Sabtu, 25 Oktober 2014

Swasembada Saja Tidak Cukup

Swasembada Saja Tidak Cukup

Bambang Sutrisno  ;  Peneliti Senior
pada Indonesia Center for Sustainable Development
KORAN TEMPO, 24 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Sasaran pembangunan pertanian adalah swasembada pangan. Slogan ini telah menjadi azimat bagi para pejabat dan didukung oleh rakyat. Seakan-akan, apabila swasembada pangan tercapai, pembangunan pertanian pun dinilai telah berhasil.

Swasembada selalu diartikan sebagai suatu keadaan ketika produksi pangan berhasil memenuhi kebutuhan konsumsinya. Swasembada dicapai bila produksi pangan mencapai jumlah konsumsi dalam negeri. Anggaplah total kebutuhan konsumsi beras sebanyak 33,4 juta ton per tahun. Jika produksi telah mencapai angka tersebut, swasembada tercapai. Bila panen jagung telah mencapai 20,4 juta ton, sesuai dengan perkiraan konsumsinya, maka swasembada jagung terjangkau.

Angka perhitungan swasembada seperti ini hanyalah mendekati benar. Penghitungan swasembada pangan harus melibatkan penghitungan jumlah persediaan atau stok akhir tahun terlebih dulu, untuk kemudian ditambahkan dengan produksi. Bila konsumsi dan stok tercukupi, barulah dapat disebut swasembada. Itu pun masih harus dihitung angka ekspornya.

Bila ada produksi pangan yang diekspor, kecukupan persediaan pangan harus dikurangi dengan ekspor. Nah, angka-angka ekspor tersebut juga harus diimbangi dengan angka impor. Impor pangan berarti produksi dalam negeri tidak mencukupi.

Persediaan pangan di dalam negeri ini memang sering diperdebatkan. Meskipun semua pihak setuju akan pentingnya persediaan, besarnya persediaan ini masih sering dimasalahkan. Ada yang mengatakan 5 persen sudah cukup. Namun ada juga yang mengatakan jumlah persediaan pangan dalam negeri seharusnya lebih dari 10 persen.

Mengapa persediaan pangan di dalam negeri harus cukup besar? Pertama, fluktuasi produksi pangan. Padi, misalnya, mencapai puncak produksi pada Mei, Juni, dan Juli. Produksi padi setelah Juli cenderung menurun. Musim kemarau yang memasuki wilayah Indonesia membuat area panen padi pada semester kedua selalu lebih rendah daripada kebutuhan. Tak mengherankan bila pemerintah memprediksi, Jawa saja akan kekurangan gabah sebanyak 1,8 juta ton pada 2014 ini.

Alasan kedua kebutuhan persediaan adalah bencana alam. Menghadapi situasi bencana yang datangnya tidak bisa diprediksi ini, kita harus memiliki persediaan yang cukup.

Alasan ketiga yang juga tidak kalah penting adalah perubahan iklim atau pergeseran jadwal tanam. Musim hujan dapat saja lebih lama atau lebih pendek daripada perkiraan, dan musim kemarau bisa datang lebih cepat. Pergeseran jadwal tanam membuat produksi pangan di bawah perkiraan. Padi yang dipanen di musim hujan cenderung produksinya lebih rendah, karena proses penyerbukan dan pembentukan biji terganggu oleh air hujan. Demikian pula penanaman yang dilakukan di musim kemarau, yang biasanya terhambat oleh ketersediaan air. Akibatnya, produksi pangan yang ditargetkan meleset.

Beberapa riset menunjukkan terjadinya perubahan iklim di berbagai daerah di Indonesia. Pranata mangsa, yang dulunya menjadi pegangan petani, telah menurun akurasinya. Di samping itu, terjadi perbedaan iklim mikro antara satu daerah dan daerah lainnya. Contohnya sering terjadi cuaca cerah di Malioboro, namun di Sleman hujan turun dengan lebatnya.

Persediaan juga penting untuk stabilisasi harga. Harga pangan sangat besar pengaruhnya terhadap inflasi. Kenaikan harga pangan akan memicu inflasi. Menghadapi kemungkinan kenaikan harga yang dapat meresahkan, Pemerintah mesti memiliki stok pangan yang memadai. Adanya persediaan yang cukup dan mudah dimobilisasi akan menurunkan spekulasi dan menstabilkan harga pangan.

Alasan lain yang jarang diperhitungkan adalah adanya masalah di negara lain. Banjir dan topan yang melanda Filipina, misalnya. Kejadian kemanusiaan ini tidak boleh membuat Indonesia berdiam diri. Bantuan kemanusiaan terbaik yang dapat diberikan, salah satunya, adalah mengirim bantuan pangan. Sejarah mencatat Indonesia pernah dibantu India menangani kelangkaan beras beberapa puluh tahun lampau. Namun Indonesia pun telah sering mengirim bantuan pangan ke negara-negara lain yang membutuhkan.

Dalam konteks perdagangan internasional juga patut diperhitungkan bahwa perubahan musim di negara lain dapat mengganggu situasi di Indonesia. Kemarau panjang di Amerika beberapa tahun lalu telah menurunkan produksi kedelai dan menyebabkan harga kedelai internasional naik. Kita pun terkena dampak kenaikan harga tersebut.

Karena itu, manajemen stok dan persediaan pangan di dalam negeri sangat penting dan strategis. Ketercukupan pangan Indonesia tidak boleh terombang-ambing oleh pasar internasional. Itulah makna kedaulatan pangan. Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri, bahkan menjadi faktor penting dalam penyediaan pangan dunia.

Jadi, swasembada pangan saja tidak cukup. Indonesia harus memproduksi pangan dalam jumlah, jenis, dan kualitas yang lebih banyak dan lebih baik. Makna kedaulatan pangan akan berarti bila ada kecukupan dalam negeri dan mampu memberikan sumbangan kepada kebutuhan pangan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar