Minggu, 19 Oktober 2014

Pancasila dan Pertimbangan Kebudayaan

                 Pancasila dan Pertimbangan Kebudayaan

Agus Hernawan  ;   Pekerja Kebudayaan
KOMPAS,  16 Oktober 2014

                                                                                                                       


HARI ini, persepsi publik atas Pancasila lebih mirip barang antik. Ia telah dikosongkan dari sublimitas ideologi. Kehadirannya bukan lagi supra-personal dengan nilai-nilai utama, melainkan produk yang mencari kelayakan dalam kepentingan politik sesaat. Lepas dari itu, ia ketidakbermaknaan yang tersebar. Bahkan, ia mungkin dianggap kayu rongsokan.

Ketidakbermaknaan adalah bahasa lain dari kegagalan membumikan dan membunyikan Pancasila di kehidupan nyata. Nirkoneksi antara nilai-nilai utama dengan ekspresi kolektif jelas bukan karena nilai-nilai utama itu tidak lagi berterima di situasi kebangsaan saat ini. Masalah ada di kualitas membumikan dan kuantitas membunyikan. Apa yang dilakukan selama ini persis ”penjaga toko barang antik”.

Sebagai kebudayaan

Pancasila adalah holistisasi kebudayaan. Ia hadir, baik di covert culture (ruang terdalam kebudayaan) maupun overt culture (ruang terluar kebudayaan). Di covert culture, Pancasila menghimpun nilai-nilai utama yang mengandung keberterimaan di ruang hidup kebangsaan dan daya adaptasi dalam struktur sejarah.

Di overt culture, Pancasila (seharusnya) menjadi aktualisasi nilai-nilai utama. Ia hadir dalam bentuk ekspresi dan identitas budaya, seperti adat-istiadat dan pola tutur-tindak budaya lainnya, juga mendasari sistem ekonomi, sosial, dan politik kita.

Nirkoneksi antara nilai-nilai utama di covert culture dengan ekspresi dan manifes regulasi di overt culture terjadi akibat reproduksi bypass untuk memenuhi tujuan politik sesaat. Institusi kesadaran dan alat produksi kesadaran tidak digerakkan secara bersama. Akibatnya, kualitas kesadaran publik, kemudian mentalitas publik, terdorong pada pengingkaran. Akhirnya, nilai-nilai utama Pancasila cuma jadi niskala.

Kesadaran negatif

Kualitas kesadaran publik terberai dalam tiga kelompok kesadaran negatif, yakni mistis, naif, dan fanatik. Kesadaran mistis melahirkan sikap mental fatalistis dan rasa ketidakberdayaan, berkompromi dengan kenyataan hidup yang buruk sebagai ”nasib”. Sikap mental ini menciptakan masyarakat yang pasif, mudah menyerah tapi gampang tersulut. Konsekuensi luas ia mematikan daya juang, inisiatif, dan kreativitas dalam keadaban publik.

Kesadaran naif ialah ketika segmen sosial memilih jadi ”obyek” yang lebih aktif. Mereka tidak lagi pasif, tapi beradaptasi dengan nilai, peran, dan tatanan sosial yang buruk, mengambil bagian di dalamnya, dan mendapatkan keuntungan. Kesadaran naif melahirkan mentalitas aji mumpung dan berbagai praktik penyalahgunaan wewenang.

Fanatisme terjadi ketika frustrasi sosial berubah menjadi ”subyek” dalam kerumunan dengan klaim kebenaran sempit. Fanatisme melahirkan sikap mental yang radikal dan bias. Ia mendorong penolakan paripurna antarkelompok sosial. Masing-masing saling memberi stigma, antikritik, dan cenderung ke arah fasisme.

Ketiga kesadaran di atas menyebabkan ruang hidup kebangsaan didominasi tiga mentalitas negatif. Pada overt culture masyarakat agraris dan perkebunan, misalnya, budaya klenik dan tahyulisme, budaya kepatuhan yang seketika bisa berubah amuk merunyak dan menciptakan masyarakat yang diam tapi seperti sekam yang mudah terbakar.

Di lingkungan birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat politik kita, budaya korupsi, sogok, gratifikasi, termasuk budaya transaksi politik, tumbuh seperti alang-alang di tengah padang. Sementara kaum muda terjebak budaya kekerasan, intoleransi menggejala di kota dan desa diikuti fundamentalisme keagamaan.

Revolusi mental

Revolusi mental merupakan strategi kebudayaan. Ia bergerak tidak di covert culture yang berarti revolusi guna meruntuhkan bangunan supra-personal yang sudah ada dan di atas reruntuhan itu dibangun yang baru. Ia juga tidak bergerak di overt culture yang membuatnya jadi kekuasaan penuh sensor: apa yang boleh dan apa yang tidak seperti di masa Orba. Tetapi, ia mewujud sebagai gerakan emansipasi kesadaran publik.

Sebagai gerakan, ia tentu tidak bisa simsalabim-abrakadabra, tetapi berkecambah ke banyak institusi kesadaran dengan emansipasi kesadaran publik menjadi tujuan bersama. Tujuan ini merupakan pijakan bagi desain strategi bagaimana mentransformasikan ketiga kesadaran negatif di atas ke level kesadaran warga negara.

Kesadaran warga negara bukan kloning kesadaran elite yang disuntikkan ke publik sebagaimana peristiwa menghafal butir-butir P4 di masa lalu. Ia adalah satu proses belajar dan bertindak untuk menghargai setiap ikhtiar publik. Subyektivitas publik didorong bertumpu pada observasi dan penalaran kritis, self-critical, kadar fleksibilitas dalam menilai, dan kepercayaan diri (self-confident) yang tumbuh di tengah relasi sosial (power to dan power with). Dari sini, partisipasi publik baru akan lahir, mendasari aksi-aksi positif membangun masyarakat yang lebih demokratis.

Sebagai gerakan, substansi revolusi mental, yang juga jadi ukuran keberhasilannya, terletak pada kesanggupan memobilisasi elemen-elemen penting di masyarakat. Publik harus ditempatkan sebagai pusat dan nyawa gerakan. Mereka mencakup keragaman polar yang membulat selaku kolektif, berkumpul dan menyusun beberapa tujuan spesifik melalui program (mungkin) dengan sifat sentralis diimbangi proposal aksi yang bersifat desentralis.

Namun, tanpa upaya menjangkau keterlibatan publik yang luas, tanpa upaya aktivasi modalitas sosial ke dalam koneksi solidaritas, suatu gerakan akan masuk kotak elitisme. Karena itu, revolusi mental harus jadi daya gerak bersama. Selamat datang Indonesia baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar