Prioritas
Poros Maritim
M Riza Damanik ; Direktur Eksekutif IGJ;
Dewan
Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 29 September 2014
Diskusi terbatas Harian Sinar Harapan (25/9) bertema “Prioritas Terpenting dan Mendesak
Dikerjakan untuk Membangkitkan Indonesia sebagai Negara Maritim (dan Poros
Dunia)”, berhasil menemukenali fakta-fata empirik yang memboboti
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Saya pun semakin yakin, menjadi poros
maritim dunia—seperti disampaikan presiden terpilih Joko Widodo, bukanlah
proyek baru Indonesia. Sebaliknya, sebuah kesadaran revolusioner yang
menuntut kehadiran lebih negara untuk mengoptimalkan segenap potensi laut
Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam tafsir konstitusi Indonesia, kondisi “sebesar-besar kemakmuran
rakyat” hanya akan dapat diraih bilamana kemanfaatan, partisipasi,
pemerataan, dan penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam pemanfaatan sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil itu terselenggara (Putusan MK No
3/PUU-VIII/2010 terkait Uji Materil UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Membangkitkan negara maritim harus diawali
perubahan yang sifatnya paradigmatik, sebelum beranjak ke programatik.
Prioritas
Rakyat (Dunia)
Jika pertumbuhan rata-rata penduduk konsisten hingga 2045, saat
merayakan 100 tahun Indonesia merdeka, jumlahnya mencapai lebih dari 450 juta
jiwa. Bersandar pada realitas buruk hari ini, tingginya ketergantungan
Indonesia terhadap impor pangan dan energi, strategi menjadi poros maritim
perlu meletakkan pemenuhan kebutuhan pangan dan energi sebagai prioritas.
Mengingat keterbatasan lahan di darat, pemenuhan kebutuhan pangan dapat
dilakukan melalui optimalisasi sumber daya pangan dari laut. Kesejahteraan
nelayan menjadi kunci. Mengapa nelayan? Selain menyelesaikan gap kebutuhan
pangan, ramainya aktivitas perikanan rakyat akan membuka lapangan pekerjaan
baru, terjaganya budaya luhur bahari Nusantara, mempersempit masuknya
kapal-kapal pencuri ikan, dan kejahatan lain di laut, serta menstimulasi
tumbuh-kembangnya galangan-galangan kapal rakyat.
Secara lebih operasional dibutuhkan peningkatan kapasitas dan
produktivitas pembudi daya ikan Indonesia saat ini, dari sekitar 1 ton per
orang per tahun menjadi minimum 3 ton per orang per tahun. Meski angka itu
masih jauh di bawah produktivitas petambak Thailand dan Vietnam, cukup
strategis sebagai prestasi di awal lima tahun Pemerintahan Jokowi-JK.
Pembangunan pelabuhan perikanan di timur Indonesia juga diperlukan.
Pasalnya, meski perairan Indonesia bagian timur dipercaya kaya sumber daya
ikan, belum dikelola secara adil dan lestari. Faktanya, sejak era Orde Baru
hingga penghujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, 70 persen dari total
814 pelabuhan perikanan Indonesia ada di barat; dan kurang 30 persennya di
timur. Industri strategis nasional juga bertumpuk di Pulau Jawa. Dapat
dipastikan pembangunan Sistem Logistik Pangan Nasional bak jauh panggang dari
api.
Dalam hal pemenuhan kebutuhan energi dapat ditempuh melalui dua cara.
Pertama, eksplorasi kilang-kilang baru dan sumber-sumber energi terbarukan,
misalnya arus bawah laut, pasang-surut, termasuk peluang ekstraksi buah
mangrove dan ekosistem pesisir lainnya menjadi bioenergi.
Kedua, edukasi publik tentang penggunaan energi efisien, sekaligus
promosi penggunaan energi terbarukan. Penguatan lembaga riset dan teknologi
kelautan, khususnya dalam upaya optimalisasi pemanfaatan energi laut, semakin
penting. Ini termasuk mengedepankan penggunaan transportasi laut untuk
mobilisasi sistem logistik nasional.
Kemauan menggunakan kapal dalam mobilisasi barang dan jasa, harus
diikuti pula dengan kesadaran menggunakan energi yang lebih efisien, termasuk
memperbesar peran negara dalam melayani masyarakat di pulau-pulau kecil.
Poros
Berdaulat
Pangan dan energi menjadi indikator sentral dalam mewujudkan Indonesia
sebagai poros maritim yang mandiri, berdaulat, adil, dan makmur.
Diversifikasi (memperbesar peran laut) terhadap pemenuhan keduanya, menjadi
mutlak guna menjawab tantangan Indonesia hari ini dan ke depannya.
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menyadari, untuk mewujudkan
kedaulatan pangan dan energi dalam poros maritim tentu tidaklah mudah. Ini
terlebih kondisi APBN Pemerintahan Jokowi-JK yang serba minimalis, tingginya
eskpektasi publik kepada pemerintahan baru untuk menyelesaikan pelbagai
persoalan bangsa, hingga semakin meluasnya praktik liberalisasi diberbagai
sektor strategis nasional.
Oleh sebab itu, memberikan insentif kepada organisasi-organisasi
nelayan maupun petambak, masyarakat adat, pelaku swasta nasional, dan para
peneliti yang selama ini telah bernisiatif dalam menemukan, memanfaatkan,
bahkan mempromosikan berbagai inovasi dalam pengelolaan pangan perikanan dan
energi-laut yang lestari adalah mutlak diperlukan. Insentif di antaranya dapat
berupa kemudahan layanan teknologi dan informasi, akses
pembiayaan/permodalan, serta akses pasar berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar