Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum
Jarot Widya Muliawan ; Alumnus Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang; Praktisi
Pertanahan di Jawa Timur
|
JAWA
POS, 20 Oktober 2014
ADA sembilan program konkret Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).Di
antaranya, kepemilikan tanah pertanian untuk 4,5 juta kepala keluarga,
pembangunan/perbaikan irigasi di 3 juta hektare sawah, pembangunan 25
bendungan, 1 juta hektare lahan pertanian baru di luar Jawa, pendirian bank
petani dan UMKM, serta penguatan Bulog. Program yang sangat progresif yang
akan menyejahterakan rakyat. Pertanyaan kemudian, apakah program tersebut
bisa dengan mudah dilaksanakan?
Salah satu yang sering menjadi kendala adalah pengadaan tanah.
Pedebatan akan berkutat pada pengertian kepentingan umum. Makna kepentingan
umum itu mengalami perbedaan perspektif yang cukup tajam dari sisi pemerintah
maupun sisi masyarakat yang tanahnya bakal digunakan untuk pembangunan. Bahkan,
pengertian yang ada dalam regulasi mengalami pasang surut. Dalam Keputusan
Presiden No 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Undang-Undang untuk Kepentingan Umum, kepentingan umum harus memenuhi tiga
unsur yang sifatnya kumulatif. Tiga unsur itu adalah (1) kegiatan pembangunan
tersebut dilakukan oleh pemerintah, (2) dimiliki oleh pemerintah, dan (3)
tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Sementara Perpres No 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum memperluas pembatasan
kepentingan umum dengan memuat kata ”atau akan” dimiliki oleh
pemerintah/pemda serta menghapus kata ”tidak digunakan untuk mencari
keuntungan”. Bahkan, dalam Perpres No 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden No 36 Tahun 2005, ketentuan mengenai kepentingan umum
tidak berubah. Ketentuannya masih mengacu pada Perpres No 36/2005. Yang
berubah adalah kategori kepentingan umum (pasal 5), yang awalnya 21 kategori
menjadi 7 kategori di dalam Perpres No 65/2006. Tujuh kategori itu adalah (a)
jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah,
ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran
pembuangan air, dan sanitasi; (b) waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan
bangunan pengairan lain; (c) pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan
terminal; (d) fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan
bahaya banjir, lahar, dan lain-lain; (e) tempat pembuangan sampah; (f) cagar
alam dan cagar budaya; serta (g) pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga
listrik.
Perubahan terhadap kategori kepentingan umum itu juga menimbulkan
pertanyaan. Bagaimana jika pemerintah/pemda akan membangun puskesmas/rumah
sakit umum, tempat pendidikan atau sekolah, lembaga pemasyarakatan atau rumah
tahanan, kantor pemerintah/pemda, pasar umum/tradisional? Apakah
pemerintah/pemda harus memperoleh tanah dengan cara jual beli?
Pengurangan terhadap ketentuan kepentingan umum itu telah diakomodasi
pada pasal 10 Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan dengan menambahkan kategori kepentingan umum dapat ditemukan
dalam pasal 10. Pasal itu terdiri atas ayat (a) pertahanan dan keamanan
sosial; (e) infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; (g) jaringan
telekomunikasi dan informatika pemerintah; (h) tempat pembuangan dan
pengolahan sampah; (i) rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah; (k) tempat
pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah; (i) fasilitas sosial, fasilitas
umum, dan ruang terbuka hijau publik; (m) cagar alam dan cagar budaya; (n)
kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa; (o) penataan permukiman kumuh
perkotaan dan/atau konsolidasi tanah serta perumahan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah dengan status sewa; (p) prasarana pendidikan atau
sekolah pemerintah/pemerintah daerah; (q) prasarana olahraga
pemerintah/pemerintah daerah; serta (r) pasar umum dan lapangan parkir umum.
Penambahan kategori kepentingan umum sebagaimana diuraikan sebelumnya
menjadi modal bagi Jokowi-JK untuk memuluskan program di bidang pertanahan
pada era pemerintahan mereka. Namun, para pemangku kepentingan harus tahu
aturan main dengan memperhatikan konsep 3
in 1 in the land acquisition. Itu adalah konsep penyelesaian masalah
pertanahan, dalam hal ini pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang pada
intinya kegiatan perolehan tanah dari awal sampai akhir atau dari hulu ke
hilir yang akhirnya bermuara pada tiga titik. Pertama titikstart, yakni aspek
perizinan, dalam hal ini perizinan lokasi (penetapan lokasi). Kedua titik
decision, yaitu aspek penguasaan tanah. Ketiga titik product, yaitu aspek sertifikasi tanah.
Patut dipahami bahwa penetapan lokasi mempunyai tiga fungsi, yaitu
fungsi izin memperoleh tanah, fungsi izin perubahan penggunaan tanah, dan
fungsi izin pemindahan hak atas tanah. Penerbitan sertifikat hak atas tanah
(hak pakai) menjadi kewenangan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota
seberapa pun luasnya dan dalam hal tersebut dikandung maksud dalam rangka
percepatan pembangunan. Semoga program konkret pemerintah di bidang
pertanahan segera terealisasi untuk mempercepat ekonomi pembangunan di
Indonesia dengan didukung penguatan lembaga dalam bentuk Kementerian Agraria.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar