Desa
Hebat, Indonesia Hebat
Budiman Sudjatmiko ; Kader PDI-P;
Tim Skenario Bandung untuk Kebijakan Energi 2030
|
KOMPAS,
21 Oktober 2014
APAKAH lebih besar itu pasti lebih baik (bigger is better)? Pertanyaan ini akan menarik jika diajukan
kepada Jean Tirole, ekonom Perancis yang baru saja meraih Nobel Ekonomi 2014.
Tirole meneliti pasar dengan kompetisi tak sempurna. Pada kondisi ini, ada
satu atau beberapa perusahaan yang mendominasi pasar. Mereka memiliki
kekuatan pasar (market power) untuk
menaikkan harga sehingga dapat merugikan konsumen. Untuk itu diperlukan
regulasi spesifik terhadap perusahaan besar.
Momen Nobel Ekonomi 2014 ini membawa refleksi bagi kita untuk mempertanyakan
kembali adagium bigger is better. Tak lama berselang setelah pengumuman Nobel
Ekonomi 2014, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan dilantik. Rezim baru
ini membawa visinya untuk mendorong penguatan desa serta usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM). Visi ini seolah membawa pesan yang sejalan, yaitu
sejatinya small is beautiful.
”Jokowinomics”
Pergantian rezim bukanlah persoalan pergantian penguasa semata. Ia
sejatinya merupakan transformasi cara pandang. Perubahan ide-ide dalam
mengelola negara. Lalu apakah ide-ide baru dalam rezim ini? Lebih khusus lagi
adalah pertanyaan bagaimana pendekatan Jokowi dalam pembangunan sosio-ekonomi
(bolehlah kita sebut sebagai Jokowinomics)
akan dijalankan?
Fachry Ali di harian Kompas tanggal 14 Oktober 2014 menyebutkan, ”Jokowinomics pada dasarnya adalah program
pengeluaran besar-besaran (massive and expansive spending program)”. Mari
kita memeriksa lebih lanjut ungkapan tersebut.
Franklin Roosevelt, Ronald Reagan, dan Barack Obama sama-sama membuat
program pengeluaran besar, yang terukur melalui perbandingan belanja terhadap
produk domestik bruto. Lalu mana yang lebih dekat ke Jokowinomics? Rooseveltnomics,
Reaganomics, atau Obamanomics?
Walaupun sama-sama melakukan pengeluaran besar-besaran, karakter kebijakan
ketiganya sangat berbeda. Kebijakan Reagan cenderung bersifat neoliberal,
sementara Obama cenderung progresif. Kita tidak dapat menggunakan pengeluaran
sebagai pembeda.
Untuk mendefinisikan Jokowinomics, ada baiknya melihat kembali visi dan
misi kampanye Jokowi-JK. Dari dokumen tersebut akan terlihat Jokowinomics
sebagai ”upaya membangun kekuatan
ekonomi kolektif yang masif dan berjejaring”.
Jokowinomics adalah skema yang kompleks. Pada kesempatan ini penulis
akan coba membahas satu agenda dari sembilan agenda prioritas Jokowi-JK (Nawa
Cita). Pada butir ketiga Nawa Cita disebutkan: ”Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.
Tiga
karang
Tak ada gagasan yang tumbuh dalam ruangan hampa. Untuk memahami sebuah
ide, kita harus memahami konteks ketika gagasan itu dilahirkan. Demikian juga
dengan komitmen Jokowi-JK untuk memperkuat desa. Gagasan ini lahir dari
situasi aktual bangsa ini yang berhadapan dengan tiga karang besar, yang
tidak pernah dijumpai sebelumnya.
Tantangan pertama adalah kesenjangan ekonomi, yang diukur melalui
indeks gini. Badan Pusat Statistik menyebutkan, indeks gini Indonesia sejak
tahun 2011 telah menembus angka 0,41. Ini memecahkan rekor tahun 1978 (0,39).
Kesenjangan bukanlah hanya persoalan ekonomi, ia juga persoalan politik.
Sejumlah penelitian empiris mengonfirmasi hubungan dua arah antara
kesenjangan dan demokrasi. Tingkat kesenjangan tinggi akan merusak kualitas
demokrasi. Demikian juga sebaliknya.
Batu karang kedua adalah defisit perdagangan. Setelah 50 tahun
menikmati surplus perdagangan, Indonesia akhirnya jatuh ke dalam defisit.
Neraca perdagangan tahun 2012 dan 2013 mengalami defisit 1,63 miliar dollar
AS dan 4,08 miliar dollar AS. Sebelumnya, defisit terjadi tahun 1961 saat
pemerintah mengimpor banyak senjata untuk mempertahankan Irian Barat. Defisit
harus menjadi perhatian serius demi kesinambungan ekonomi dan politik bangsa
ini ke depan.
Tantangan ketiga adalah urbanisasi. Tahun 1980, sekitar 78 persen
penduduk Indonesia ada di perdesaan.
Saat ini situasinya berbeda. Tahun 2013 penduduk kota dan desa nyaris
berimbang, 50,15 persen penduduk Indonesia berada di desa dan 49,85 persen di
kota. Diperkirakan awal tahun 2015 akan tercipta rekor baru. Jumlah penduduk
kota akan melewati penduduk desa. Jika tren ini berlanjut, diperkirakan tahun
2045 sekitar 86 persen penduduk tinggal di kota.
Total luas wilayah kota hanya sekitar 3,5 persen dari luas wilayah
Indonesia. Jika urbanisasi tidak ditahan, pada 100 tahun kemerdekaan
Indonesia, 3,5 persen luas wilayah itu harus menampung 86 persen penduduk.
Permasalahan sosial di kota, seperti permukiman kumuh, kriminalitas,
kemacetan, dan polusi, dapat menjadi semakin buruk. Sementara itu, di desa
banyak potensi tidak tergarap.
Mendayung
di antara karang
Rezim baru ini harus mendayung perahu kebangsaan kita melewati tiga
batu karang besar tersebut. Untungnya ada celah sempit di sana. Jika kita
mampu menembus celah ini, ketiga batu karang tersebut dapat dilewati
bersamaan.
Celah tersebut adalah dengan melaksanakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa secara konsisten. Ada enam semangat utama dalam UU ini,
yaitu penghargaan atas keberagaman, payung hukum pemerintahan desa, memberi
anggaran langsung ke desa, participatory budgeting, membuka kesempatan
berusaha melalui badan usaha milik desa, dan mendorong proses transfer
teknologi.
Namun, perlu diingat, ada arus liar di celah sempit itu. Penggelontoran
dana tanpa disertai sistem pengawasan yang baik dapat menjadi kontra
produktif. Untuk itu UU Desa telah dibekali dengan ”senjata” khusus, yaitu
melibatkan partisipasi masyarakat (Pasal 82) dan pembangunan sistem informasi
(Pasal 86).
Upaya mendorong anggaran dan teknologi ke desa diharapkan akan menciptakan
pertumbuhan ekonomi di desa. Hal ini pada akhirnya akan menurunkan indeks
gini, mengurangi defisit perdagangan, dan menghambat urbanisasi secara
simultan.
Salah satu implementasi nyata visi ini adalah di bidang energi. Tahun
2025 diperkirakan Indonesia harus mengimpor 1,5 juta barrel bahan bakar
minyak per hari dengan harga diperkirakan 200 dollar AS per barrel.
Jawaban atas masalah ini adalah ”desa mandiri energi”, yaitu dengan
membangun industri kecil bioenergi secara masif di desa-desa. Pada skenario
pesimistis saja, hanya mampu mengurangi impor 10 persen pada 2025, dampak
yang diberikan sudah sangat signifikan. Program ini diperkirakan akan dapat
mengurangi indeks gini 1-3 poin, memperkuat neraca perdagangan 10,8 miliar
dollar AS per tahun, mengurangi laju urbanisasi 12-33 persen, dan menambah
pertumbuhan ekonomi 0,3-0,5 persen.
Tantangan aktual bangsa ini saat ini tak
membutuhkan langkah besar dari seorang raksasa. Yang lebih dibutuhkan adalah
langkah kecil dari banyak orang yang berjejaring dan bekerja sama, yaitu
langkah-langkah kecil dari pelosok desa di penjuru negeri. Sebab, sejatinya ”Desa Hebat” melalui Jokowinomics adalah jembatan emas
menuju ”Indonesia Hebat”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar