Satu
Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru
Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 26 Oktober 2014
Itulah awal lirik lagu ciptaan L Manik, yang hampir semua orang
Indonesia hafal, karena dinyanyikan di hampir setiap upacara di
kantor-kantor, di sekolah-sekolah, di institusi-institusi dan
organisasi-organisasi, dan di mana-mana di seluruh Indonesia, kecuali di
rumahrumah ibadah.
Betul-betul luar biasa. Pada 28 Oktober 1928, sejumlahpemuda
dari berbagaietnik, golongan, daerah dan agama berkumpul di Jalan Kramat Raya
106, Jakarta, di sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik
seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, untuk mengikrarkan ”Soempah Pemoeda”
(begitu ditulisnya menurut ejaanVan Ophuijsen, atau ejaan lama yang berlaku
pada saat itu), yang dahsyat itu, yang rohnya tecermin dalam lagu berjudul
”Satu Nusa, Satu Bangsa” itu.
Betapa tidak dahsyat, Sumpah Pemuda itulah yang bisa menghimpun
seluruh kekuatan bangsa Indonesia, yang tadinya terpecah belah, dan mendorong
lahirnya Republik Indonesia yang merdeka, setelah 350 tahun dijajah. Maka
tidak salah kalau lagu itu diakhiri dengan syair, ”Nusa, bangsa dan bahasa,
kita bela bersama!”.
Beberapa bulan lalu Sekolah Pascasarjana UI (SPs UI), kedatangan
tamu beberapa orang profesor dari Universitas Leiden, Belanda. Saya hadir
sebagai Ketua Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian(KIK) bersama seluruh ketua
dan sekretaris program studi lain di lingkungan SPs UI.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul (dalam bahasa Inggris, tentunya)
bertukar visimisi, dan informasi antara ke dua pihak, tiba-tiba ada salah
satu anggota delegasi Belanda yang bertanya, ”Apakah di sini digunakan bahasa
Inggris sebagai pengantar?” Para doktor dan profesor UI bengong semua. ”Apa
maksudnya pertanyaan profesor Belanda ini?” bisik seorang rekan yang duduk di
sebelah saya.
Kemudian salah satu dari pihak UI menjelaskan bahwa di UI yang
digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia, kecuali untuk
kelas-kelas khusus internasional. Atas pertanyaan itu, profesor Belanda malah
tambah bingung, ”Nah, terus apa gunanya dipersyaratkan tes TOEFL dengan skor
minimum 550?” tanya dia lagi.
Menurut pendapat saya, meminjam istilah catur, pertanyaan ini
adalah sekakmat (langkah yang mematikan) buat tim UI. Beberapa rekan dari UI
mencoba memberi alasan bahwa bahasa Inggris diperlukan karena buku-buku
banyak berbahasa Inggris, agar mahasiswa dan lulusan mampu berkomunikasi di tingkat
internasional, istilah-istilah dalam internet pun menggunakan bahasa Inggris.
Tetapi sang profesor dari Belanda tampak tetap tidak mengerti.
Mengapa harus 550? Untuk memahami bahasa Inggris secara pasif
cukup skor 300- 400-an saja. Bahkan untuk mengoperasikan program komputer
tidak perlu bisa ba-hasa Inggris sama sekali. Pengalaman saya dengan
mahasiswa atau staf administrasi di kampus, kalau seseorang sudah bisa
mengucapkan ”kopi paste” saja sudah cukup. Berarti dia paham tentang ikon
”copy paste” dalam program komputer. Orang yang tidak mengerti komputer tentu
tidak bisa membedakan antara ”kopi paste” dengan ”kopi latte ”.
Karena itu saya tidak ikut heran dengan pertanyaan profesor
Belanda itu. Saya pun berpendapat bahwa tes TOEFL untuk ujian masuk perguruan
tinggi di Indonesia adalah siasia. Bangsa-bangsa yang tidak bisa berbahasa
Inggris seperti Rusia, Spanyol, Cina, Prancis, Korea, dan Jepang, bisa
menjadi bangsa-bangsa yang hebat. Mereka berpikir dengan menggunakan bahasa
mereka masing- masing dalam otak mereka, tetapi sama sekali mereka tidak
kalah dari bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris.
Sebaliknya, kita lihat berapa banyak bangsa di Afrika (seperti
Nigeria, Bostwana, Kamerun, Eritrea, Ghana, dll) yang lebih terpuruk dari
Indonesia. Saya pun pernah membaca karya-karya tulis rekan-rekan saya dosen
dari Program Studi Jawa. Tulisan-tulisan mereka hebat, tetapi tidak mungkin
dimuat dalam jurnal internasional, karena tulisan itu dalam bahasa Indonesia
dengan kutipan-kutipan bahasa Jawa, yang akan kehilangan citra budaya
Indonesianya begitu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Padahal, untuk jadi profesor di UI dipersyaratkan tulisannya
harus pernah dimuat di jurnal internasional, minimal empat kali.
Pertanyaannya, bagaimana caranya tulisan yang khusus untuk komunitas wayang
(walaupun hebat) bisa dimuat di jurnal internasional? Pertanyaan lain,
dosen-dosen Program Studi Jawa dan ISI (Institut Seni Indonesia) yang mahir
ilmu pedalangan, tetapi tidak biasa menulis karya ilmiah, ke mana mereka mencari
pengakuan akademik? Pertanyaan berikutnya, kapan dosen-dosen hebat seperti
mereka bisa jadi profesor.
Menurut hemat saya, semua dosen hebat harus bisa jadi profesor,
semua tentara hebat harus bisa jadi jenderal, bahkan rakyat jelata yang
terhebat harus bisa jadi presiden. Bahasa Inggris bukan persyaratan primer,
kalau bisa, OK! Tetapi kalau tidak bisa, masih ada penerjemah yang bisa
membantu. Orang Indonesia memang harus bisa bahasa Inggris (atau bahasa asing
lain) kalau mau studi di luar negeri, mau jadi diplomat, mau jadi profesor
tamu di universitas luar negeri, mau berbisnis di pasar internasional, mau
jadi pemandu wisata, mau jadi pacarnya orang bule, atau mau jadi atase
pertahanan.
Di luar itu tidak usah. Indonesia adalah dan sudah
internasional. Mahasiswa Amerika yang mau kuliah di UI harus mengambil tes
kemampuan bahasa Indonesia, tetapi mahasiswa Indonesia tidak perlu dites
TOEFL untuk kuliah di negeri sendiri.
Sudah lama UI meninggalkan semboyan ”menara gading”, tetapi
dengan tidak menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
(hanya demi mendapat peringkat universitas kelas dunia), UI akan kembali
menjadi universitas ”menara gading”, yang makin jauh dari rakyat jelata,
termasuk yang tinggal di Kelapa Gading, Jakarta. Dirgahayu Sumpah Pemuda! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar