Minggu, 19 Oktober 2014

Abainya Negara terhadap Anak

                                Abainya Negara terhadap Anak

Anna Amalia FN  ;   Dosen Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya;
Pengurus LKK (Lembaga Kemaslahatan Keluarga) PW NU Jatim
JAWA POS,  17 Oktober 2014

                                                                                                                       


KASUS kekerasan anak kembali menggemparkan jagat pendidikan kita. Adegan kekerasan yang dilakukan anak SD di Bukittinggi, Sumatera Barat, telah tersebar luas di media sosial setelah diunggah komunitas Vines Indonesia (Minggu, 12/10/2014). Kita semua terperangah menyaksikannya, sudah sedemikian gawatkah perilaku anak-anak kita?

Kasus-kasus kekerasan terhadap anak sejatinya tidak hanya sekali ini terjadi. Jumlahnya sudah berada pada level yang memprihatinkan. Lihat saja data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Tercatat, dalam semester I pada 2013 atau mulai Januari sampai akhir Juni 2013, terjadi 1.032 kasus kekerasan terhadap anak.

Dari jumlah itu, kekerasan fisik tercatat ada 294 kasus atau 28 persen, kekerasan psikis 203 kasus (20 persen), dan kekerasan seksual 535 kasus (52 persen). Angka kekerasan yang mencapai ribuan itu hanya berdasar data yang dilaporkan. Sesungguhnya, kasus-kasus yang tidak dilaporkan bisa mencapai tiga kali lipatnya dalam masyarakat.

Ironisnya, kekerasan-kerasan tersebut sering terjadi dalam ruang yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk anak. Dilakukan orang-orang yang dekat dengan anak. Terbukti, kekerasan anak SD di Bukittinggi terjadi di sebuah musala sekolah dasar, oleh teman-teman sekolahnya lagi.

Terlepas dari banyaknya kasus kekerasan terhadap anak, sejatinya amanat konstitusi sudah jelas, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh warganya, termasuk anak-anak. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pengasuhan yang layak bagi anak-anak. Memberikan ruang dan atmosfer yang nyaman bagi tumbuh kembang anak. Baik fisik maupun psikologis. Sebab, tindak kekerasan pada anak, apa pun bentuknya, akan mengganggu perkembangan fisik, mental, moral, dan spiritual anak.

Anak-anak akan tumbuh secara tidak normal. Mereka akan mengalami trauma, depresi, kehilangan kepercayaan diri, maupun kerusakan organ reproduksi jika kekerasan seksual yang diterima. Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa negara lalai akan amanat konstitusi. Kebijakan-kebijakan pemerintah belum sepenuhnya menyentuh akar masalah. Sebab, anak hanya dianggap sebagai ladang basah untuk proyek dalam berbagai sektor. Belum sebagai entitas penting yang tidak sekadar menjadi subbagian.

Padahal, sebenarnya, jika mengacu pada pasal 3 Konvensi Hak Anak (KHA), ”Kepentingan anak harus menjadi pertimbangan utama”. Bukan sebagai latar belakang dalam proses pembangunan, yaitu kesejahteraan anak akan naik bila pembangunan berjalan dengan baik. Anak juga tidak hanya menjadi indikator pembangunan, seperti angka kematian bayi, angka kematian balita dan anak, serta derajat partisipasi dalam pendidikan.

Seharusnya lebih dari itu. Anak adalah sosok unik yang membutuhkan kehidupan yang damai. Sistem yang kondusif. Anak-anak memiliki fantasi dan idealisasi yang bertumbuh seiring dengan lingkungan di mana dia berada. Sehingga negara harus memberikan porsi yang besar terhadap anak. Sama besar dengan porsi terhadap pemberantasan korupsi atau terorisme misalnya.

Perkembangan anak bukan lagi masalah privat keluarga, namun sudah menjadi urusan besar bagi negara. Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan besar-besaran agar semua elemen bangsa punya tanggung jawab untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi tumbuh kembang anak, baik fisik, psikis, moral, maupun spiritual.

Seharusnya kita tidak lagi mengarahkan perhatian penuh kita pada bagaimana ”mereparasi anak” yang menjadi korban kekerasan. Namun lebih fokus pada bagaimana membuat dan menumbuhkan anak menjadi pribadi yang utuh. Pribadi yang nantinya mampu menjadi penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang.

Kebiasaan heboh ketika ada kasus-kasus kekerasan pada anak harus dihentikan. Diganti dengan perhatian besar-besaran pada bagaimana memberikan role model yang baik bagi anak. Pemerintah memberikan contoh berperilaku amanah bagi anak-anak. Penegak hukum menunjukkan bagaimana bersikap adil kepada anak-anak. Para legislator memberikan pembelajaran arti pengabdian tulus kepada anak. Media pun demikian. Ekspose besar-besaran hal-hal yang positif tentang negeri ini. Bukan malah sebaliknya. Berita korupsi para pejabat, bencana, kecelakaan, dan berita-berita negatif lainnya. Anak akan belajar bahwa mencuri, berbohong, berkhianat, dan penderitaan adalah bagian dari kehidupannya.

Dan itulah yang akan menjadi bahan mentah bagi perkembangannya kelak. Sebab, apa yang dilihat, dibaca, didengar, dan dirasakan anak-anak menjadi modal bagi terbentuknya kepribadian mereka kelak.

Berkaca dari pemerintah Jerman, anak-anak di sana mendapat perhatian yang besar dari negara. Suara dan pandangan anak-anak tentang masa depan negara dan dunia sangat diperhatikan. Pemerintahnya menyadari bahwa anak-anak akan menjadi pemegang estafet kebesaran Jerman di masa mendatang.

Oleh karena itu, banyak agenda pemerintah yang melibatkan dan menjadikan anak sebagai episentrum utama. Persoalan tumbuh kembang anak tidak lagi menjadi urusan privat rumah tangga, namun sudah masuk ranah publik yang sama pentingnya dengan urusan negara yang lain.

Sehingga pemerintah Jerman melakukan kampanye besar-besaran dan menyeluruh agar semua pihak berpartisipasi dalam memberikan ruang yang kondusif bagi tumbuh kembang anak, baik fisik, psikis, maupun moral. Tak ada satu pun pihak yang abai terhadap persoalan tumbuh kembang ini, mulai lembaga pemerintahan, parlemen, maupun yudikatifnya.

Negara kita pun seharusnya demikian. Saat ini sudah menjadi kebutuhan mendesak mengampanyekan dan mem-blow up besar-besaran pentingnya menciptakan suasana yang nyaman, aman, dan damai bagi anak-anak. Sebab, kita ingin anak-anak generasi mendatang menjadi anak-anak yang bersemangat dan optimistis dalam memandang bangsanya. Anak-anak yang penuh karya. Dan dengan percaya diri meletakkan Indonesia di dada dengan berkata, ”Aku anak Indonesia dan aku bangga.” Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar