Pemerintahan
Terbelah
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP
Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
21 Oktober 2014
PEMILIHAN umum anggota DPR serta pemilu presiden dan wakil presiden
yang diselenggarakan pada tahun 2014 ternyata menghasilkan pemerintahan yang
terbelah (divided government). DPR
didominasi koalisi enam partai politik yang bergabung dalam Koalisi Merah
Putih dengan total perolehan kursi sebesar 350, sedangkan empat partai
politik yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat mencapai 210 kursi.
Seluruh pimpinan DPR dipegang Koalisi Merah Putih serta kemungkinan juga
pimpinan komisi dan alat kelengkapan lain DPR.
Presiden dan wakil presiden beserta kabinet, di lain pihak, dipegang
Koalisi Indonesia Hebat yang dipimpin Joko Widodo-Jusuf Kalla. Fenomena
seperti ini tidak akan terjadi pada negara dengan bentuk pemerintahan
parlementer karena partai atau koalisi partai yang menguasai parlemen-lah yang
membentuk kabinet. Bahkan menteri pertama dan para anggota kabinet dipilih
dari dan oleh parlemen. Fenomena pemerintahan terbelah seperti ini dapat
terjadi (meski tak harus terjadi) dalam negara dengan bentuk pemerintahan
presidensial karena kekuasaan eksekutif (presiden, wapres, dan anggota
kabinet) terpisah dari legislatif.
Efektivitas
pemerintahan
Mengapa fenomena ini terjadi? Apa konsekuensi fenomena ini terhadap
efektivitas pemerintahan dalam mewujudkan tujuan negara sebagaimana
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945?
Setidak-tidaknya dua faktor dapat disebut sebagai penyebab pemerintahan
terbelah. Pertama, karena sistem pemilihan umum yang digunakan untuk memilih
anggota DPR adalah sistem pemilihan umum proporsional dengan besaran daerah
pemilihan 3 hingga 10 kursi dan penetapan calon terpilih dilakukan
berdasarkan urutan jumlah perolehan suara di antara calon tanpa harus
mencapai bilangan pembagi pemilih (BPP).
Ada tiga konsekuensi sistem pemilihan umum seperti ini. Konsekuensi
tersebut adalah (1) calon anggota DPR lebih aktif melakukan kampanye dengan
segala cara yang mungkin daripada parpol (parpol cenderung lebih sebagai
event organizer daripada sebagai peserta pemilu) karena jumlah suara yang
diperlukan untuk terpilih tidak terlalu besar (tidak perlu mencapai BPP).
Karena itu, pemilihan umum anggota DPR cenderung lebih menjadi arena
persaingan antarcalon dari partai yang sama di dapil yang sama daripada
persaingan antarpartai.
(2) Pemilih lebih cenderung memberikan suara kepada seorang calon (yang
berarti memberikan suara kepada parpol yang mencalonkannya) daripada kepada
partai karena setiap calon telah melakukan pendekatan dari rumah ke rumah
dengan segala cara yang mungkin.
(3) Karena jumlah calon dari setiap partai sebanyak kursi yang diperebutkan
di setiap dapil dan setiap calon telah berupaya keras mendapatkan suara
dengan segala cara yang mungkin, dua hal akan terjadi sebagai akibatnya.
Peluang parpol mendapat kursi melewati ambang batas masuk DPR semakin besar.
Buktinya: jumlah parpol di DPR hasil Pemilu 2014 bertambah dari 9 menjadi 10
walau ambang batas masuk DPR sudah dinaikkan dari 2,5 menjadi 3,5 persen.
Keterpilihan sebagian besar anggota DPR bukan karena hasil keringat sendiri,
melainkan hasil kerja semua calon dari partai yang sama dari dapil sama.
Buktinya: hanya 10 dari 560 anggota DPR hasil Pileg 2014 yang perolehan
suaranya mencapai atau melewati BPP di setiap dapil.
Faktor penyebab kedua adalah karena pilpres dan pemilihan umum anggota
DPR diselenggarakan dalam waktu terpisah selang waktu tiga bulan
(non-concurrent). Apabila keduanya dipilih secara terpisah, rakyat memilih
anggota DPR tidak berdasarkan siapa calon presiden yang diajukan, tetapi
berdasarkan partai dan karakter calon dan memilih presiden bukan berdasarkan
partainya, melainkan karakter pribadi calon presiden tersebut sehingga
membuka kemungkinan kedua lembaga ini dipegang oleh partai yang berbeda.
Namun, apabila presiden dan anggota DPR dipilih secara bersamaan
(concurrent), partai atau koalisi partai yang mencapai mayoritas di DPR
kemungkinan besar partai atau koalisi partai pendukung presiden terpilih
karena rakyat cenderung memilih anggota DPR dari partai pendukung calon
presiden yang dipilih.
Apakah pemerintahan terbelah akan menyebabkan pemerintahan tak efektif dalam
mewujudkan kehendak rakyat pada khususnya dan tujuan negara pada umumnya?
Setelah mengalami empat perubahan pada awal reformasi, UUD 1945 menempatkan
DPR dan presiden dalam posisi setara. DPR memegang kekuasaan membentuk UU
tetapi setiap RUU dibahas DPR dan presiden untuk dapat persetujuan bersama.
Jika tak dapat persetujuan bersama, RUU tak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu. Artinya, berapa pun RUU yang diajukan DPR tak akan
jadi UU kalau tidak disetujui presiden.
Demikian pula sebaliknya, RUU yang diajukan presiden tidak akan menjadi
UU jika tidak disepakati bersama dengan DPR. Dalam hal kegentingan memaksa,
presiden memiliki kewenangan membuat peraturan pemerintah pengganti UU.
Namun, perppu itu harus dicabut jika DPR tidak memberi persetujuan dalam
persidangan yang berikut. Hanya presiden yang berwenang mengajukan RAPBN,
tetapi RAPBN ini tidak akan dapat menjadi APBN apabila tidak mendapat
persetujuan DPR. Singkat kata, tak akan ada UU dan APBN baru jika DPR yang
didominasi Koalisi Merah Putih dan presiden yang dipegang Koalisi Indonesia
Hebat tidak mencapai kesepakatan.
Bagaimana penentuan penyelenggara sejumlah lembaga, seperti Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank
Indonesia, TNI, Polri, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi,
dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia? Keanggotaan KY, pimpinan BI, Panglima
TNI, Kapolri, pimpinan KPK, serta keanggotaan KPU dan Komnas HAM diusulkan
presiden kepada DPR. Keanggotaan BPK ditentukan sepenuhnya oleh DPR,
sedangkan calon hakim agung dipilih DPR dari calon yang diajukan KY. Dari
sembilan hakim konstitusi, 3 orang ditentukan oleh presiden, 3 orang
ditentukan MA, dan 3 orang dipilih DPR. Singkat kata, penentuan penyelenggara
negara juga akan menjadi arena ”pertarungan” politik.
Apakah interaksi antara DPR yang didominasi Koalisi Merah Putih dan
presiden dan wakil presiden beserta kabinetnya yang sepenuhnya dikendalikan
Koalisi Indonesia Hebat akan menghasilkan pemerintahan yang efektif sesuai
dengan kehendak rakyat? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung dari model
pengambilan keputusan yang dianut kedua koalisi ini. Selama ini interaksi
antara DPR dan pemerintah dalam pengambilan keputusan cenderung menggunakan
tiga model: suara terbanyak, kompromi, atau bancakan (kolutif). Pengambilan
keputusan dengan bancakan berarti ’berbagi pasal, alokasi anggaran, dan
posisi penyelenggara lembaga negara’ antarpartai politik di DPR dan
pemerintah.
Model
pengambilan keputusan
Keputusan yang dicapai dalam bentuk kompromi berarti rumusan keputusan
atau kebijakan itu perpaduan pandangan dari sejumlah pihak yang disepakati
bersama. Pengambilan keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak jika model
bancakan dan kompromi tak memuaskan semua pihak. Dari ketiga model pembuatan
keputusan ini, bancakan atau promiscuous
power-sharing mengutip ungkapan yang diberikan Dan Slater, ilmuwan
politik Universitas Chicago, merupakan model pembuatan keputusan yang paling
sering digunakan. Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak merupakan
model yang paling jarang digunakan.
Karena DPR dan presiden memiliki kedudukan yang setara dalam bidang
legislasi dan anggaran, pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak
tidak mungkin diambil dalam pembahasan RUU dan RAPBN. Kalau presiden atau DPR
tidak sepakat, tidak akan ada UU atau APBN baru. Karena itu, kedua pihak
memiliki empat pilihan model pembuatan keputusan dalam legislasi dan
anggaran: dialog, kompromi, bancakan, atau salah satu atau keduanya menafikan
yang lain (memaksakan kehendak sendiri).
Pengambilan keputusan dengan dialog: pihak yang satu mengajukan
pandangan disertai argumentasi pendukung, sedangkan pihak lain mendengarkan
secara saksama untuk kemudian memberikan tanggapan; kemudian giliran yang
lain mengajukan pandangan disertai argumentasi pendukung, sedangkan yang lain
mendengarkan untuk kemudian memberikan tanggapan. Setiap pihak akan menimbang
setiap alternatif pandangan dan dengan hikmat kebijaksanaan akan memilih
alternatif atau mengajukan alternatif baru yang dipandang sebagai pilihan
terbaik untuk kepentingan bersama bangsa. Inilah yang disebut rule by reason untuk mewujudkan tujuan
negara berdasarkan konstitusi.
Pengambilan keputusan dalam politik seharusnya dengan dialog karena
politik berarti dialog untuk merumuskan dan mewujudkan kebaikan bersama
sesuai dengan UUD. Pilihan model lainnya yang juga masih memberi manfaat
kepada masyarakat umum tetapi dengan derajat yang lebih rendah daripada model
dialog adalah kompromi. Model bancakan hanya menguntungkan para elite partai,
sedangkan pemaksaan kehendak hanya akan menyebabkan pemerintahan lumpuh dan
jalan di tempat. Kedua model terakhir ini sama sekali tidak mempertimbangkan
suara rakyat yang konon diwakili.
Proses penentuan penyelenggara lembaga dan komisi negara di DPR dapat
dilakukan dengan suara terbanyak. Jika dilakukan dengan suara terbanyak, yang
terpilih akan sepenuhnya ditentukan Koalisi Merah Putih. Namun, kecuali untuk
keanggotaan BPK yang sepenuhnya ditentukan DPR, calon penyelenggara lembaga
dan komisi negara lain diajukan presiden dari hasil seleksi yang diajukan
panitia yang dibentuk oleh presiden. Apabila tim seleksi yang ditunjuk
presiden tidak hanya menguasai yang dikerjakan, tetapi juga independen, dan
apabila menggunakan metode seleksi tepat, niscaya para calon hasil seleksi
punya derajat pemenuhan persyaratan yang setara sehingga siapa pun yang
dipilih DPR akan menguntungkan bagi kemajuan bangsa.
Pengalaman negara lain mungkin perlu dikemukakan sebagai ilustrasi.
Pada masa kepemimpinan Reagan (1981-1987) dari Partai Republik, Senat
didominasi Partai Republik, tetapi DPR didominasi Partai Demokrat. Reagan
hampir tiap minggu menyampaikan pidato melalui radio untuk meminta dukungan
dari rakyat Amerika.
Salah satu pidatonya lebih kurang berisi imbauan berikut, ”Anda telah memilih saya sebagai presiden
karena Anda percaya pada alternatif kebijakan yang saya tawarkan untuk
memajukan Amerika. Namun, saya mengalami kesulitan meyakinkan Kongres untuk
menerima RUU dan Rencana Anggaran karena DPR didominasi oleh Partai Demokrat.
Saya memohon agar Anda mendesak wakil Anda di DPR agar menyetujui RUU dan
Rencana Anggaran yang saya usulkan untuk mewujudkan apa yang saya janjikan
kepada Anda dalam kampanye pemilu yang lalu.”
Berkat kemampuan Presiden Reagan sebagai komunikator, pesan yang
disampaikan direspons sebagian rakyat AS. Hampir semua anggota DPR menerima
surat atau telegram dari konstituen masing-masing yang isinya agar
memperhatikan proposal Reagan.
Beberapa hari kemudian, Ketua DPR Tip O’Neal dari Demokrat yang juga
bertindak sebagai pemimpin Demokrat menyampaikan pidato balasan: ”Yang mendapat mandat dari rakyat Amerika
Serikat bukan hanya Anda Tuan Presiden, melainkan juga kami semua Senator dan
anggota DPR dari Partai Demokrat. Seperti Anda, Presiden Reagan, kami dipilih
konstituen kami masing-masing juga karena rencana kebijakan yang kami
tawarkan untuk memajukan rakyat AS dipandang sesuai dengan kehendak mereka.
Karena itu, kami mengundang Gedung Putih dan pemimpin mayoritas di Senat dan
pemimpin minoritas di DPR dari Partai Republik untuk bersama-sama dengan para
pemimpin mayoritas DPR dan pemimpin minoritas di Senat dari Partai Demokrat
untuk membahas dan menyepakati yang terbaik bagi rakyat Amerika.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar