Swasembada
Saja Tidak Cukup
Bambang Sutrisno ; Peneliti
Senior
pada Indonesia Center for Sustainable Development
|
KORAN
TEMPO, 24 Oktober 2014
Sasaran
pembangunan pertanian adalah swasembada pangan. Slogan ini telah menjadi
azimat bagi para pejabat dan didukung oleh rakyat. Seakan-akan, apabila
swasembada pangan tercapai, pembangunan pertanian pun dinilai telah berhasil.
Swasembada
selalu diartikan sebagai suatu keadaan ketika produksi pangan berhasil
memenuhi kebutuhan konsumsinya. Swasembada dicapai bila produksi pangan
mencapai jumlah konsumsi dalam negeri. Anggaplah total kebutuhan konsumsi
beras sebanyak 33,4 juta ton per tahun. Jika produksi telah mencapai angka
tersebut, swasembada tercapai. Bila panen jagung telah mencapai 20,4 juta
ton, sesuai dengan perkiraan konsumsinya, maka swasembada jagung terjangkau.
Angka
perhitungan swasembada seperti ini hanyalah mendekati benar. Penghitungan
swasembada pangan harus melibatkan penghitungan jumlah persediaan atau stok
akhir tahun terlebih dulu, untuk kemudian ditambahkan dengan produksi. Bila
konsumsi dan stok tercukupi, barulah dapat disebut swasembada. Itu pun masih
harus dihitung angka ekspornya.
Bila ada
produksi pangan yang diekspor, kecukupan persediaan pangan harus dikurangi
dengan ekspor. Nah, angka-angka ekspor tersebut juga harus diimbangi dengan
angka impor. Impor pangan berarti produksi dalam negeri tidak mencukupi.
Persediaan
pangan di dalam negeri ini memang sering diperdebatkan. Meskipun semua pihak
setuju akan pentingnya persediaan, besarnya persediaan ini masih sering
dimasalahkan. Ada yang mengatakan 5 persen sudah cukup. Namun ada juga yang
mengatakan jumlah persediaan pangan dalam negeri seharusnya lebih dari 10
persen.
Mengapa
persediaan pangan di dalam negeri harus cukup besar? Pertama, fluktuasi
produksi pangan. Padi, misalnya, mencapai puncak produksi pada Mei, Juni, dan
Juli. Produksi padi setelah Juli cenderung menurun. Musim kemarau yang
memasuki wilayah Indonesia membuat area panen padi pada semester kedua selalu
lebih rendah daripada kebutuhan. Tak mengherankan bila pemerintah
memprediksi, Jawa saja akan kekurangan gabah sebanyak 1,8 juta ton pada 2014
ini.
Alasan kedua
kebutuhan persediaan adalah bencana alam. Menghadapi situasi bencana yang
datangnya tidak bisa diprediksi ini, kita harus memiliki persediaan yang
cukup.
Alasan
ketiga yang juga tidak kalah penting adalah perubahan iklim atau pergeseran
jadwal tanam. Musim hujan dapat saja lebih lama atau lebih pendek daripada
perkiraan, dan musim kemarau bisa datang lebih cepat. Pergeseran jadwal tanam
membuat produksi pangan di bawah perkiraan. Padi yang dipanen di musim hujan
cenderung produksinya lebih rendah, karena proses penyerbukan dan pembentukan
biji terganggu oleh air hujan. Demikian pula penanaman yang dilakukan di
musim kemarau, yang biasanya terhambat oleh ketersediaan air. Akibatnya,
produksi pangan yang ditargetkan meleset.
Beberapa
riset menunjukkan terjadinya perubahan iklim di berbagai daerah di Indonesia.
Pranata mangsa, yang dulunya menjadi pegangan petani, telah menurun
akurasinya. Di samping itu, terjadi perbedaan iklim mikro antara satu daerah
dan daerah lainnya. Contohnya sering terjadi cuaca cerah di Malioboro, namun
di Sleman hujan turun dengan lebatnya.
Persediaan
juga penting untuk stabilisasi harga. Harga pangan sangat besar pengaruhnya
terhadap inflasi. Kenaikan harga pangan akan memicu inflasi. Menghadapi
kemungkinan kenaikan harga yang dapat meresahkan, Pemerintah mesti memiliki
stok pangan yang memadai. Adanya persediaan yang cukup dan mudah dimobilisasi
akan menurunkan spekulasi dan menstabilkan harga pangan.
Alasan
lain yang jarang diperhitungkan adalah adanya masalah di negara lain. Banjir
dan topan yang melanda Filipina, misalnya. Kejadian kemanusiaan ini tidak
boleh membuat Indonesia berdiam diri. Bantuan kemanusiaan terbaik yang dapat
diberikan, salah satunya, adalah mengirim bantuan pangan. Sejarah mencatat
Indonesia pernah dibantu India menangani kelangkaan beras beberapa puluh
tahun lampau. Namun Indonesia pun telah sering mengirim bantuan pangan ke
negara-negara lain yang membutuhkan.
Dalam
konteks perdagangan internasional juga patut diperhitungkan bahwa perubahan
musim di negara lain dapat mengganggu situasi di Indonesia. Kemarau panjang
di Amerika beberapa tahun lalu telah menurunkan produksi kedelai dan
menyebabkan harga kedelai internasional naik. Kita pun terkena dampak
kenaikan harga tersebut.
Karena
itu, manajemen stok dan persediaan pangan di dalam negeri sangat penting dan
strategis. Ketercukupan pangan Indonesia tidak boleh terombang-ambing oleh
pasar internasional. Itulah makna kedaulatan pangan. Indonesia harus berdiri
di atas kaki sendiri, bahkan menjadi faktor penting dalam penyediaan pangan
dunia.
Jadi,
swasembada pangan saja tidak cukup. Indonesia harus memproduksi pangan dalam
jumlah, jenis, dan kualitas yang lebih banyak dan lebih baik. Makna
kedaulatan pangan akan berarti bila ada kecukupan dalam negeri dan mampu
memberikan sumbangan kepada kebutuhan pangan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar