Janji
Presiden
Ivan Hadar ; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
|
KOMPAS,
01 Oktober 2014
PRESIDEN terpilih Joko Widodo menunjukkan keinginannya menghemat uang negara
ketika menolak pembelian mobil baru yang diproses Menteri Sekretaris Negara
Sudi Silalahi. Jokowi memilih mewariskan mobil bekas bagi para petinggi
pemerintahan, termasuk untuk dirinya. Keteladanan ini membawa harapan. Menjelang 2010, tiap pejabat negara setingkat menteri
serta pemimpin lembaga tinggi negara pada pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono diberi mobil mewah Toyota
Crown Royal Saloon 3.000 cc. Menurut Sudi, penggantian mobil dinas
seharga Rp 1,3 miliar per unit itu dianggarkan dalam APBN 2009 sesuai dengan
program pemerintah yang disetujui DPR periode lalu. Ada dugaan, anggaran itu diambil dari dana subsidi
pemerintah bagi rakyat miskin.
Belajar
dari mancanegara
Menjelang Pemilu Presiden 2014, Jokowi-JK menjanjikan 9 Program Nyata
kepada masyarakat. Selain meningkatkan profesionalisme dengan menaikkan gaji
dan kesejahteraan pekerja, program intinya memberantas kemiskinan dengan
memberi subsidi orang miskin sepanjang ekonomi bertumbuh lebih dari 7 persen.
Selain keteladanan, diperlukan berbagai kebijakan dan program yang berpihak
kepada orang miskin. Brasil jadi contoh.
Sewaktu jadi Presiden Brasil, Luiz InÁcio Lula da Silva menjanjikan
bahwa pada akhir masa jabatannya setiap warga Brasilia memperoleh makan pagi, siang, dan malam berkecukupan. Meski pada mulanya
banyak yang meragukan, janji itu dibuktikan sebelum masa jabatan keduanya
berakhir tahun lalu. Studi tentang Who’s
Really Fighting Hunger? (2009) oleh lembaga independen ActionAid di 29
negara berkembang menempatkan Brasil di peringkat teratas, diikuti Tiongkok,
Ghana, dan Vietnam.
Brasil unggul karena memiliki persentase anak balita bergizi buruk yang
relatif rendah: di bawah 5 persen. Negeri ini di peringkat pertama terkait
indikator sosial: pangan untuk anak, gratis makanan di sekolah, upah minimum
yang relatif tinggi, kecukupan nutrisi bagi ibu, serta dana pensiun memadai.
Terkait dukungan UU, Brasil paling progresif.
Sejak diluncurkan enam tahun lalu, program Fome Zero (bebas dari lapar) telah menyediakan berbagai layanan
publik, seperti pemberian bahan pokok dan dapur umum serta makanan gratis
untuk murid sekolah. Berkat makanan gratis, murid dari kalangan miskin rajin
ke sekolah. Terjadi peningkatan prestasi.
Studi ActionAid itu juga berisi analisis lengkap tentang Bolsa Familia,
program yang disebut sebagai program distribusi pendapatan terkomplet di
dunia. Pada 2008, misalnya, sekitar 47 juta (atau 25 persen) warga Brasil
menikmati program ini. Jumlah itu meningkat menjadi 55 juta jiwa (2009) dan
sekitar 65 juta saat ini. Dampaknya, kesenjangan turun 6,3 persen.
Diakui, termasuk oleh penerusnya, Presiden Dilma Rouseff, bahwa
kemiskinan jadi persoalan utama Brasil. Namun, Brasil telah menunjukkan bahwa
berbasis perangkat dan kemauan politik yang kuat, keberhasilan bisa digapai
dalam waktu singkat.
Terkait pengamanan pangan bagi rakyat miskin, pada 2006 diberlakukan UU
Keamanan Pangan (LOSAN) dan menjadi basis bagi program pemberantasan
kelaparan. Kegiatan program pada gilirannya diamankan lewat Dewan Penasihat untuk
Keamanan Pangan (CONCEA) yang terdiri dari 19 menteri dan 38 perwakilan
masyarakat sipil.
Inovasi menarik adalah keterlibatan aktif dan cukup menentukan
masyarakat sipil dalam pelaksanaan program. Dalam setiap desa/kelurahan,
dipilih sembilan orang sebagai komite pengelola. Tiga usul pemerintah dan
enam mewakili serikat pekerja dan paguyuban warga. Saat ini semua orang
miskin Brasil beroleh manfaat dari Fome
Zero.
Bagaimana
dengan kita?
Strategi SBY-Boediono berangkat dari moto pro poor, pro job, pro
growth. Namun, data terbaru (BPS, Maret 2014) mencatat jumlah penduduk miskin
di Indonesia 28,28 juta orang, sekitar 11,25 persen. Koefisien Gini, yang mengukur ketimpangan
konsumsi, meningkat dari 0,30 pada 2000 menjadi 0,41 pada 2013.
Saat yang sama dilaporkan, 25 persen anak balita masih menderita
kekurangan gizi. Kematian ibu pun, meski dilansir turun drastis dari 307 jadi
226/100.000 kelahiran, sempat diragukan lembaga internasional yang malah
mengatakan meningkat.
Sebenarnya, selain berbagai hal teknis, seperti koordinasi dan sinergi,
program pemberantasan kemiskinan memerlukan dua hal mendasar: kemauan politik
yang kuat dan pilihan paradigma yang pas. Terdapat dua paradigma yang
berseberangan tentang cara pencapaiannya. Pertama, asumsi bahwa pertumbuhan
ekonomi adalah resep terbaik pemberantasan kemiskinan karena akan menyerap
tenaga kerja meski kenyataan empiris sepenuhnya menunjukkan hal berbeda.
Penyebabnya, terutama maraknya cara berproduksi industri padat modal dan
hemat tenaga kerja.
Berseberangan dengan paradigma itu adalah keyakinan bahwa orang miskin
harus dibantu memperoleh penghasilan. Menurut Erhard Berner (2005), bagi
pembangunan, yang lebih penting daripada investasi produktif’ adalah
investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan
pendidikan anak-anak. Tanpa itu, berlaku lingkaran setan. Peningkatan tenaga
kerja murah akan menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan (anak-anak)
mereka sehat dan pintar.
Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton (2000),
kesenjangan ekstrem adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan. Investasi
untuk orang miskin adalah solusi keluar dari stagnasi ekonomi. Kesuksesan
Brasil berupa pemenuhan janji presidennya membenarkan analisis Lipton. Dalam
pemberantasan kemiskinan, Jokowi diharapkan bisa belajar dari kesuksesan di
mancanegara, termasuk Brasil.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar