Minggu, 19 Oktober 2014

Pemerintahan Baru dan Urusan Perut Rakyat

           Pemerintahan Baru dan Urusan Perut Rakyat

Elfindri  ;   Profesor Ekonomi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat
KOMPAS,  17 Oktober 2014

                                                                                                                       


ADA yang menarik dari tawaran Jokowi-Jusuf Kalla dalam program strategisnya, yakni mewujudkan sejuta hektar lahan dan memperbesar anggaran untuk atasi kemiskinan. Sasarannya nyata: mengurangi impor pangan, mengurangi kemiskinan, sekaligus urusan perut rakyat. Bagaimana mewujudkannya?

Tantangan dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) adalah semakin besarnya kebutuhan devisa untuk mendatangkan impor bahan makanan, dari terigu, jagung, kedelai, daging, dan susu, bahkan hingga beras dan garam yang hampir semuanya bisa diproduksi sendiri.

Kemampuan produksi dalam negeri memang sangat rendah. Kedelai sebagai contoh, hanya 800.000 ton per tahun. Jumlah ini untuk memenuhi kebutuhan industri tahu tempe saja, 2,4 juta ton kedelai per tahun, tidak cukup.
Petani kita hanya mampu menghasilkan 1,4 ton per hektar kedelai. Thailand mampu memproduksi 3 ton per hektar. Bibit dan teknologi ada, tetapi kurangnya niat baik membuat perkembangan budidaya kedelai terhambat.

Produksi terigu memang agak sulit karena tidak semua wilayah cocok untuk gandum tumbuh. Impor gandum berfluktuasi 4-6 juta ton per tahun setara dengan devisa Rp 2 triliun per tahun. Persoalan terigu sebenarnya dapat diatasi jika kita mampu memproduksi tepung dari pangan lokal, seperti ubi jalar, talas, sagu, dan kentang.

Demikian juga, strategi impor beras untuk memenuhi program beras untuk orang miskin (raskin) sebenarnya tidak perlu dipertahankan mengingat kebutuhan pangan di perdesaan bisa disubstitusi dengan mendorong konsumsi nonberas untuk memenuhi sumber karbohidrat masyarakat. Ini diiringi dengan kampanye budidaya ubi diiringi dengan inovasi pengolahannya.

Produksi pangan lokal akan menggairahkan petani menanam talas, ubi jalar, ubi ketela, kentang, dan jagung, juga pengolahan sagu bagi kelompok masyarakat yang familiar dengan pangan sagu.

Kehadiran pangan lokal akan membuat pasar-pasar desa bergairah karena ada tumbuhnya nilai ekonomi dari subsidi yang disalurkan, baik pada yang memproduksi, menjual, maupun yang mengonsumsi.

Performa peningkatan impor bahan makanan sejalan dengan hasil Sensus Pertanian 2013 yang menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir berkurang 5,1 juta rumah tangga tani dari segala subsektor: hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan, serta jasa peternakan dan pertanian. Jumlah rumah tangga nelayan tangkap juga turun menjadi 860.000 rumah tangga, tetapi ada tendensi peningkatan jumlah nelayan budidaya menjadi 1,19 juta rumah tangga.

Dengan demikian, jelaslah bahwa upaya peningkatan produksi dan nilai tambah belum menjadi fokus dari pembangunan sebelumnya. Padahal, dua pertiga kemiskinan terjadi pada mereka yang terikat dengan keluarga pertanian dan nelayan. Mengatasi persoalan perut rakyat akan memuluskan upaya pengurangan kemiskinan.

Sejuta hektar

Dengan demikian, akan lebih bijak kiranya jika strategi yang ditempuh adalah membangun sektor pertanian yang dapat menyubstitusi impor bahan pangan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.

Pertama, pematangan perencanaan. Pada tahap ini tidak terlalu sulit untuk merencanakan bagaimana program perluasan sejuta hektar (di luar Pulau Jawa) yang digagas oleh Jokowi-JK dimatangkan.

Pada tahap ini, penyusunan kelayakan usaha, penetapan lokasi, penyiapan SDM petani, dan peta terhadap dukungan infrastruktur sangat mendesak demi terwujudnya gagasan ini.

Kedua, pada saat bersamaan dapat dipetakan apa yang menjadi daya ungkit agar produktivitas lahan bisa meningkat. Sekiranya bibit yang menjadi masalah utama, pemerintah sebaiknya menjamin penyediaan bibit dan litbang-litbang memprioritaskan riset dan pengembangan bibit lokal. Sejalan dengan itu, desain subsidi pupuk perlu diperbaiki agar dapat meningkatkan gairah petani meningkatkan produksinya.

Ketiga, gagasan mengurangi subsidi BBM Rp 1 triliun per hari menjadi Rp 500 miliar per hari akan menghemat APBN sekitar Rp 175 triliun per tahun. Subsidi tentu bisa dialihkan ke program perluasan pertanian dengan skala prioritas dan semangat tinggi.

Keempat, proses dari pengembangan usaha pertanian dapat diwujudkan sejalan dengan gagasan melahirkan bank khusus yang dapat membiayai subsektor pertanian.

Kelima, kenaikan harga BBM pada kisaran Rp 2.000-Rp 3.000 per liter dapat menekan defisit APBN. Ini akan berdampak pada cadangan dana yang dapat disisihkan untuk keperluan subsidi pertanian, membiayai kartu pintar dan kartu sehat serta sumber untuk membiayai infrastruktur irigasi/bendungan dan segala infrastruktur lain yang diprioritaskan.

Keenam, saat bersamaan, program food for work dapat dijadikan pengganti bantuan langsung tunai (BLT). Rencana aksi ini dibuat sebagai kompensasi dari kenaikan harga BBM. Program ini dapat diarahkan dengan memberikan bantuan cash kepada petani yang mau bekerja untuk menghasilkan komoditas substitusi impor.

Bukan tidak mungkin program food for work dimulai dengan mengembangkan mobilitas (sosial) petani berlahan sempit, baik dalam transmigrasi lokal maupun transmigrasi antarpulau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar