Reformasi
Aturan Main di DPR
Ratih Adiputri ; Kandidat Doktor Bidang Politik di Universitas Jyvaskyla, Finlandia
|
KOMPAS,
17 Oktober 2014
FRAKSI Partai Demokrat walk out
saat pengambilan keputusan untuk menyetujui Undang-Undang Pilkada pada 25
September lalu. Saat pemilihan pimpinan DPR, 2 Oktober, Fraksi PDI-P, Fraksi
Hanura, Fraksi Nasdem, dan Fraksi PKB juga walk out.
Bagaimana menjelaskan
gejala fraksi yang walk out dari pengambilan keputusan? Bagaimana
legitimasi suatu UU atau hasil keputusan apabila ada fraksi yang tak bersedia
memberikan suara? Apakah pilihan fraksi yang walk out masuk
kategori abstain? Bagaimana legitimasi UU atas hasil keputusan pemimpin DPR
yang sudah keluar itu? Sahkah? Atau, tetap berlaku dengan catatan?
Proses yang terus
berjalan di DPR, walau terjadi walk out, jelas sudah melanggar
aturan main di DPR sendiri. Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR sebagai aturan
main di DPR, Pasal 272, mengatur pengambilan keputusan di DPR seyogianya
dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila hal itu tidak
terpenuhi, barulah mekanisme keputusan diambil dengan suara terbanyak,
voting.
Mekanisme musyawarah
untuk mufakat, yang memberikan kesempatan kepada anggota rapat yang hadir
untuk memberikan pendapat dan saran, harus dilaksanakan dahulu. Musyawarah
untuk mufakat ini biasanya diakomodasi dalam rapat-rapat kecil, rapat lobi,
dan rapat para pemimpin. Apabila ini sudah dijalankan, bukan tidak mungkin
terjadinya walk out bisa
ditiadakan. Kekagetan PDI-P saat Demokrat walk
out dan empat fraksi yang walk
out saat pemilihan pimpinan DPR jelas menunjukkan bahwa mekanisme
musyawarah untuk mufakat tidak ada.
Mekanisme musyawarah
untuk mufakat memang memakan waktu, apalagi mekanisme ini dianggap
mengakomodasi praktik oligarki di DPR karena keputusan diambil oleh
segelintir orang di fraksi. Namun, apabila DPR tetap ingin menjalankan
Demokrasi Pancasila sebagai ciri khas demokrasi Indonesia, konsekuensinya
adalah mekanisme musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan harus
dilaksanakan.
Apalagi, Indonesia
dikenal sebagai bangsa yang konsisten menjalankan aturan (playing by the rules, Liddle, 2002).
Amat janggal apabila ada kelompok di DPR mengatakan konsisten menjalankan
Demokrasi Pancasila, tetapi aturan yang dijalankan lebih terlihat untuk
urusan kelompok, apalagi menjalankan mekanisme pengambilan keputusan ala
demokrasi liberal: voting.
Ihwal walk
out di DPR tidak atau belum diatur dalam Tatib DPR. Oleh karena itu,
penting bagi DPR baru ini merevisi tatib atau aturan main di DPR, termasuk
mengatur walk out dan implikasinya. Tatib harus bisa mengakomodasi
nilai-nilai demokrasi modern tanpa meninggalkan ciri-ciri khas tradisional
musyawarah.
Prosedur parlemen
Prosedur kegiatan di
dalam parlemen merupakan dokumen penting untuk menjalankan tugas-tugas DPR.
Di luar negeri rules of procedure atau standing order selalu menjadi
dokumen acuan untuk memahami tugas parlemen bersangkutan. Di Inggris dan
Amerika Serikat, peraturan parlemen ini ditulis oleh para ahli parlemen atau
mantan anggota parlemen (lihat English
Constitution atau Robert’s Rules of Order). Di negara lain
seperti Polandia dan Kroasia, parlemen memiliki undang-undang peraturan
parlemen yang berlaku luas layaknya suatu undang-undang.
Di DPR dokumen serupa
adalah tatib, tetapi tatib selalu ”hanya” dianggap sebagai peraturan internal
yang mengikat lembaga DPR saja, padahal prosedur kegiatan parlemen juga
mengatur hubungan dengan lembaga lain, setidaknya dengan MPR, Presiden, dan
DPD. Jika demikian halnya, tatib semestinya dapat dibuat sebagai UU, seperti
yang berlaku di beberapa negara yang memiliki UU tentang peraturan tatib.
Kajian mengenai tatib
oleh pihak Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR sendiri (Katarina 2007, Bako dkk
2008) menggambarkan betapa penting tatib direvisi sesuai dengan perkembangan
di DPR. Kajian tersebut menggambarkan bahwa tatib masih menjalankan tradisi
politik Orde Baru: lebih menonjolkan status dan posisi lembaga DPR daripada
memikirkan kemangkusan kerja DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Hal ini jelas terlihat
dalam proses pemilihan pimpinan DPR. Padahal, merujuk kepada lembaga
perwakilan modern, posisi pemimpin lembaga yang sentral terjadi karena
pemimpin yang netral, senior, dan piawai dalam membawa kinerja lembaga
parlemen yang lebih baik, bukan sekadar tarik ulur kepentingan segelintir
pihak.
Dalam bidang
legislasi, yang selalu menjadi tolok ukur kinerja DPR, tatib bisa mengatur
bahwa RUU tidak perlu diajukan lewat Paripurna DPR kemudian dibahas seperti
mekanisme sekarang, tetapi dibalik. Usul RUU diajukan oleh anggota atau
fraksi, kemudian disusun oleh perancang UU Setjen DPR, dibahas dalam komisi,
pansus, atau forum rapat yang kecil bersama pemerintah dan DPD (untuk RUU
tertentu). Baru setelah siap, dapat diajukan dan disetujui oleh Rapat
Paripurna DPR.
Dengan mekanisme ini,
semua pihak dapat dilibatkan, termasuk masyarakat, karena mekanisme legislasi
yang jelas diatur dalam UU, isinya dapat dipelajari seluruh lapisan
masyarakat. Pada saat yang sama, jumlah UU yang disahkan bisa lebih banyak
dan lebih berbobot karena banyak pihak yang dilibatkan.
Saat ini mekanisme
yang ada menutup celah bagi masyarakat terlibat karena prosedurnya yang
berbelit-belit. Masyarakat awam tak mungkin menyerahkan draf RUU yang sudah
siap. Namun, lembaga wakil rakyat, DPR, dapat membuka forum di mana
masyarakat dapat memberikan masukan.
Usul tersebut dapat
dituangkan dalam bentuk RUU oleh pihak perancang UU di Setjen DPR, lewat
anggota DPR sesuai daerah pemilihan masyarakat yang bersangkutan, atau lewat
Badan Legislasi apabila RUU sudah tersedia.
Harus diakui, lamanya
proses legislasi di DPR disebabkan oleh pembahasan berlarut-larut dalam hal
editorial atau bahasa perundang-undangan sebab pembahasan berdasarkan daftar
inventarisasi masalah atau kata-kata di setiap pasal, bukan isu-isu pokok.
Karena hal inilah waktu DPR dan pemerintah akan habis, padahal isu editorial
bisa didelegasikan ke pihak perancang UU di DPR.
Reformasi prosedur DPR
Revisi tatib merupakan
tugas utama DPR yang baru. Butir-butir rekomendasi tatib secara menyeluruh
sudah tersedia di Sekretariat DPR. Mencakup usul mekanisme fungsi-fungsi DPR,
hak-hak, jenis rapat, fraksi, partisipasi masyarakat, pemilihan pemimpin,
kunjungan, sekretariat, dan banyak lagi. Di sini, usul soal walk
outdapat ditambahkan, juga mekanisme pengambilan keputusan efektif yang
melibatkan semua anggota DPR, bukan hanya pemimpinnya belaka.
Sebagai lembaga yang
berhubungan dengan lembaga lain, tatib sebaiknya ditingkatkan menjadi UU yang
mengatur prosedur keparlemenan secara menyeluruh. Selain akan menjadi aturan
yang jelas dan mengikat semua pihak yang terlibat di dalamnya, UU prosedur
parlemen akan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar terlibat
dalam proses legislasi atau memberikan masukan untuk fungsi pengawasan DPR.
Dengan reformasi
prosedur parlemen, DPR diharapkan dapat berperan lebih baik sebagai wakil
rakyat, bukan sekadar wakil partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar