Minggu, 19 Oktober 2014

Kelembagaan Baru Reforma Agraria

                         Kelembagaan Baru Reforma Agraria

Noer Fauzi Rachman  ;   Direktur Eksekutif Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-studi Agraria Indonesia;
Dosen Politik dan Gerakan Agraria, Program S-2 Sosiologi Pedesaan, IPB
KOMPAS,  16 Oktober 2014

                                                                                                                       


DALAM buku Age of Extremes, The Short Twentieth Century, 1914–1991, sejarawan Eric Hobsbawm (1994) menulis bahwa ”perubahan yang paling dramatis paruh abad ini dan membedakan kita dengan masa lampau adalah matinya kaum petani (the death of the peasantry)”. Petani adalah kelompok rakyat di pedesaan yang hidup dari kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan dalam ragam ekosistem, termasuk persawahan, perladangan, pengumpulan hasil hutan/laut, penggembalaan, dengan unit utama kepemilikan dan produksi adalah keluarga.

Namun, modernisasi yang diawali dengan munculnya kompleks-kompleks industri telah merelokasi para petani menjadi pekerja industri seiring dengan konversi lahan pertanian, yang selanjutnya memerosotkan tingkat kesejahteraan petani.

Deklarasi ”kematian petani” Hobsbawm di atas menjadi rujukan utama pelajaran perubahan agraria untuk menunjukkan nasib petani di tengah berbagai arus yang menghilangkan syarat-syarat keberlangsungan hidup mereka di perdesaan. Indikator makro ”kematian petani” adalah urbanisasi dengan sisi lain berupa menurunnya jumlah penduduk perdesaan. Sekarang tercatat ada 1,2 miliar petani; berarti tinggal 40 persen dari umat manusia yang memiliki rumah tangga pertanian rakyat (small-farm household). Penduduk di perdesaan menjadi minoritas (Philip McMichael 2012 ”Depeasantization” dalam The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Globalization).

Dalam peta teori perubahan agraria, deklarasi itu adalah bagian dari ”tesis pemusnahan” (disappearances thesis). Di perdesaan, para petani berubah menjadi pekerja tanpa tanah, menjadi bagian dari tenaga kerja atau setengah pengangguran di kota, sementara desa dan tanah dikuasai pengusaha. Tesis itu dihadapkan dengan ”tesis permanen” (permanence thesis), yang meyakini bahwa hukum-hukum masyarakat petani berbeda dengan badan-badan usaha kapitalis sebagaimana Karl Marx dalam Das Kapital (1867). Menurut Marx, sistem ekonomi yang didominasi cara produksi kapitalis akan memusnahkan cara produksi pertanian rakyat dan kepemilikan tanah rumah tangga petani. Namun, pada tahap tertentu cara produksi pertanian rakyat akan secara struktural dilestarikan sebagai tempat orang miskin (Global Depeasantization 1945-1990, Farshad Araghi 1995).

Bagaimana di Indonesia?

Kecenderungan sama

Apa yang disebut depeasantization juga melanda perdesaan kita. Tahun 2013, Indonesia memiliki lebih dari 28 juta rumah tangga petani (RTP) dengan rata-rata pemilikan lahan 0,36 hektar. Ada 6,1 juta RTP di Pulau Jawa tidak memiliki lahan pertanian dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Secara agregat, saat ini 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani.

Laju penyusutan lahan pertanian mencapai angka 1,935 juta ha selama 15 tahun, atau 129.000 ha/tahun. Setiap hari, lebih dari 353 ha lahan pertanian berubah menjadi non-pertanian (14,7 ha per jam, 0,25 ha per menit). Setiap hari, 1.408 rumah tangga (59 rumah tangga tani per jam, atau 1 menit 1 rumah tangga tani) terpaksa meninggalkan posisi kelas dan pekerjaannya.

Sensus Pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga tani di Indonesia mencapai 26,13 juta, berarti selama sepuluh tahun terjadi penurunan 5,07 juta rumah tangga pertanian, dibanding hasil Sensus Pertanian 2003. Luas lahan pertanian keluarga semakin sempit dan arus alih profesi/migrasi petani ke sektor lain makin besar. Pada 2003-2013 terjadi penurunan 5,04 juta petani dengan lahan di bawah 0,1 ha. Total luas lahan yang dikuasai petani menyusut dari 10,5 persen menjadi 4,9 persen. Jumlah petani kecil dengan luasan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar dan petani tak bertanah 56 persen (Indonesia) dan 78 persen (Jawa). Tidak heran, petani merupakan kelompok dengan pendapatan terendah di Indonesia, rata-rata Rp 1,03 juta/bulan (BPS 2014).

Muncullah Reforma Agraria, dengan contoh klasik Meksiko yang merdeka tahun 1910. Protes agraria dan pemberontakan petani merupakan pemicu revolusi nasional untuk kemerdekaan Meksiko. Dua periode, 1910-1934 dan 1934-1940, dicatat sebagai periode land reform yang menghabisi penguasaan elite kolonial atas tanah dalam bentuk perkebunan keluarga (hacienda).

Pertama adalah kebijakan reforma agraria di bawah Presiden Álvaro Obregón Salido (1910-1934), yang berhasil meredistribusi lebih dari 53.000 km2 untuk 500.000 keluarga penerima di 1.500-an kelompok penerima tanah ejido. Tahun 1930 tanah-tanah ejido 6,3 persen dari kepemilikan nasional.

Selanjutnya, kedua, adalah kebijakan reforma agraria di bawah Presiden Lázaro Cárdenas del Río (1934-1940), yang berhasil meredistribusi 180.000 km2 (16.000 km2 berasal dari sitaan tanah pertanian dan perkebunan milik orang Amerika) untuk lebih dari 12.000 kelompok penerima. Produktivitas petani (1939-1941) melonjak tajam, paling tinggi setelah revolusi 1910.

Berdasarkan pengalaman Meksiko dan sejumlah negara pasca kolonial lain, reforma agraria bagaikan ”operasi bedah yang menghilangkan sel tumor parasit” dengan cara memberi rakyat kepastian hak atas tanah, perbaikan tata guna tanah, dan untuk memacu gairah produksi yang pada gilirannya meningkatkan kemakmuran rakyat.

Reforma agraria bukan hanya land reform yang dimulai dengan redistribusi tanah. Secara teori, dalam buku Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong, Michael Lipton (2009:328) merumuskan land reform sebagai ”perundang-undangan yang diniatkan dan benar-benar dijalankan untuk meredistribusi kepemilikan dan dijalankan untuk memberi manfaat kepada kaum miskin.

Reforma agraria Indonesia

Batu ujian pertama adalah mengurus konflik agraria struktural yang kronis di seantero Nusantara, umumnya disebabkan oleh keputusan pejabat publik (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertambangan dan Energi) yang memberi lisensi (izin HPH/HPHTI, HGU, kontrak karya pertambangan, dan lainnya), serta menjadi alas hukum perusahaan pemegang lisensi untuk menyingkirkan rakyat dari tanah, sumber daya alam, dan wilayah hidupnya.

Lebih dari itu, secara makro, reforma agraria dikerangkakan untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi. Indeks gini yang merupakan alat ukur kesenjangan pendapatan meningkat tajam hanya dalam 5 tahun: dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2013). Jika indeks gini sudah mencapai 4,5, rakyat miskin akan sangat rentan dan mudah sekali tersulut.

Idealnya reforma agraria merupakan operasi yang digerakkan oleh pemerintah (melalui legislasi, birokrasi, program aksi) untuk menjalankan Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi, ”Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Apakah artinya dalam konteks sekarang? Reforma agraria merupakan janji Jokowi-JK, sebagaimana termuat dalam dokumen Visi Misi dan Program Aksi Jokowi-JK. Penanda atas komitmen itu perlu tecermin dalam arsitektur kabinet Jokowi-JK, yang dapat berbentuk badan khusus di bawah presiden untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria, selain kementerian khusus untuk reforma agraria.

Siapa pun yang menduduki jabatan tinggi dalam kelembagaan ini perlu mempelajari eksistensi dari gagasan dan praktik Reforma Agraria melalui gerakan sosial yang sejak 1995 disemai dan dikawal Konsorsium Pembaruan Agraria.

Awal Oktober 2014, koalisi dari 37 organisasi masyarakat sipil menyelenggarakan Konferensi Nasional Reforma Agraria yang menghasilkan ”Buku Putih Reforma Agraria”, yang dipertimbangkan secara serius.

Sebagai penanda baru, Jokowi-JK perlu mendeklarasikan bahwa kabinetnya akan sepenuhnya menjalankan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam TAP MPR ini disediakan ”arah kebijakan” Pembaruan Agraria, yang pada intinya adalah identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, menjalankan redistribusi tanah (land reform) dengan memprioritaskan kepemilikan untuk petani miskin, menyelesaikan konflik-konflik agraria, serta menyiapkan pembiayaan dan kelembagaan yang memadai.

Tiga masalah kronis yang harus diselesaikan di Indonesia adalah ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, kerusakan lingkungan, serta konflik-konflik agraria yang kronis dan meluas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar