Pemerintahan Baru dan
Urusan Perut Rakyat
Elfindri ; Profesor Ekonomi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Koordinator Program S-3
Ilmu Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat
|
KOMPAS,
17 Oktober 2014
ADA yang
menarik dari tawaran Jokowi-Jusuf Kalla dalam program strategisnya, yakni
mewujudkan sejuta hektar lahan dan memperbesar anggaran untuk atasi
kemiskinan. Sasarannya nyata: mengurangi impor pangan, mengurangi kemiskinan,
sekaligus urusan perut rakyat. Bagaimana mewujudkannya?
Tantangan
dari subsidi bahan bakar minyak (BBM) adalah semakin besarnya kebutuhan
devisa untuk mendatangkan impor bahan makanan, dari terigu, jagung, kedelai,
daging, dan susu, bahkan hingga beras dan garam yang hampir semuanya bisa
diproduksi sendiri.
Kemampuan
produksi dalam negeri memang sangat rendah. Kedelai sebagai contoh, hanya
800.000 ton per tahun. Jumlah ini untuk memenuhi kebutuhan industri tahu
tempe saja, 2,4 juta ton kedelai per tahun, tidak cukup.
Petani
kita hanya mampu menghasilkan 1,4 ton per hektar kedelai. Thailand mampu
memproduksi 3 ton per hektar. Bibit dan teknologi ada, tetapi kurangnya niat
baik membuat perkembangan budidaya kedelai terhambat.
Produksi
terigu memang agak sulit karena tidak semua wilayah cocok untuk gandum
tumbuh. Impor gandum berfluktuasi 4-6 juta ton per tahun setara dengan devisa
Rp 2 triliun per tahun. Persoalan terigu sebenarnya dapat diatasi jika kita
mampu memproduksi tepung dari pangan lokal, seperti ubi jalar, talas, sagu,
dan kentang.
Demikian
juga, strategi impor beras untuk memenuhi program beras untuk orang miskin
(raskin) sebenarnya tidak perlu dipertahankan mengingat kebutuhan pangan di
perdesaan bisa disubstitusi dengan mendorong konsumsi nonberas untuk memenuhi
sumber karbohidrat masyarakat. Ini diiringi dengan kampanye budidaya ubi
diiringi dengan inovasi pengolahannya.
Produksi
pangan lokal akan menggairahkan petani menanam talas, ubi jalar, ubi ketela,
kentang, dan jagung, juga pengolahan sagu bagi kelompok masyarakat yang
familiar dengan pangan sagu.
Kehadiran
pangan lokal akan membuat pasar-pasar desa bergairah karena ada tumbuhnya
nilai ekonomi dari subsidi yang disalurkan, baik pada yang memproduksi,
menjual, maupun yang mengonsumsi.
Performa
peningkatan impor bahan makanan sejalan dengan hasil Sensus Pertanian 2013
yang menunjukkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir berkurang 5,1 juta rumah
tangga tani dari segala subsektor: hortikultura, perkebunan, peternakan,
kehutanan, serta jasa peternakan dan pertanian. Jumlah rumah tangga nelayan
tangkap juga turun menjadi 860.000 rumah tangga, tetapi ada tendensi
peningkatan jumlah nelayan budidaya menjadi 1,19 juta rumah tangga.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa upaya peningkatan produksi dan nilai tambah belum
menjadi fokus dari pembangunan sebelumnya. Padahal, dua pertiga kemiskinan
terjadi pada mereka yang terikat dengan keluarga pertanian dan nelayan.
Mengatasi persoalan perut rakyat akan memuluskan upaya pengurangan
kemiskinan.
Sejuta hektar
Dengan
demikian, akan lebih bijak kiranya jika strategi yang ditempuh adalah
membangun sektor pertanian yang dapat menyubstitusi impor bahan pangan.
Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.
Pertama,
pematangan perencanaan. Pada tahap ini tidak terlalu sulit untuk merencanakan
bagaimana program perluasan sejuta hektar (di luar Pulau Jawa) yang digagas
oleh Jokowi-JK dimatangkan.
Pada
tahap ini, penyusunan kelayakan usaha, penetapan lokasi, penyiapan SDM
petani, dan peta terhadap dukungan infrastruktur sangat mendesak demi
terwujudnya gagasan ini.
Kedua,
pada saat bersamaan dapat dipetakan apa yang menjadi daya ungkit agar
produktivitas lahan bisa meningkat. Sekiranya bibit yang menjadi masalah
utama, pemerintah sebaiknya menjamin penyediaan bibit dan litbang-litbang
memprioritaskan riset dan pengembangan bibit lokal. Sejalan dengan itu,
desain subsidi pupuk perlu diperbaiki agar dapat meningkatkan gairah petani
meningkatkan produksinya.
Ketiga,
gagasan mengurangi subsidi BBM Rp 1 triliun per hari menjadi Rp 500 miliar
per hari akan menghemat APBN sekitar Rp 175 triliun per tahun. Subsidi tentu
bisa dialihkan ke program perluasan pertanian dengan skala prioritas dan
semangat tinggi.
Keempat,
proses dari pengembangan usaha pertanian dapat diwujudkan sejalan dengan
gagasan melahirkan bank khusus yang dapat membiayai subsektor pertanian.
Kelima,
kenaikan harga BBM pada kisaran Rp 2.000-Rp 3.000 per liter dapat menekan
defisit APBN. Ini akan berdampak pada cadangan dana yang dapat disisihkan
untuk keperluan subsidi pertanian, membiayai kartu pintar dan kartu sehat
serta sumber untuk membiayai infrastruktur irigasi/bendungan dan segala
infrastruktur lain yang diprioritaskan.
Keenam,
saat bersamaan, program food for work
dapat dijadikan pengganti bantuan langsung tunai (BLT). Rencana aksi ini
dibuat sebagai kompensasi dari kenaikan harga BBM. Program ini dapat
diarahkan dengan memberikan bantuan cash kepada petani yang mau bekerja untuk
menghasilkan komoditas substitusi impor.
Bukan
tidak mungkin program food for work
dimulai dengan mengembangkan mobilitas (sosial) petani berlahan sempit, baik
dalam transmigrasi lokal maupun transmigrasi antarpulau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar