Anarkis
Anak SD
Badrul Munir ; Dokter Spesialis Saraf RS Saiful Anwar,
Dosen
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
|
REPUBLIKA,
18 Oktober 2014
Masyarakat
Indonesia "digegerkan" dengan adegan kekerasan anak sekolah dasar
(SD) di Bukittinggi, Sumatra Barat. Kecanggihan teknologi dan fasilitas media
sosial mempercepat penyebaran adegan kekerasan ini.
Kita
terkesima dengan adegan ini berdasarkan beberapa hal. Pertama, pelaku adalah
anak sekolah dasar, masa di mana seseorang masih polos dan belum layak
melakukan kekerasan seperti itu. Kedua, kejadian tersebut di Bukittinggi,
sebuah daerah yang selama ini terkenal dengan lahirnya para ulama besar dan
mempunyai kearifan lokal yang tinggi.
Publik
pun yakin kekerasan seperti ini bukan hanya terjadi di Sumatra Barat, tapi
ini merupakan salah satu contoh yang kebetulan tersebar di dunia maya. Masih
banyak kejadian serupa yang tidak diketahui dan ini yang disebut fenomena
gunung es (iceberg phenomena).
Satu hal
yang menjadi pertanyaan, ada apa dengan pendidikan kita selama ini? Mengapa
anak seusia belia seperti itu menjadi beringas dan anarkistis?
Neurobehavior
anak SD Usia 7-12 tahun menurut ilmu neurobehavior
adalah periode emas di mana dasar sebuah perilaku manusia sedang terbentuk.
Dan ternyata perilaku manusia sangat bergantung pada kerja sekelompok otak di
bagian otak yang disebut lobus
frontalis dan parietalis (otak
bagian depan dan ubun-ubun). Dan perilaku di dasari oleh sistem memori yang
terekam dalam otak manusia. Bilamana memori yang terekam baik, maka perilaku
akan bersifat baik.
Begitu juga sebaliknya, jika memori yang terekam jelek,
perilaku cenderung jelek.
Memori
yang terbentuk tergantung dari stimulus (paparan) yang masuk secara terus-menerus.
Stimulus bisa dalam bentuk visual, auditorial, taktil dari lingkungan
sekitarnya akan dibawa serabut otak dan disimpan di suatu area yang disebut
sistem limbik (bagian otak yang mengurus memori dan emosi).
Di dalam
kehidupan serbamodern ini paparan yang masuk kepada anak SD sangat variatif
dan beraneka ragam. Selain dari televisi yang sering menayangkan adegan
kekerasan (film kartun, sinetron, dan lainnya) juga anak gampang sekali
terpapar kekerasan dari permainan (games)
dan seolah sudah menjadi kebiasaan semua anak bisa mengakses atau bermain
game sesuai keinginannya.
Permainan
gametersebut sebagian besar mengandung adegan kekerasan (disamping adegan
pornografi) dan mirisnya orang tua banyak yang tidak mampu mengontrol materi
game yang sedang digandrungi anak-anaknya. Hal ini karena selain kesibukan
orang tua, juga mudahnya anak mengakses permainan tersebut.
Permainan
game yang mengandalkan kecepatan otak dan alat gerak untuk menghancurkan lawan
tandingnya bila dimainkan terus-menerus dan tanpa bimbingan dari orang tua
akan mem bentuk memori di otak yang bersifat "menghancurkan" lawan.
Maka, perilaku yang muncul adalah potensi menghancurkan "lawan".
Parahnya
lagi di dalam kehidupan sehari-hari anak-anak lebih sering "dididik"
untuk mengalahkan orang lain. Lomba-lomba yang sering dipertandingkan lebih
banyak mengedepankan mengalahkan lawan daripada membangun kebersamaan,
termasuk memberi peringkat (ranking)
dalam penilaian prestasi siswa.
Maka
kewajiban kita sebagai orang tua harus berperan aktif untuk mengontrol dan
memberi pemahaman tentang games yang mendidik dan memberi lingkungan positif
untuk stimulus dalam rangka tumbuh kembang otak agar memberi manfaat bagi
perilaku anak kita semua.
Selain
itu, menurut ilmu psikoneuro-behavior, perilaku anak SD (7-12 tahun) aktif bergerak
dan bermain, mengerjakan sesuatu secara langsung dan senang bekerja dalam
suatu kelompok, tugas kita sebagai orang tua dan guru memberikan kegiatan
positif dalam sebuah kelompok untuk menyalurkan energi di dalam tubuhnya,
kelompok olahraga, kepanduan/pramuka, atau kelompok musik sangat baik untuk
menyalurkan energi positif mereka.
Tetapi
sayang permainan yang menggunakan gerak tubuh seperti berlari, meloncat, dan
lainnya sudah tidak diminati lagi oleh sebagian besar anak. Hal ini di
samping tidak ada lahan kosong untuk permainan, juga semakin padatnya
pelajaran siswa SD, belum lagi seabrek les yang harus diikuti semakin memupus
harapan anak untuk bermain aktif.
Belajar
dari kasus ini, maka semua harus berintrospeksi, terutama orang tua, sekolah
(guru dan pengajar) mendampingi pendidikan, memilihkan pergaulan yang baik
bagi anak. Begitu juga pemerintah harus aktif memberi teguran kepada media
(eletronik dan digital) yang terus menyiarkan kekerasan.
Pemerintah
dan pemimpin juga memberikan contoh yang baik ke masyarakat karena perilaku
mereka sering disorot media massa dan disiarkan berulang, seperti tindakan di
ruang sidang DPR yang lebih mengandalkan otot (kekerasan verbal) daripada
otak. Demikian juga ormas anarkistis yang sering ditayangkan media akan
terekam kuat di memori anak. Di samping itu pemerintah harus proaktif
mengontrol media yang menyiarkan kekerasan, baik media elektronik maupun
media lain Kita berharap pelaksanaan kurikulum baru 2013 yang lebih banyak
mengedepankan pembentukan karakter dan pengembangan diri bisa memberi dampak
positif, yakni perilaku yang santun, pribadi yang luhur disamping pengembangan
intelektual sehingga kasus kekerasan anak sekolah seperti ini tidak terjadi
lagi. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar