Film
PKI dan Citra Indonesia
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan,
Universitas
Paramadina, Jakarta
|
JAWAPOS,
01 Oktober 2014
JOSHUA Oppenheimer barangkali kini menjadi penutur yang paling didengar
di dunia Barat mengenai peristiwa kelam bangsa ini, yakni sejarah 1965–1966
yang klimaksnya terjadi pada peralihan September–Oktober 1965. Pada 2012, dia
membesut film dokumenter berjudul The
Act of Killing dan pada Oktober akan
merilis film dokumenter berjudul The
Look of Silence yang juga berkisah seputar tragedi tersebut.
Oleh pemerintah kita, Joshua Oppenheimer telah dianggap memberikan
citra buruk untuk Indonesia di mata komunitas internasional. Bahkan, film The Act of Killing, misalnya, pernah
masuk nomine penerima penghargaan Oscar dalam kategori dokumenter terbaik.
Film besutan Joshua Oppenheimer menceritakan pembantaian 1 juta manusia yang
terjadi di Indonesia pada rentang 1965–1966.
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan, pembunuhan masal
pada dekade 1960-an merupakan sebuah pelanggaran HAM serius dan sebuah
kejahatan terhadap kemanusiaan. Meski demikian, tidak ada satu kelompok pun
yang dimintai pertanggungjawaban atas kebrutalan yang meluas dan mengincar
sebagian besar pengikut komunis menyusul upaya kudeta yang gagal pada 1965.
Joshua Oppenheimer berhasil membujuk beberapa orang yang terlibat dalam
peristiwa itu untuk menceritakan kembali kejahatan yang mengerikan, termasuk
dalam film terbarunya, The Look of
Silence.
Perhatian masyarakat hingga saat ini penasaran perihal siapa dalang
tragedi 1965–1966? Mengapa PKI dilarang hingga kini? Padahal, partai itu
pernah memenangi Pemilu 1955 (Robert
Cribb, 2001). Bagaimana kronologi kejatuhan dan kematian Soekarno vis-a-vis naiknya Soeharto menjadi
presiden? Sejarah Indonesia masih samar-samar dan memerlukan pelurusan akibat
tragedi tersebut.
Sebagian masyarakat belum menemukan kepuasan dan titik cerah dari
sejarah negerinya yang gelap. Mereka terus meraba-raba, mencari-cari tahu
lewat buku-buku yang mengulas persoalan tersebut hingga hadir film-film
dokumenter seperti karya Joshua Oppenheimer itu.
Selain melalui media film, dewasa ini, misalnya, banyak bermunculan
penerjemahan buku-buku dari penulis asing yang diterbitkan dalam versi bahasa
Indonesia. Di antara sekian buku itu, banyak yang mengarahkan perihal
keterlibatan mantan Presiden Indonesia Soeharto dan kroni militernya dalam
peristiwa Gestok dan terjadi coup
terhadap Soekarno (Kerstin Beise, 2005,
Bob Hering, 2004). Namun, ada juga yang mengarahkan keterlibatan Soekarno
dan PKI terhadap tragedi 1965 (Antonie
C.A. Dake, 2005) meskipun alasan yang kedua itu sangat lemah dan dikritik
secara keras oleh Dr Asvi Warman Adam.
Yang membuat lebih ’’suram’’, satu persatu di antara sekian saksi
sekitar peristiwa itu meninggal dunia dan tidak secara jelas menerangkan
secara ’’jujur’’ perihal peristiwa tersebut. Memang, ada yang meninggalkan
memoar seperti biografi M. Jusuf, salah seorang yang menjadi juru kunci kasus
Supersemar yang bukunya diterbitkan belum lama. Namun, itu pun belum cukup
untuk dijadikan landasan bagi titik terang tersibaknya peristiwa di sekitar
1965–1966.
Hal krusial dari rentetan sepanjang tragedi berdarah 1965–1966 yang
berujung kepada pembantaian orang-orang komunis adalah soal penculikan dan
pembunuhan para jenderal hingga Bung Karno jatuh dari kekuasaannya dan
bangkitnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Perdebatan pakar sejarah
seputar itu tidak tunggal. Yang menarik, misalnya, ’’perdebatan’’ antara
sejarawan Asvi Warman Adam dan sosiolog Ariel Heryanto.
Mengkritisi tulisan Asvi Warman Adam berjudul New Findings on the 1965 Indonesian Tragedy yang pernah
dipublikasikan harian The Jakarta Post,
kira-kira menyebutkan bahwa Soeharto bukanlah aktor tunggal atas segala
tragedi1965–1966. Tidak mungkin Soeharto merekayasa seorang diri sedemikian
rupa atas bagian kronik dari sejarah penting republik ini.
Membaca analisis itu, Ariel Heryanto seakan merasa heran atas
integritas dan kapasitas Asvi Warman Adam yang tulisan-tulisannya dikenal
selama ini yang mestinya melihat sejarah 1965–1966 secara reformistik. Sebab,
pandangan reformistik menyangkut itu biasanya selalu disandarkan kepada
persepsi dasar bahwa memang Soeharto adalah penggerak pertama atau
satu-satunya aktor yang merekayasa peristiwa hingga Bung Karno terjatuh dari
kekuasaannya dan dilanjutkan pengangkatannya sebagai presiden kedua
Indonesia.
Kritisisme Arel Heryanto terhadap Asvi Warman Adam dapat dimaklumi.
Sebab, pandangan kritis para pengamat sejarah di Indonesia atau sejumlah
Indonesianis (pandangan pengamat asing) memang umumnya menjadikan Soeharto
sebagai objek dasar penggerak pertama dari rentetan kronik sejarah1965–1966.
Pandangan reformistik yang menyeruak, terutama setelah reformasi 1998,
mengutuk Soeharto sebagai biang dari segala hal yang membuat republik ini
terpuruk. Termasuk pandangan dari tragedi sepanjang1965–1966, menyudutkan
hanya Soeharto sebagai satu-satunya aktor yang menimbulkan berbagai kasus
kekerasan hingga berujung kepada dilantiknya dia sebagai presiden kedua
Republik Indonesia menggantikan Soekarno.
Dua kutub biner yang bertubrukan, yakni antara pandangan reformistik
seperti diwakili Ariel Heryanto dan ’’nonreformistik’’ sebagaimana
ditunjukkan Asvi Warman Adam, sebetulnya menyimpulkan bahwa sejarah apa pun
dari perjalanan bangsa ini tidaklah bersifat tunggal. Meskipun, sebenarnya
kita tidak mengetahui maksud lain dari pernyataan Asvi Warman Adam dalam
tulisannya yang pernah dipublikasikan The
Jakarta Post. Sebab, kita meyakini bahwa sebetulnya pandangan dia
sebenarnya juga reformistik untuk sekelasnya.
Asvi menulis kisah itu secara ilmiah, berdasar pembangunan teori-teori
sejarah serta pemisahan antara kebencian vis-a-vis
ilmu pengetahuan, untuk sampai kepada kesimpulan bahwa Soeharto bukanlah
satu-satunya aktor.
Mengapa disebut pemisahan di antara kebencian vis-a-vis ilmu pengetahuan karena semenjak Reformasi 1998, banyak
release dan penulisan ulang sejarah
1965–1966 ditulis berdasar kebencian, dan cenderung menafikan aspek
pembangunan teori-teori sejarah. Dan, pengaruh hal tersebut begitu meluas,
diterima publik.
Teori Ben Anderson (Imagine
Communities, 1983) menjadi berlaku bahwa pengaruh dari publikasi dan
media cetak, seperti pada dekade sebelum kemerdekaan, membuat satu kesadaran
utuh yang dikonsumsi publik. Yakni, kesadaran ’’pemberontakan’’ atas rezim
yang membelenggu. Kekuasaan Soeharto berlangsung 32 tahun lebih. Publik
selama masa kekuasaan dia nyaris tidak dapat melakukan freedom expression.
Sementara itu, saat kesadarannya terbuka pasca 1998, publik berontak dan
mengecam Soeharto. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar