Salah
Tafsir Jokowi
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
17 Oktober 2014
SEJUJURNYA sangat
menjenuhkan—bahkan menggelikan—untuk berpikir atau menulis mengenai hal yang hari-hari
ini menjadi tren atau semacam trending topic dalam media sosial. Sebuah
kecenderungan yang menyuburkan tumbuhnya fashioned atau fad intellectual.
Semacam pemikir atau pengamat yang menggunakan kelincahan literer dan
pelisanan, bukan pikirannya, sekadar sebagai gincu untuk mengikuti isu publik
seperti kita tergiur oleh busana dan gadget terbaru hanya karena renda-renda
atau fitur tambahan yang lucu.
Namun, itulah yang harus saya
lakukan, sekali lagi, membahas sebuah frasa pendek ”revolusi mental”, produk
politik yang bagi saya lebih menghebohkan, lebih besar, bahkan berpeluang
lebih mampu menciptakan perubahan fundamental, ketimbang kursi kekuasaan
(kepresidenan) yang akhirnya dimenangi seseorang lewat proses yang
melodramatik dan sarat preseden. Kedua hal itu berhulu kepada seorang
pengusaha mebel yang tidak punya latar elitis atau kelas penguasa dalam
dimensi apa pun, seorang dengan kesederhanaan begawan: Joko Widodo (Jokowi).
Peluang menciptakan perubahan
fundamental, satu bentuk perubahan yang secara instingtif diharapkan
masyarakat banyak, itulah yang menurut saya perlu dikawal, jika dapat dibantu
secara maksimal, sekurangnya menghindarinya dari pendangkalan makna, reduksi
dari tujuan-tujuan idealnya, bahkan penyelewengan dari intensi dasarnya. Hal
ini menjadi urgen ketika ternyata banyak salah tafsir terjadi pada ide itu,
berangkat dari salah tafsir tentang empunya ide itu sendiri, Jokowi. Impresi,
harapan palsu, hingga ilusi terhadap sosok Jokowilah harus dicegah karena
tidak saja merugikan Jokowi sendiri, pada gilirannya ia akan merugikan
signifikansi hingga implementasi dari ”revolusi mental” yang menjadi tag line
kekuasaan yang kini digenggamnya.
Kecerdasan
tradisional
Hal pertama dan utama adalah
pencitraan stigmatik yang menganggap Jokowi memiliki
kecerdasan—katakanlah—sebagaimana yang kita bayangkan ada pada Obama atau
tokoh dunia lain. Bahkan juga apabila dibandingkan dengan seorang direktur
atau eksekutif sebuah organisasi/perusahaan pun, performa Jokowi sesungguhnya
di bawah standar atau kategori-kategori canggih manajemen-performatif modern.
Karena itu, Anda akan merugi jika mengharapkan, misalnya, Jokowi dapat
mempresentasi konsep atau ide-ide (kenegaraan atau pemerintahannya) laiknya
seorang eksekutif andal.
Pelisanan atau retorikanya sungguh
tak cakap, diksinya miskin, bahasa tubuh kaku, paralingual tak mampu
dimainkan untuk memperkuat pernyataannya sendiri, bahasa Inggris tak fasih,
bicara simbol atau visual display tidak mahir, dan seterusnya. Kualitas
mediokratik presentasinya mungkin ada pada tingkatan middle-manager. Jokowi
tentu saja tidak sama sekali tak cerdas. Dalam standar atau paham kecerdasan
yang, misalnya, kita dapatkan dari seorang Habibie, Gus Dur, apalagi
Soekarno, bahkan ahli-ahli retorika yang silih ganti tampil di layar datar
televisi. Namun, mengapa ia begitu hebat? Mengapa ia bisa menaklukkan lebih
dari separuh rakyat negeri ini, dan menjadi seorang pemimpin tertinggi,
menumbangkan begitu banyak tokoh cerdas, berpengalaman, bermodal besar,
berjaringan luas, dan sebagainya?
Jawabannya cuma satu: Jokowi
”cerdas”. Bukan cerdas dalam pengertian modern yang akademik, saintifikal,
atau berbasis pada rasionalisme-materialistik atau logosentrisme oksidental,
sebagaimana tokoh-tokoh kita sejak masa pergerakan awal dulu. Jokowi
”hanyalah” sarjana strata satu kehutanan, tidak lebih. Apa yang dimiliki
Jokowi adalah semacam ”kecerdasan” tradisional, bisa juga primordial, yang
dia dapatkan semata dari penghayatannya yang tulen pada sumber pengetahuan
yang ada di dalam nature atau alam bawah sadarnya sebagai bagian organik dari
suku Jawa. Inilah satu bentuk kecerdasan yang tak pernah dan mungkin tak bisa
dipetakan, disistematisasi, difalsifikasi atau diteorisasikan oleh pelbagai
bentuk epistemologi yang ada saat ini.
Kecerdasan ini memang tidak
”disadari” (”sadar” dalam pengertian akal yang sistematikanya dikelola oleh
rasionalisme positif), tetapi ia eksis atau mengendap begitu saja dalam diri
kita. Kita umumnya, tidak hanya tidak ”menyadari”, tetapi juga tidak
”mengetahui” karena kecerdasan itu sejak kanak kita tutupi (cover) dengan satu bentuk kultur/adab
dengan kecerdasan yang sangat lain/berbeda. Kultur/adab kontinental yang kita
internalisasi sejak PAUD hingga posdoktoral.
Kapasitas dan kapabilitas dari
kecerdasan tradisional ini, jika tidak seimbang, saya kira, lebih ampuh
ketimbang kecerdasan rasional modern. Kapabilitasnya dalam mengidentifikasi
masalah, menemukan substansi, mengkreasi solusinya yang inovatif, dan
mengimplementasikannya dalam praksis (kebijakan) hidup sehari-hari.
Kecerdasan ini tidak bermain di atas meja, dalam angka-angka, eksposisi
ilmiah atau simpulan-simpulan spekulatif yang reduksionistik, sebagaimana
hasil riset-riset sejumlah laboratorium sosial.
Kapasitas
mental
Kecerdasan tradisional Jokowi membutuhkan
telinga, mata, hidung, peraba, hingga bulu tengkuk yang meremang, darah yang
menggejolak, atau jiwa yang empatik untuk melahirkan gereget bagi sebuah
finding tentang—katakanlah—substansi dari sebuah masalah. Karena itu, menurut
saya, tanpa blusukan, Jokowi tak bisa berbuat banyak, bahkan akan menjadi
”bukan apa-apa”, selain seorang penguasa dan takhta belaka. Kecerdasan
semacam ini mengintegrasikan beberapa bagian fundamen manusia yang selama ini
dilupakan bahkan dinafikan oleh adagium klasik cogito ergo sum, yakni badan
dan perasaan (jiwa, nurani, dan lain-lain). Kecerdasan ini membuktikan bahwa
bukan hanya ”aku berpikir”, tetapi juga ”aku merasa” dan ”aku bermetabolisme”
adalah penanda dasar atau argumen fundamental dari esksitensi, dari adanya: ”aku”.
Kecerdasan holistik atau
komprehensif, yang didaur dari kultur/adab tradisional/primordial inilah yang
saya kira dimaksud oleh Jokowi dalam term kontroversial itu: mental.
Pandirnya, dalam seruan ini, bukan kapasitas akali yang perlu diubah dan dikembangbiakkan,
tetapi justru kapasitas itu harus dikendalikan, dan sebaliknya kapasitas
”mental” (dalam signifikansi valuatif seperti terjelas di atas) yang
dibutuhkan, tidak hanya sebagai penyeimbang dari kemajuan rasionalisme
positif, tetapi juga untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan (fallacies) dari produk budaya
oksidental itu.
Dengan cara berpikir ini, cara
berpikir yang tidak dikerangkeng atau dikurung dalam boks logosentrisme
european—yang celakanya sudah dianggap given oleh umumnya kaum terpelajar
Indonesia—inilah kita akan dapat memafhumi bahwa ”revolusi mental” yang
dimaksud tak lain adalah sebuah abstraksi atau—boleh jadi—transendensi dari
figur Jokowi sendiri. Dari abstraksi ini, sebaiknya kita tidak berharap
berlebihan kepada Jokowi untuk mengkreasi istilah atau term-term
ilmiah-populer yang bisa mengangkut semua pemahamannya tentang dunia kawruh,
tentang ngelmu dadi kalaku, tentang hakikat dan eksistensi dari bagian
fundamental–bahkan ilahiah—manusia yang selama ini ditelantarkan pemikiran modern:
rasa (batin/spirit) dan tubuh.
Karena itu, saya menulis ini untuk
mendahului perkiraan saya akan munculnya serangan cukup mematikan (yang
syukurnya belum dilakukan) dari lawan atau pesaing Jokowi terkait dengan
”revolusi mental” ini. Serangan yang hanya berisi dua pertanyaan: ”Apa dan
siapa yang dimaksud, atau contoh dari revolusi
mental itu?” dan ”Apa Anda sendiri
(Jokowi) sudah melakukan revolusi itu sehingga Anda punya posisi untuk
mengimbau atau memerintah orang lain melakukan hal yang sama?” Saya
perhitungkan, penyerang dengan dua pertanyaan di atas akan mendapatkan
kemenangan, setidaknya secara retorik. Namun, kemenangan retorika bukankah
hasil tertinggi dari kerja/upaya politik? Karena di situlah sesungguhnya
suara juga kekuasaan diperoleh. Karena itu, sangat tak fair jika kita
menuntut Jokowi menjelaskan satu hal yang memang dalam bahasa ilmiah tak
pernah dan tidak bisa dijelaskan, bahkan bagi kecerdasan tradisional itu
sendiri mungkin tidak perlu dijelaskan, tetapi dibuktikan.
Lahir
Jokowi lain
Di titik inilah, urgensi dari
pemikiran trendi ini memiliki posisi argumen fundamentalnya. Revolusi mental,
sekali lagi, tidak akan dapat diselenggarakan hingga ke tingkat praktis atau
kebijakan politis jika hanya mengacu pada perhitungan-perhitungan akali yang
diproduksi sekumpulan ahli ilmu sosial (sosiologi, psikologi, statistik,
manajemen, politik, dan sebagainya). Ia juga harus menyertakan yang kita
sebut—dan salah tafsirkan—dengan kearifan lokal, bukan sekadar ”kearifan”
melainkan juga gugusan pengetahuan yang luas, kaya, dan dalam dari
tradisi/adab lokal yang dibangun dan dikembangkan oleh etnik dan ratusan
subetnik di seluruh persada negeri, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan
tahun selama ini.
Kita harus melahirkan
Jokowi-Jokowi lain sebanyaknya. Karena Jokowi yang bukan mantan pengusaha
mebel itu banyak sekali, mungkin 230 juta lebih jumlahnya. Jokowi yang
presiden terpilih sebenarnya tidaklah terlalu istimewa karena banyak potensi
”Jokowi” sejenis yang bisa jadi lebih genial dari presiden terpilih.
Keutamaan dari presiden baru ini cuma satu: ia mengetahui kecerdasan itu dan
mampu mengaktualisasikannya. Inilah kemampuan ”mental” yang sangat langka.
Bayangkan jika, tak usah 230 juta,
tetapi 230.000 saja, satu per mil saja, yang mampu berevolusi mental menjadi
”Jokowi”? Saya tak bermimpi, tetapi saya ”yakin” (ini bukan term ilmiah) tak
ada bangsa mana pun mampu menaklukkan, bahkan menyaingi bangsa ini. Bagaimana
menyaingi apalagi menaklukkan sebuah bangsa yang dalam sejarahnya mampu
melahirkan lebih dari 350 etnik/sukubangsa, lebih dari 400 bahasa—setengahnya
diakui PBB/UNESCO—yang hingga kini tak satu pun orientalis atau indonesianis
mampu memahami secara penuh dan komprehensif?
Bagaimana semua itu bisa
dilaksanakan, direncanakan? Tentu saja itu rahasia kecil karena itu porsi tim
Jokowi dan pokja-pokjanya untuk merumuskan. Dan satu imperasi dalam perumusan
ini: semestinya ia dilakukan oleh mereka yang sudah lebih dulu (mampu dan
mau) melakukan revolusi mental itu pada dirinya sendiri, menjadi manusia yang
hidup tidak hanya mengandalkan rasionalisme-positif-materialistiknya. Yang
selalu terjerat dalam perhitungan-perhitungan praktis, pragmatis, dan
cenderung oportunistis, sebagaimana para teknokrat pemerintahan-pemerintahan
sebelumnya.
Bagaimana mungkin sebuah revolusi
dalam jenis ini, dirancang, diatur, dan dioperasikan oleh mereka yang justru
belum terevolusi mentalnya? Apakah kita hendak memainkan dusta atau dunia
yang virtual-artifisial? Jokowi, tuan dan puan, saya kita tidak berdusta, dan
bukan makhluk artifisial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar