Rabu, 01 Oktober 2014

Prioritas Poros Maritim

Prioritas Poros Maritim

M Riza Damanik  ;   Direktur Eksekutif IGJ;
Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
SINAR HARAPAN,  29 September 2014

                                                                                                                       


Diskusi terbatas Harian Sinar Harapan (25/9) bertema “Prioritas Terpenting dan Mendesak Dikerjakan untuk Membangkitkan Indonesia sebagai Negara Maritim (dan Poros Dunia)”, berhasil menemukenali fakta-fata empirik yang memboboti Indonesia sebagai poros maritim dunia. Saya pun semakin yakin, menjadi poros maritim dunia—seperti disampaikan presiden terpilih Joko Widodo, bukanlah proyek baru Indonesia. Sebaliknya, sebuah kesadaran revolusioner yang menuntut kehadiran lebih negara untuk mengoptimalkan segenap potensi laut Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam tafsir konstitusi Indonesia, kondisi “sebesar-besar kemakmuran rakyat” hanya akan dapat diraih bilamana kemanfaatan, partisipasi, pemerataan, dan penghormatan terhadap hak-hak rakyat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil itu terselenggara (Putusan MK No 3/PUU-VIII/2010 terkait Uji Materil UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Membangkitkan negara maritim harus diawali perubahan yang sifatnya paradigmatik, sebelum beranjak ke programatik.

Prioritas Rakyat (Dunia)

Jika pertumbuhan rata-rata penduduk konsisten hingga 2045, saat merayakan 100 tahun Indonesia merdeka, jumlahnya mencapai lebih dari 450 juta jiwa. Bersandar pada realitas buruk hari ini, tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan dan energi, strategi menjadi poros maritim perlu meletakkan pemenuhan kebutuhan pangan dan energi sebagai prioritas.

Mengingat keterbatasan lahan di darat, pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilakukan melalui optimalisasi sumber daya pangan dari laut. Kesejahteraan nelayan menjadi kunci. Mengapa nelayan? Selain menyelesaikan gap kebutuhan pangan, ramainya aktivitas perikanan rakyat akan membuka lapangan pekerjaan baru, terjaganya budaya luhur bahari Nusantara, mempersempit masuknya kapal-kapal pencuri ikan, dan kejahatan lain di laut, serta menstimulasi tumbuh-kembangnya galangan-galangan kapal rakyat.

Secara lebih operasional dibutuhkan peningkatan kapasitas dan produktivitas pembudi daya ikan Indonesia saat ini, dari sekitar 1 ton per orang per tahun menjadi minimum 3 ton per orang per tahun. Meski angka itu masih jauh di bawah produktivitas petambak Thailand dan Vietnam, cukup strategis sebagai prestasi di awal lima tahun Pemerintahan Jokowi-JK.

Pembangunan pelabuhan perikanan di timur Indonesia juga diperlukan. Pasalnya, meski perairan Indonesia bagian timur dipercaya kaya sumber daya ikan, belum dikelola secara adil dan lestari. Faktanya, sejak era Orde Baru hingga penghujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, 70 persen dari total 814 pelabuhan perikanan Indonesia ada di barat; dan kurang 30 persennya di timur. Industri strategis nasional juga bertumpuk di Pulau Jawa. Dapat dipastikan pembangunan Sistem Logistik Pangan Nasional bak jauh panggang dari api.

Dalam hal pemenuhan kebutuhan energi dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, eksplorasi kilang-kilang baru dan sumber-sumber energi terbarukan, misalnya arus bawah laut, pasang-surut, termasuk peluang ekstraksi buah mangrove dan ekosistem pesisir lainnya menjadi bioenergi.

Kedua, edukasi publik tentang penggunaan energi efisien, sekaligus promosi penggunaan energi terbarukan. Penguatan lembaga riset dan teknologi kelautan, khususnya dalam upaya optimalisasi pemanfaatan energi laut, semakin penting. Ini termasuk mengedepankan penggunaan transportasi laut untuk mobilisasi sistem logistik nasional.

Kemauan menggunakan kapal dalam mobilisasi barang dan jasa, harus diikuti pula dengan kesadaran menggunakan energi yang lebih efisien, termasuk memperbesar peran negara dalam melayani masyarakat di pulau-pulau kecil.

Poros Berdaulat

Pangan dan energi menjadi indikator sentral dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim yang mandiri, berdaulat, adil, dan makmur. Diversifikasi (memperbesar peran laut) terhadap pemenuhan keduanya, menjadi mutlak guna menjawab tantangan Indonesia hari ini dan ke depannya.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menyadari, untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan energi dalam poros maritim tentu tidaklah mudah. Ini terlebih kondisi APBN Pemerintahan Jokowi-JK yang serba minimalis, tingginya eskpektasi publik kepada pemerintahan baru untuk menyelesaikan pelbagai persoalan bangsa, hingga semakin meluasnya praktik liberalisasi diberbagai sektor strategis nasional.

Oleh sebab itu, memberikan insentif kepada organisasi-organisasi nelayan maupun petambak, masyarakat adat, pelaku swasta nasional, dan para peneliti yang selama ini telah bernisiatif dalam menemukan, memanfaatkan, bahkan mempromosikan berbagai inovasi dalam pengelolaan pangan perikanan dan energi-laut yang lestari adalah mutlak diperlukan. Insentif di antaranya dapat berupa kemudahan layanan teknologi dan informasi, akses pembiayaan/permodalan, serta akses pasar berkeadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar