Jumat, 24 Oktober 2014

Refleksi untuk Wakil Rakyat

Refleksi untuk Wakil Rakyat

Hendra Kurniawan  ;  Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
KORAN JAKARTA, 16 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS) dan Hari Parlemen Indonesia (HPI). Tidak seperti hari-hari peringatan lainnya, HPI memang jarang (bahkan tidak pernah) diperingati secara khusus. Masyarakat kebanyakan, termasuk anggota parlemen sendiri, besar kemungkinan tidak mengetahui adanya peringatan HPI. Padahal sebenarnya ini tak kalah penting dan dapat dijadikan momentum anggota parlemen mengevaluasi kinerja sekaligus refleksi diri sebagai wakil rakyat.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, peringatan HPI merujuk pada keluarnya Maklumat Pemerintah Nomor X (baca: iks, bukan sepuluh) tanggal 16 Oktober 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden Muhammad Hatta. Maklumat berawal dari petisi untuk Presiden Soekarno yang ditandatangani 40 anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 7 Oktober 1945. Petisi menuntut perubahan status KNIP bukan hanya sebagai pembantu presiden, seperti pada awal pembentukannya, namun dapat berfungsi sebagai badan legislatif.

Usulan itu dilatarbelakangi beberapa alasan praktis karena Indonesia baru saja merdeka. Di antaranya, adanya kesan politik bahwa kekuasaan presiden terlalu besar sehingga dikhawatirkan menjadi diktator. Kemudian muncul propaganda Belanda yang menganjurkan internasional tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia karena pemerintahannya bersifat fasis sebagai tinggalan Jepang. Selain itu, dirasa perlu menunjukkan kepada internasional, khususnya Sekutu, bahwa Indonesia, meski baru merdeka, adalah negara demokratis bukan fasis buatan Jepang.

Usulan disetujui lalu dikeluarkan Maklumat Pemerintah Nomor X. Isinya, KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara sebelum terbentuk MPR dan DPR. Pekerjaan KNIP sehari-hari dijalankan suatu Badan Pekerja (BP-KNIP) yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab pada KNIP.

Sejak itu, KNIP menjalankan fungsi MPR, sedangkan BP-KNIP bertindak sebagai DPR. Di daerah-daerah juga dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang dapat disamakan fungsinya dengan DPRD. KNIP menjalankan fungsi legislatif sampai tanggal 15 Februari 1950, saat dibentuk DPR dan Senat berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).

Saat itu, semangat untuk menyelamatkan negara yang baru merdeka begitu membara. Dengan mengikuti pola pemerintahan gaya Eropa Barat, Indonesia ingin menunjukkan diri sebagai negara yang melaksanakan prinsip demokrasi dengan baik agar memperoleh simpati dan dukungan internasional. Maka, dalam segala keterbatasan, para negarawan berupaya mewujudkan suatu pemerintahan yang baik dan modern atas dasar Trias Politica. Montesquieu (1688-1755) dalam buku l’esprit des lois, memaparkan teori tersebut yang membagi kekuasaan negara dalam tangan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Tulus Bekerja

Meskipun tidak dibentuk melalui pemilu, KNIP sebagai MPR/DPR pertama tulus bekerja dan bersinergi demi rakyat. Ini terbukti dari keberhasilan pemerintah bersama rakyat menghadapi kekuatan Belanda yang berusaha menduduki kembali Tanah Air. Kondisi itu masih ditambah berbagai pergolakan internal beberapa daerah. Memang the founding fathers sering kali berbeda pemikiran atau sikap, namun mereka satu kata dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan mewujudkan cita-cita welfare state.

Sinergi yang terjadi pada awal pembentukan parlemen dapat dijadikan cermin sekarang. Polarisasi politik dalam pilpres terus berlanjut di DPR antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Para politisi KMP belum mampu menyikapi kekalahan pilpres secara dewasa dan bijak. Perilaku dan orientasi politik DPR saat ini berbanding terbalik dengan perjuangan anggota parlemen pertama awal kemerdekaan.

Pada pokoknya, DPR hanya menjalankan legislasi, anggaran, dan pengawasan. Penjelasannya, DPR bersama pemerintah (eksekutif) bertugas menyusun UU. Dewan bertugas menetapkan APBN yang diajukan pemerintah. Terakhir, DPR mengawasi kinerja pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dan melaksanakan program-program. Peran-peran inilah yang menempatkan DPR sebagai mitra pemerintah sehingga kedudukannya setara.

Maka, relasi dan sinergi yang baik juga harus terwujud parlemen dengan pemerintah agar roda rezim berjalan lancar, jauh dari gejolak, namun juga tidak sampai lepas kontrol. Tidak bijak apabila pemerintah berjalan tanpa oposisi dan pengawasan karena bisa melahirkan otoritarian. Akan tetapi, jangan pula DPR menjadi ajang politik balas dendam melalui berbagai manuver untuk menjegal dan mencari-cari celah guna menekan, lalu menggoyang pemerintah.

Untuk itu, patut diapresiasi upaya presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi), dalam membangun communio (kebersamaan) dengan lembaga legislatif. Jokowi bertemu Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Setya Novanto, dan Ketua DPD Irman Gusman. Seperti biasa, Jokowi menggunakan diplomasi meja makan sambil membicarakan hubungan mereka serta soal pelantikan presiden dan wakil. Dibicarakan pula langkah bersama semua komponen bangsa untuk masa depan Indonesia.

Melalui komunikasi yang intens antara eksekutif dan legislatif, diharapkan bila muncul masalah, mudah dan cepat diatasi. Ini tentu merupakan awal yang baik untuk membangun kerja sama dan sinergi yang harmonis pemerintah dan parlemen. Praktik demokrasi di Indonesia sejatinya berbasis gotong royong dan kekeluargaan. Elite politik diharapkan masih memiliki semangat kerja sama mewujudkan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Di sisi lain, jangan dilupakan bahwa anggota DPR menyandang gelar “wakil rakyat” sehingga harus mampu menghadirkan pikiran, perasaan, dan kehendak masyarakat. Dibutuhkan relasi erat dengan rakyat agar wakil rakyat benar-benar memahami keinginan dan harapan warga. Sangat disayangkan bila ada wakil rakyat yang seakan-akan tidak mengerti fungsi dan keberadaan mereka berada di parlemen. Lebih parah lagi, bahkan tidak sadar yang diwakili.

Dalam sejarah telah terungkap, pembentukan parlemen bertujuan mewujudnyatakan pelaksanaan demokrasi. Atas dasar ini, jiwa demokrasi yang mengandung makna pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat harus diutamakan. Setiap kebijakan dan keputusan yang menyangkut persoalan rakyat harus berorientasi pada kepentingan masyarakat pula. Asas Salus Populi Suprema Lex harus dipegang teguh mereka yang berwenang atas hajat hidup orang banyak.

Oligarki politik DPR saat ini bisa menjadi ancaman. Dibutuhkan ketulusan agar setiap keputusan tidak bermuara pada egoisme politik pribadi dan kelompok. Semoga peringatan HPI memperkuat sinergi pemerintah dan parlemen bersama-sama dengan rakyat dalam semangat Merah Putih untuk Indonesia hebat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar