing boleh menguasai saham perbankan Indonesia hingga 99 persen. Sedangkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/4/DPM disebutkan bahwa saham bank umum yang bisa dikuasai  asing sebesar 40 persen. Jumlah itu bisa ditingkatkan, tetapi ada syarat yang harus dipenuhi. Misalnya, pihak tersebut harus mendapat rekomendasi dari otoritas pengawasan negara asal.

Memang, kinerja bank umum yang diukur dari sisi aset, dana pihak ketiga (DPK), kredit, dan laba memperlihatkan perbankan nasional makin sehat. Profitabilitas perbankan juga tidak mengecewakan, meski rasio net interest margin (NIM) menurun. Kondisi tersebut didukung  meningkatnya laba perbankan.

Di tengah berbagai tekanan, ketahanan industri perbankan nasional tetap dapat terjaga. Kondisi tersebut didukung  rasio permodalan yang kuat, dimana capital adequacy ratio (CAR) meningkat cukup lumayan. Fungsi intermediasi perbankan juga tetap berjalan lancar, meski penyaluran kredit sedikit tersendat seiring perlambatan perekonomian dan juga akibat dampak kebijakan stabilisasi  bank sentral. Selain itu, resiliensi (resiliency, kekenyalan) perbankan nasional juga terjaga seiring kemampuan industri ini mempertahankan tingkat efisiensi yang tercermin dari tren penurunan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO).

Kinerja perbankan yang baik memberikan kontribusi positif terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Hal tersebut tak lepas dari peranan sistem perbankan yang mendominasi sistem keuangan Indonesia dengan pangsa aset lebih dari 70 persen. Dengan kinerja perbankan yang masih terjaga dan fungsi intermediasi yang masih tumbuh dalam mendukung pembiayaan perekonomian, stabilitas sistem keuangan pun tetap terjaga.

Kalah

Di tengah kinerja yang bagus tersebut, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi industri perbankan nasional. Perbankan nasional harus berbenah dan bersiap menghadapi MEA pada 2015 dan integrasi perbankan ASEAN pada 2020. Dari sisi aset, dana simpanan, dan kapitalisasi pasar, perbankan Indonesia masih kalah dari bank-bank di kawasan ASEAN, terutama Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Perbankan Indonesia juga masih menghadapi masalah permodalan. Untuk dapat mempertahankan kesehatan dan rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) sebesar 90 persen, perbankan membutuhkan modal tak kurang dari  100 triliun rupiah. Sedangkan kapasitas pasar modal Indonesia saat ini diperkirakan hanya bisa menyediakan  30 triliun rupiah.

Industri perbankan juga menghadapi persoalan likuiditas. Ini disebabkan pertumbuhan DPK lebih rendah dari  pertumbuhan kredit. Rata-rata pertumbuhan DPK selama lima tahun terakhir sekitar 17 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan kredit rata-rata 23 persen per tahun.

 Tantangan lain adalah masalah akses layanan finansial yang belum dinikmati secara luas oleh masyarakat. Sekitar 40 persen penduduk Indonesia belum memiliki akses terhadap layanan finansial. Sedangkan pendalaman pasar keuangan (financial deepening) di sektor perbankan juga masih rendah.

Berdasarkan data Bank Dunia, tingkat kedalaman pasar keuangan Indonesia mencapai 25 persen pada 2011.  Rasio ini masih jauh dibandingkan negara-negara kawasan ASEAN, seperti Thailand (102 persen), Singapura (104 persen) dan Malaysia (106 persen).

Persoalan yang tidak kalah pentingnya untuk dihadapi adalah makin kuatnya cengkeraman asing di industri perbankan nasional. Asing demikian leluasa berkiprah di industri perbankan Indonesia. Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan perlakuan negara-negara asing terhadap ekspansi perbankan Indonesia. Selama ini, perbankan Indonesia, termasuk bank BUMN, kesulitan mengembangkan sayap ke luar negeri.

Perkembangan perbankan nasional memang tidak dapat dipisahkan dari kondisi  ekonomi domestik dan global yang cukup volatil. Sampai kini terlihat bahwa volatilitas  pada perekonomian negara maju serta kebijakan bank sentral yang menyertainya telah cukup mempengaruhi  perkembangan perbankan Indonesia. Tantangan perbankan  masih akan cukup besar karena  beberapa factor seperti perekonomian global dan domestik.

Tetapi, sesungguhnya perbankan nasional di  masih memiliki kesempatan  sangat luas. Misalnya, penetrasi perbankan  masih relatif lebih rendah dari  tetangga lainnya. Rasio kredit per PDB Indonesia baru  34%, sedangkan Thailand, Malaysia, dan Singapura sudah  di atas 95%.

Ini  menggambarkan,  peluang pertumbuhan perbankan  Indonesia jauh lebih besar dari negara lainnya. Peluang  kedua  kuatnya ekonomi domestik yang ditopang  peningkatan kelas menengah  serta penduduk usia produktif. Ini  tidak atau belum dimiliki  negara-negara lainnya.

Ceruk

Kalau  berbicara tentang potensi kelas menengah, tentu  akan berbincang  betapa kuatnya sektor-sektor yang terkait. Peluang  penyaluran kredit yang semakin selektif masih terbuka lebar. Peningkatan kelas menengah juga mendorong munculnya industri-industri kreatif  berskala kecil dan menengah yang menciptakan peluang  ceruk pasar  baru bagi perbankan.

Seiring dengan implementasi MEA, sektor perbankan Indonesia memiliki potensi atau peluang yang cukup besar untuk dapat menguasai pasar dalam MEA. Salah satu kelebihan sektor perbankan Indonesia adalah cukup aman (prudent). Selain itu, sektor perbankan juga memiliki pertumbuhan kredit yang cukup stabil.

Tetapi, harus diakui, potensi itu akan sulit tercapai jika perbankan  tidak mampu meningkatkan kualitas SDM dan menjaga pertumbuhan kredit agar lebih stabil dan aman.  SDM yang baik merupakan salah satu kunci utama  memenangkan kompetisi  sangat ketat di era pasar bebas ASEAN.

SDM industri perbankan Indonesia perlu memiliki kompetensi  attitude, skill, dan knowledge  untuk dapat bersaing dengan tenaga kerja asing. SDM profesional hanya akan dicapai dengan upaya berkelanjutan, terarah, dan efektif bila  dikelola dalam wadah  professional. Ini harus  didukung serta dikembangkan  bankir itu sendiri.

Demikianlah, pemberlakuan MEA tahun mendatang tentu saja member tantangan tersendiri bagi industri perbankan dan pemerintah Jokowi-JK. Kompetisi antarbank tidak hanya berskala nasional, namun  meluas  regional ASEAN.

Dewasa ini ada sejumlah wilayah penting yang patut menjadi perhatian untuk mendorong perbankan dapat menjadi kompetitif, kontributif, dan member kemudahan akses. Interkoneksi semakin tinggi sehingga diperlukan produk dan jasa keuangan  makin beragam baik  bank maupun pasar modal.

Interkoneksitas antarindustri keuangan  tidak dapat dielakkan. Hampir setiap bank besar  memiliki anak perusahaan di bidang jasa keuangan, asuransi, dana pension, atau sekuritas. Lima tahun  terakhir ini keadaannya semakin nyata dan  interkoneksi tersebut tambah besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar