Abainya
Negara terhadap Anak
Anna Amalia FN ; Dosen Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya;
Pengurus LKK (Lembaga Kemaslahatan Keluarga) PW NU Jatim
|
JAWA
POS, 17 Oktober 2014
KASUS kekerasan anak kembali menggemparkan jagat pendidikan kita.
Adegan kekerasan yang dilakukan anak SD di Bukittinggi, Sumatera Barat, telah
tersebar luas di media sosial setelah diunggah komunitas Vines Indonesia
(Minggu, 12/10/2014). Kita semua terperangah menyaksikannya, sudah sedemikian
gawatkah perilaku anak-anak kita?
Kasus-kasus kekerasan terhadap anak sejatinya tidak hanya sekali ini
terjadi. Jumlahnya sudah berada pada level yang memprihatinkan. Lihat saja
data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Tercatat, dalam
semester I pada 2013 atau mulai Januari sampai akhir Juni 2013, terjadi 1.032
kasus kekerasan terhadap anak.
Dari jumlah itu, kekerasan fisik tercatat ada 294 kasus atau 28 persen,
kekerasan psikis 203 kasus (20 persen), dan kekerasan seksual 535 kasus (52
persen). Angka kekerasan yang mencapai ribuan itu hanya berdasar data yang
dilaporkan. Sesungguhnya, kasus-kasus yang tidak dilaporkan bisa mencapai
tiga kali lipatnya dalam masyarakat.
Ironisnya, kekerasan-kerasan tersebut sering terjadi dalam ruang yang
seharusnya menjadi tempat yang aman untuk anak. Dilakukan orang-orang yang
dekat dengan anak. Terbukti, kekerasan anak SD di Bukittinggi terjadi di
sebuah musala sekolah dasar, oleh teman-teman sekolahnya lagi.
Terlepas dari banyaknya kasus kekerasan terhadap anak, sejatinya amanat
konstitusi sudah jelas, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi seluruh
warganya, termasuk anak-anak. Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan
pengasuhan yang layak bagi anak-anak. Memberikan ruang dan atmosfer yang
nyaman bagi tumbuh kembang anak. Baik fisik maupun psikologis. Sebab, tindak
kekerasan pada anak, apa pun bentuknya, akan mengganggu perkembangan fisik,
mental, moral, dan spiritual anak.
Anak-anak akan tumbuh secara tidak normal. Mereka akan mengalami
trauma, depresi, kehilangan kepercayaan diri, maupun kerusakan organ
reproduksi jika kekerasan seksual yang diterima. Banyaknya kasus kekerasan
terhadap anak menunjukkan bahwa negara lalai akan amanat konstitusi.
Kebijakan-kebijakan pemerintah belum sepenuhnya menyentuh akar masalah.
Sebab, anak hanya dianggap sebagai ladang basah untuk proyek dalam berbagai
sektor. Belum sebagai entitas penting yang tidak sekadar menjadi subbagian.
Padahal, sebenarnya, jika mengacu pada pasal 3 Konvensi Hak Anak (KHA),
”Kepentingan anak harus menjadi pertimbangan utama”. Bukan sebagai latar
belakang dalam proses pembangunan, yaitu kesejahteraan anak akan naik bila
pembangunan berjalan dengan baik. Anak juga tidak hanya menjadi indikator pembangunan,
seperti angka kematian bayi, angka kematian balita dan anak, serta derajat
partisipasi dalam pendidikan.
Seharusnya lebih dari itu. Anak adalah sosok unik yang membutuhkan
kehidupan yang damai. Sistem yang kondusif. Anak-anak memiliki fantasi dan idealisasi
yang bertumbuh seiring dengan lingkungan di mana dia berada. Sehingga negara
harus memberikan porsi yang besar terhadap anak. Sama besar dengan porsi
terhadap pemberantasan korupsi atau terorisme misalnya.
Perkembangan anak bukan lagi masalah privat keluarga, namun sudah
menjadi urusan besar bagi negara. Oleh karena itu, dibutuhkan gerakan
besar-besaran agar semua elemen bangsa punya tanggung jawab untuk menciptakan
suasana yang nyaman bagi tumbuh kembang anak, baik fisik, psikis, moral,
maupun spiritual.
Seharusnya kita tidak lagi mengarahkan perhatian penuh kita pada
bagaimana ”mereparasi anak” yang menjadi korban kekerasan. Namun lebih fokus
pada bagaimana membuat dan menumbuhkan anak menjadi pribadi yang utuh.
Pribadi yang nantinya mampu menjadi penyangga kehidupan berbangsa dan
bernegara di masa mendatang.
Kebiasaan heboh ketika ada kasus-kasus kekerasan pada anak harus
dihentikan. Diganti dengan perhatian besar-besaran pada bagaimana memberikan
role model yang baik bagi anak. Pemerintah memberikan contoh berperilaku
amanah bagi anak-anak. Penegak hukum menunjukkan bagaimana bersikap adil
kepada anak-anak. Para legislator memberikan pembelajaran arti pengabdian
tulus kepada anak. Media pun demikian. Ekspose besar-besaran hal-hal yang positif
tentang negeri ini. Bukan malah sebaliknya. Berita korupsi para pejabat,
bencana, kecelakaan, dan berita-berita negatif lainnya. Anak akan belajar
bahwa mencuri, berbohong, berkhianat, dan penderitaan adalah bagian dari
kehidupannya.
Dan itulah yang akan menjadi bahan mentah bagi perkembangannya kelak.
Sebab, apa yang dilihat, dibaca, didengar, dan dirasakan anak-anak menjadi
modal bagi terbentuknya kepribadian mereka kelak.
Berkaca dari pemerintah Jerman, anak-anak di sana mendapat perhatian
yang besar dari negara. Suara dan pandangan anak-anak tentang masa depan
negara dan dunia sangat diperhatikan. Pemerintahnya menyadari bahwa anak-anak
akan menjadi pemegang estafet kebesaran Jerman di masa mendatang.
Oleh karena itu, banyak agenda pemerintah yang melibatkan dan
menjadikan anak sebagai episentrum utama. Persoalan tumbuh kembang anak tidak
lagi menjadi urusan privat rumah tangga, namun sudah masuk ranah publik yang
sama pentingnya dengan urusan negara yang lain.
Sehingga pemerintah Jerman melakukan kampanye besar-besaran dan
menyeluruh agar semua pihak berpartisipasi dalam memberikan ruang yang
kondusif bagi tumbuh kembang anak, baik fisik, psikis, maupun moral. Tak ada
satu pun pihak yang abai terhadap persoalan tumbuh kembang ini, mulai lembaga
pemerintahan, parlemen, maupun yudikatifnya.
Negara kita pun seharusnya demikian. Saat ini sudah menjadi kebutuhan
mendesak mengampanyekan dan mem-blow up besar-besaran pentingnya menciptakan
suasana yang nyaman, aman, dan damai bagi anak-anak. Sebab, kita ingin
anak-anak generasi mendatang menjadi anak-anak yang bersemangat dan
optimistis dalam memandang bangsanya. Anak-anak yang penuh karya. Dan dengan
percaya diri meletakkan Indonesia di dada dengan berkata, ”Aku anak Indonesia
dan aku bangga.” Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar