Memilih
Keputusan Politik
Sugiyono Madelan ; Peneliti Indef dan Dosen Universitas Mercu Buana
|
SINAR
HARAPAN, 30 September 2014
Naskah akademik Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU
Pilkada) dibangun untuk mencari pemecahan terhadap masalah efektivitas
pemerintah daerah (pemda) menggunakan pendekatan seleksi kepala daerah.
Pilkada secara langsung setelah berjalan selama 10 tahun, kemudian ditemukan
persoalan tata hubungan kerja antara kepala daerah pada sistem presidensial.
Naskah akademik RUU Pilkada merekomendasikan kedudukan gubernur sebagai
kepala daerah perlu kembali didudukkan sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah untuk melaksanakan fungsi dekonsentrasi. Sementara itu, bupati dan
wali kota juga perlu didudukkan kembali untuk melaksanakan fungsi
desentralisasi.
Di samping itu, seleksi kepala daerah diperumit masalah sinergi antara
kepala daerah dengan wakil kepala daerah apabila pemilihannya dijadikan dalam
satu paket. Hal itu dimungkinkan pada pasangan calon yang berasal dari
koalisi partai politik.
Namun, harapan untuk membangun kompetisi dalam praktik di lapangan pada
banyak kasus ternyata sulit diwujudkan. Misalnya, pada hubungan kerja era
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo.
Rupanya pendekatan ilmu manajemen strategis dalam bentuk harapan untuk
terjadinya pembentukan hubungan kompetisi itu kalah kuat dibandingkan
kekokohan aplikasi ilmu politik dan ilmu sumber daya manusia.
Persaingan antarkelompok lebih menonjol dibandingkan aspek kerja sama
antar dan dalam kelompok. Akibatnya, masalah disorganisasi lebih mengemuka
dalam praktik di lapangan dibandingkan efektivitas sinergi antara pasangan
kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk mencapai tujuan organisasi pemda
secara efektif.
Paradigma di atas dijadikan sebagai strategi yang mengoreksi dampak
negatif pilkada langsung. Paradigma tadi juga diperumit kegagalan untuk
menjauhkan dari penyakit kronis korupsi. Tercatat 80 persen kasus terkait
korupsi kepala daerah, meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
dihadirkan untuk mencegahnya melalui penegakan hukum antikorupsi dan tindak
pidana pencucian uang.
Alibi justru karena keberadaan KPK, temuan pidana korupsi dan pencucian
uang justru mempunyai magnitude yang besar. Alibi lain adalah Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak menggunakan jurus sanksi hukuman seumur
hidup, hukuman mati, dan sulitnya mencabut hak politik terdakwa.
Akan tetapi, alibi-alibi tadi tidak mampu menafikan kelahiran ilmu
ekonomi politik. Ilmu tersebut telah diadopsi di Indonesia sekitar tahun
1970. Tahun yang jauh dari kelahiran KPK.
Ketika itu ilmu ekonomi politik menjadi semakin populer ketika
terungkapnya skandal korupsi pengadaan satelit Palapa, kasus korupsi dana Bulog,
dan seterusnya. Ini membukakan mata dan mempertajam telinga tentang
keberadaan korupsi sebagai penyakit bawaan yang bersifat kronis menjangkiti
lintasan kegiatan ekonomi maupun politik.
Sesungguhnya masalah korupsi dan kegagalan pembentukan strategi
kompetisi itu di dunia nyata pada kasus seleksi kepala daerah telah ditemukan
pada era sejarah Romawi kuno. Karena itu, persoalan yang dibangkitkan dalam
naskah akademik RUU Pilkada di atas tidak dapat dipandang sebelah mata.
Ketika agama baru diyakini sudah tidak ada lagi saat ini, kebaruan yang
relevan adalah menggunakan taktik hijrah, yakni pembaruan agama dengan
berharap dari penggiatan ormas Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain
sesuai agama dan keyakinannya masing-masing.
Namun, kegiatan korupsi yang mencemari pilkada langsung maupun tidak
langsung melalui DPRD ini tidak memandang bulu. Itu disebabkan pegiat agama
pun terjangkiti penyakit kronis korupsi pula.
Oleh karena itu, pilihan keputusan politik pilkada adalah dengan cara
melokalisasikan kegiatan korupsi secara masif dari kegiatan pilkada langsung
untuk kembali ke pemilihan oleh DPRD. Strategi retreat ini terpaksa
dilakukan, sebagaimana ketika itu strategi pilkada langsung dibangun
sedemikian heroik, ternyata melupakan keganasan atas cemaran dari potensi
membesarnya kegiatan pertukaran antara suara dengan uang dan hadiah natura.
Implikasi cemaran tersebut adalah meningkatnya kegiatan pertukaran
antara katebelece perizinan dengan gadai dana kampanye maupun sebagai jalan
pintas untuk meningkatkan kapitalisasi modal perseorangan dan kelompok.
Apabila musyawarah mufakat secara aklamasi gagal dilakukan dalam sidang
paripurna DPR, opsi keputusan politik secara ekstrem itu sesungguhnya ada
dua. Pertama, pilkada langsung dengan perbaikan, dan pilkada tidak langsung
oleh DPRD dengan perbaikan.
Dengan memperhatikan kekokohan hukum small number, manfaat lebih besar
yang diterima per orang yang berjumlah sedikit itu berpeluang lebih efektif
dibandingkan insentif dari manfaat perjuangan pada jumlah orang banyak yang
akan diterima per orang dalam memperjuangkan suatu opsi kebijakan. Jadi, opsi
pilkada secara tidak langsung oleh DPRD dengan perbaikan itu lebih mungkin
diimplementasikan.
Kemudian upaya mengarantinakan anggota DPR untuk memurnikan potensi
pertukaran suara dengan janji-janji politik, maupun pertukaran lainnya adalah
tindakan prasyarat demi membangun kemurnian independensi dalam memilih
keputusan politik.
Namun, independensi itu terkondisikan dependensi loyalitas kepada ketua
umum parpol dan timbangan arah perubahan dalam konstelasi politik, di antara
koalisi Jokowi-Jusuf Kalla dengan Koalisi “permanen” Merah Putih, ketika
kontrak politik koalisi Kabinet Yudhoyono telah di ujung salam perpisahan.
Betapa politik recall telah berfungsi menata independensi anggota yang
memilih keputusan politik berbeda itu terlihat telanjang pada mekanisme
pemungutan suara secara terbuka. Dalam hal ini, kekokohan antara kekuatan
taktik kompetisi dan kooptasi kembali diuji dalam kegiatan pemilihan keputusan
RUU Pilkada pada sidang paripurna DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar