Minggu, 19 Oktober 2014

Reformasi Aturan Main di DPR

                                Reformasi Aturan Main di DPR

Ratih Adiputri  ;   Kandidat Doktor Bidang Politik di Universitas Jyvaskyla, Finlandia
KOMPAS,  17 Oktober 2014

                                                                                                                       


FRAKSI Partai Demokrat walk out saat pengambilan keputusan untuk menyetujui Undang-Undang Pilkada pada 25 September lalu. Saat pemilihan pimpinan DPR, 2 Oktober, Fraksi PDI-P, Fraksi Hanura, Fraksi Nasdem, dan Fraksi PKB juga walk out.
Bagaimana menjelaskan gejala fraksi yang walk out dari pengambilan keputusan? Bagaimana legitimasi suatu UU atau hasil keputusan apabila ada fraksi yang tak bersedia memberikan suara? Apakah pilihan fraksi yang walk out masuk kategori abstain? Bagaimana legitimasi UU atas hasil keputusan pemimpin DPR yang sudah keluar itu? Sahkah? Atau, tetap berlaku dengan catatan?
Proses yang terus berjalan di DPR, walau terjadi walk out, jelas sudah melanggar aturan main di DPR sendiri. Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR sebagai aturan main di DPR, Pasal 272, mengatur pengambilan keputusan di DPR seyogianya dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila hal itu tidak terpenuhi, barulah mekanisme keputusan diambil dengan suara terbanyak, voting.
Mekanisme musyawarah untuk mufakat, yang memberikan kesempatan kepada anggota rapat yang hadir untuk memberikan pendapat dan saran, harus dilaksanakan dahulu. Musyawarah untuk mufakat ini biasanya diakomodasi dalam rapat-rapat kecil, rapat lobi, dan rapat para pemimpin. Apabila ini sudah dijalankan, bukan tidak mungkin terjadinya walk out bisa ditiadakan. Kekagetan PDI-P saat Demokrat walk out dan empat fraksi yang walk out saat pemilihan pimpinan DPR jelas menunjukkan bahwa mekanisme musyawarah untuk mufakat tidak ada.
Mekanisme musyawarah untuk mufakat memang memakan waktu, apalagi mekanisme ini dianggap mengakomodasi praktik oligarki di DPR karena keputusan diambil oleh segelintir orang di fraksi. Namun, apabila DPR tetap ingin menjalankan Demokrasi Pancasila sebagai ciri khas demokrasi Indonesia, konsekuensinya adalah mekanisme musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan harus dilaksanakan.
Apalagi, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang konsisten menjalankan aturan (playing by the rules, Liddle, 2002). Amat janggal apabila ada kelompok di DPR mengatakan konsisten menjalankan Demokrasi Pancasila, tetapi aturan yang dijalankan lebih terlihat untuk urusan kelompok, apalagi menjalankan mekanisme pengambilan keputusan ala demokrasi liberal: voting.
Ihwal walk out di DPR tidak atau belum diatur dalam Tatib DPR. Oleh karena itu, penting bagi DPR baru ini merevisi tatib atau aturan main di DPR, termasuk mengatur walk out dan implikasinya. Tatib harus bisa mengakomodasi nilai-nilai demokrasi modern tanpa meninggalkan ciri-ciri khas tradisional musyawarah.
Prosedur parlemen
Prosedur kegiatan di dalam parlemen merupakan dokumen penting untuk menjalankan tugas-tugas DPR. Di luar negeri rules of procedure atau standing order selalu menjadi dokumen acuan untuk memahami tugas parlemen bersangkutan. Di Inggris dan Amerika Serikat, peraturan parlemen ini ditulis oleh para ahli parlemen atau mantan anggota parlemen (lihat English Constitution  atau Robert’s Rules of Order). Di negara lain seperti Polandia dan Kroasia, parlemen memiliki undang-undang peraturan parlemen yang berlaku luas layaknya suatu undang-undang.
Di DPR dokumen serupa adalah tatib, tetapi tatib selalu ”hanya” dianggap sebagai peraturan internal yang mengikat lembaga DPR saja, padahal prosedur kegiatan parlemen juga mengatur hubungan dengan lembaga lain, setidaknya dengan MPR, Presiden, dan DPD. Jika demikian halnya, tatib semestinya dapat dibuat sebagai UU, seperti yang berlaku di beberapa negara yang memiliki UU tentang peraturan tatib.
Kajian mengenai tatib oleh pihak Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR sendiri (Katarina 2007, Bako dkk 2008) menggambarkan betapa penting tatib direvisi sesuai dengan perkembangan di DPR. Kajian tersebut menggambarkan bahwa tatib masih menjalankan tradisi politik Orde Baru: lebih menonjolkan status dan posisi lembaga DPR daripada memikirkan kemangkusan kerja DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Hal ini jelas terlihat dalam proses pemilihan pimpinan DPR. Padahal, merujuk kepada lembaga perwakilan modern, posisi pemimpin lembaga yang sentral terjadi karena pemimpin yang netral, senior, dan piawai dalam membawa kinerja lembaga parlemen yang lebih baik, bukan sekadar tarik ulur kepentingan segelintir pihak.
Dalam bidang legislasi, yang selalu menjadi tolok ukur kinerja DPR, tatib bisa mengatur bahwa RUU tidak perlu diajukan lewat Paripurna DPR kemudian dibahas seperti mekanisme sekarang, tetapi dibalik. Usul RUU diajukan oleh anggota atau fraksi, kemudian disusun oleh perancang UU Setjen DPR, dibahas dalam komisi, pansus, atau forum rapat yang kecil bersama pemerintah dan DPD (untuk RUU tertentu). Baru setelah siap, dapat diajukan dan disetujui oleh Rapat Paripurna DPR.
Dengan mekanisme ini, semua pihak dapat dilibatkan, termasuk masyarakat, karena mekanisme legislasi yang jelas diatur dalam UU, isinya dapat dipelajari seluruh lapisan masyarakat. Pada saat yang sama, jumlah UU yang disahkan bisa lebih banyak dan lebih berbobot karena banyak pihak yang dilibatkan.
Saat ini mekanisme yang ada menutup celah bagi masyarakat terlibat karena prosedurnya yang berbelit-belit. Masyarakat awam tak mungkin menyerahkan draf RUU yang sudah siap. Namun, lembaga wakil rakyat, DPR, dapat membuka forum di mana masyarakat dapat memberikan masukan.
Usul tersebut dapat dituangkan dalam bentuk RUU oleh pihak perancang UU di Setjen DPR, lewat anggota DPR sesuai daerah pemilihan masyarakat yang bersangkutan, atau lewat Badan Legislasi apabila RUU sudah tersedia.
Harus diakui, lamanya proses legislasi di DPR disebabkan oleh pembahasan berlarut-larut dalam hal editorial atau bahasa perundang-undangan sebab pembahasan berdasarkan daftar inventarisasi masalah atau kata-kata di setiap pasal, bukan isu-isu pokok. Karena hal inilah waktu DPR dan pemerintah akan habis, padahal isu editorial bisa didelegasikan ke pihak perancang UU di DPR.
Reformasi prosedur DPR
Revisi tatib merupakan tugas utama DPR yang baru. Butir-butir rekomendasi tatib secara menyeluruh sudah tersedia di Sekretariat DPR. Mencakup usul mekanisme fungsi-fungsi DPR, hak-hak, jenis rapat, fraksi, partisipasi masyarakat, pemilihan pemimpin, kunjungan, sekretariat, dan banyak lagi. Di sini, usul soal walk outdapat ditambahkan, juga mekanisme pengambilan keputusan efektif yang melibatkan semua anggota DPR, bukan hanya pemimpinnya belaka.
Sebagai lembaga yang berhubungan dengan lembaga lain, tatib sebaiknya ditingkatkan menjadi UU yang mengatur prosedur keparlemenan secara menyeluruh. Selain akan menjadi aturan yang jelas dan mengikat semua pihak yang terlibat di dalamnya, UU prosedur parlemen akan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar terlibat dalam proses legislasi atau memberikan masukan untuk fungsi pengawasan DPR.
Dengan reformasi prosedur parlemen, DPR diharapkan dapat berperan lebih baik sebagai wakil rakyat, bukan sekadar wakil partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar