Pancasila
: Antisipasi Negara Gagal
Tjahjono Widarmanto ; Esais, Pemerhati Budaya, Guru SMAN 2 Ngawi,
Dosen,
dan Mahasiswa S-3 Unesa
|
JAWAPOS,
01 Oktober 2014
SEORANG pengamat masalah-masalah global dan sosiolog kontemporer
Francis Fukuyama menengarai bahwa ancaman terbesar abad ini bagi seluruh
bangsa di belahan mana pun adalah ’’negara gagal’’. Negara gagal adalah
negara yang menuju kebangkrutan yang menyandang tanda-tanda kemiskinan,
pengangguran, konflik antarkelompok, serta merebaknya aksi teror dan
ketidaktenteraman.
Melihat perkembangan situasi dan kondisi akhir-akhir ini, potensi
Indonesia menjadi ’’negara gagal’’ masih cukup besar. Kehidupan bernegara dan
berbangsa kita masih saja diwarnai permasalahan-permasalahan kemiskinan,
kenaikan harga bahan bakar minyak, perilaku korupsi dan kekerasan, serta
teror dan konflik antargolongan.
Potensi ’’negara gagal’’ ini tentu saja harus dilihat sebagai sebuah
realitas yang tidak boleh dinafikan, namun harus dihadapi dengan
meletakkannya dengan berbagai alternatif kritis. Sikap kritis menjadi faktor
penting agar bisa jernih melihat fakta bahwa telah terjadi berbagai krisis
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti krisis identitas, krisis
kepercayaan, krisis hati nurani, krisis politik, dan krisis intelektual.
Semua krisis tersebut sebenarnya bermuara pada krisis ideologi.
Selama ini, kita berada dalam sebuah kegamangan dan ketidakyakinan
terhadap ideologi. Ideologi menjadi sesuatu yang terpinggirkan, baik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya, dengan kembali kepada penghayatan ideologi bangsa Indonesia,
yaitu Pancasila, kembali menempatkan ideologi Pancasila di atas segala aktivitas
kehidupan berbangsa, potensi ’’negara gagal’’ bisa diantisipasi.
Ideologi dimaknai Cornelis Castoriadis (1975) sebagai sebuah imajinasi
sosial. Imajinasi merupakan sesuatu yang memberikan kemungkinan-kemungkinan
terhadap kehadiran beberapa objek dan image. Pada ranah sosio-historis,
ideologi membangun sebuah imajinasi yang memperhitungkan sebuah orientasi
(tujuan) institusi sosial, pembentukan motif-motif, pembentukan
kebutuhan-kebutuhan, pengadaan simbol-simbol, tradisi, dan mitos. Lebih
tajam, Claude Lefort (1978) menegaskan bahwa ideologi harus membuat variasi
dan menempatkan makna acuannya pada masa lalu dan masa depan, sains, moral,
serta etika dalam sebuah tatanan yang utuh untuk membenarkan upayanya
mengunci setiap potensi perpecahan dan menjustifikasi tatanan yang mapan.
Penerimaan ideologi Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara
merupakan sejarah yang panjang. Penerimaannya merupakan pergulatan yang
dialektis terhadap berbagai pemikiran yang merupakan proses ideologis yang
dinamis. Diterimanya ideologi Pancasila, imajinasi mengenai bangunan
kenegaraan telah menemukan kristalisasinya. Kelima sila Pancasila merupakan
rumusan nilai-nilai sekaligus cita-cita yang hidup dan dicita-citakan
masyarakat Indonesia.
Pancasila merupakan rumusan konkret dalam konteks obsesi bersama untuk
membentuk sebuah negara kesatuan yang ideal, dipercaya, dan harus selalu
diperjuangkan. Pancasila merangkai kondisi sosial historis, kultur, bahkan
mitos ke dalam sebuah jembatan yang akan membawa Indonesia menuju kejayaan.
Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa dan negara, melalui sila-silanya,
mengarahkan semua elemen masyarakat pada satu gerak.
Sebagai sebuah ideologi, Pancasila harus dibaca dengan dinamika
pemikiran yang terus berkembang sehingga bisa menjadikannya sebagai working
ideologi yang selalu kaya dengan penafsiran baru sesuai dengan konteks
zamannya. Harus diyakini pula, Pancasila sebagai sebuah ideologi kebangsaan
memiliki fungsi integratif. Yaitu, menjamin kelangsungan kesatuan bangsa
Indonesia yang pluralistik.
Namun sayang sekali, sekarang ini Pancasila terkesan ditelantarkan dan
disisihkan. Bahkan, muncul berbagai godaan yang meragukannya sebagai sebuah
ideologi bangsa dan negara. Upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini
masih setengah hati. Wacana tentang Pancasila cenderung melemah, bahkan mulai
muncul pemikiran-pemikiran ideologi yang sektarian yang hanya memikirkan
kepentingan kelompok dan mayoritas. Bahkan, tidak sedikit orang yang belum
menempatkan dirinya untuk tunduk kepada ideologi dan konstitusi. Di sisi
lain, tidak ada upaya yang menggairahkan untuk mengartikulasikan Pancasila
secara berkesinambungan agar semakin kuat tertanam dalam tatanan berbangsa
dan bernegara.
Sudah saatnya kita menata kembali sekaligus mengupayakan terwujudnya
nilai-nilai Pancasila secara sungguh-sungguh. Harus diwujudkan secara konkret
pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila yang pada
gilirannya akan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan. Dan, itu
adalah tugas kita semua!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar