Refleksi
untuk Wakil Rakyat
Hendra Kurniawan ; Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 16 Oktober 2014
Tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS) dan
Hari Parlemen Indonesia (HPI). Tidak seperti hari-hari peringatan lainnya,
HPI memang jarang (bahkan tidak pernah) diperingati secara khusus. Masyarakat
kebanyakan, termasuk anggota parlemen sendiri, besar kemungkinan tidak
mengetahui adanya peringatan HPI. Padahal sebenarnya ini tak kalah penting
dan dapat dijadikan momentum anggota parlemen mengevaluasi kinerja sekaligus
refleksi diri sebagai wakil rakyat.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, peringatan HPI merujuk pada
keluarnya Maklumat Pemerintah Nomor X (baca: iks, bukan sepuluh) tanggal 16
Oktober 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden Muhammad Hatta. Maklumat
berawal dari petisi untuk Presiden Soekarno yang ditandatangani 40 anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 7 Oktober 1945. Petisi menuntut
perubahan status KNIP bukan hanya sebagai pembantu presiden, seperti pada
awal pembentukannya, namun dapat berfungsi sebagai badan legislatif.
Usulan itu dilatarbelakangi beberapa alasan praktis karena Indonesia
baru saja merdeka. Di antaranya, adanya kesan politik bahwa kekuasaan
presiden terlalu besar sehingga dikhawatirkan menjadi diktator. Kemudian
muncul propaganda Belanda yang menganjurkan internasional tidak mengakui
kedaulatan Republik Indonesia karena pemerintahannya bersifat fasis sebagai
tinggalan Jepang. Selain itu, dirasa perlu menunjukkan kepada internasional,
khususnya Sekutu, bahwa Indonesia, meski baru merdeka, adalah negara
demokratis bukan fasis buatan Jepang.
Usulan disetujui lalu dikeluarkan Maklumat Pemerintah Nomor X. Isinya,
KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar
haluan negara sebelum terbentuk MPR dan DPR. Pekerjaan KNIP sehari-hari
dijalankan suatu Badan Pekerja (BP-KNIP) yang dipilih di antara mereka dan
bertanggung jawab pada KNIP.
Sejak itu, KNIP menjalankan fungsi MPR, sedangkan BP-KNIP bertindak
sebagai DPR. Di daerah-daerah juga dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah
(KNID) yang dapat disamakan fungsinya dengan DPRD. KNIP menjalankan fungsi
legislatif sampai tanggal 15 Februari 1950, saat dibentuk DPR dan Senat
berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Saat itu, semangat untuk menyelamatkan negara yang baru merdeka begitu
membara. Dengan mengikuti pola pemerintahan gaya Eropa Barat, Indonesia ingin
menunjukkan diri sebagai negara yang melaksanakan prinsip demokrasi dengan
baik agar memperoleh simpati dan dukungan internasional. Maka, dalam segala
keterbatasan, para negarawan berupaya mewujudkan suatu pemerintahan yang baik
dan modern atas dasar Trias Politica.
Montesquieu (1688-1755) dalam buku l’esprit
des lois, memaparkan teori tersebut yang membagi kekuasaan negara dalam
tangan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Tulus
Bekerja
Meskipun tidak dibentuk melalui pemilu, KNIP sebagai MPR/DPR pertama
tulus bekerja dan bersinergi demi rakyat. Ini terbukti dari keberhasilan
pemerintah bersama rakyat menghadapi kekuatan Belanda yang berusaha menduduki
kembali Tanah Air. Kondisi itu masih ditambah berbagai pergolakan internal
beberapa daerah. Memang the founding
fathers sering kali berbeda pemikiran atau sikap, namun mereka satu kata
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan mewujudkan cita-cita welfare
state.
Sinergi yang terjadi pada awal pembentukan parlemen dapat dijadikan
cermin sekarang. Polarisasi politik dalam pilpres terus berlanjut di DPR
antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Para
politisi KMP belum mampu menyikapi kekalahan pilpres secara dewasa dan bijak.
Perilaku dan orientasi politik DPR saat ini berbanding terbalik dengan
perjuangan anggota parlemen pertama awal kemerdekaan.
Pada pokoknya, DPR hanya menjalankan legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Penjelasannya, DPR bersama pemerintah (eksekutif) bertugas
menyusun UU. Dewan bertugas menetapkan APBN yang diajukan pemerintah.
Terakhir, DPR mengawasi kinerja pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dan
melaksanakan program-program. Peran-peran inilah yang menempatkan DPR sebagai
mitra pemerintah sehingga kedudukannya setara.
Maka, relasi dan sinergi yang baik juga harus terwujud parlemen dengan
pemerintah agar roda rezim berjalan lancar, jauh dari gejolak, namun juga
tidak sampai lepas kontrol. Tidak bijak apabila pemerintah berjalan tanpa oposisi
dan pengawasan karena bisa melahirkan otoritarian. Akan tetapi, jangan pula
DPR menjadi ajang politik balas dendam melalui berbagai manuver untuk
menjegal dan mencari-cari celah guna menekan, lalu menggoyang pemerintah.
Untuk itu, patut diapresiasi upaya presiden terpilih, Joko Widodo
(Jokowi), dalam membangun communio (kebersamaan) dengan lembaga legislatif.
Jokowi bertemu Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto, dan Ketua
DPD Irman Gusman. Seperti biasa, Jokowi menggunakan diplomasi meja makan
sambil membicarakan hubungan mereka serta soal pelantikan presiden dan wakil.
Dibicarakan pula langkah bersama semua komponen bangsa untuk masa depan
Indonesia.
Melalui komunikasi yang intens antara eksekutif dan legislatif,
diharapkan bila muncul masalah, mudah dan cepat diatasi. Ini tentu merupakan
awal yang baik untuk membangun kerja sama dan sinergi yang harmonis
pemerintah dan parlemen. Praktik demokrasi di Indonesia sejatinya berbasis
gotong royong dan kekeluargaan. Elite politik diharapkan masih memiliki
semangat kerja sama mewujudkan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Di sisi lain, jangan dilupakan bahwa anggota DPR menyandang gelar
“wakil rakyat” sehingga harus mampu menghadirkan pikiran, perasaan, dan
kehendak masyarakat. Dibutuhkan relasi erat dengan rakyat agar wakil rakyat
benar-benar memahami keinginan dan harapan warga. Sangat disayangkan bila ada
wakil rakyat yang seakan-akan tidak mengerti fungsi dan keberadaan mereka
berada di parlemen. Lebih parah lagi, bahkan tidak sadar yang diwakili.
Dalam sejarah telah terungkap, pembentukan parlemen bertujuan
mewujudnyatakan pelaksanaan demokrasi. Atas dasar ini, jiwa demokrasi yang
mengandung makna pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
harus diutamakan. Setiap kebijakan dan keputusan yang menyangkut persoalan
rakyat harus berorientasi pada kepentingan masyarakat pula. Asas Salus Populi Suprema Lex harus
dipegang teguh mereka yang berwenang atas hajat hidup orang banyak.
Oligarki politik DPR saat ini bisa menjadi ancaman. Dibutuhkan
ketulusan agar setiap keputusan tidak bermuara pada egoisme politik pribadi
dan kelompok. Semoga peringatan HPI memperkuat sinergi pemerintah dan
parlemen bersama-sama dengan rakyat dalam semangat Merah Putih untuk
Indonesia hebat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar