Muhabalah,
Perlawanan Simbolik
Ma’mun Murod Al-Barbasy ; Dosen Program Studi Ilmu Politik
Universitas
Muhammadiyah Jakarta
|
REPUBLIKA,
29 September 2014
Majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis kepada Anas Urbaningrum
delapan tahun penjara dan ditambah denda Rp 300 juta. Hakim juga meminta Anas
mengembalikan uang negara Rp 57,5 miliar dan 5,7 juta dolar AS.
Yang menarik, Anas mengajak majelis hakim dan jaksa penuntut umum untuk
sama-sama melakukan mubahalah (sumpah kutukan). Mubahalah semakin membuktikan
kepiawaian Anas dalam membuat diksi.
Terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus Hambalang, Anas membuat
pernyataan yang diksinya begitu terkenal: "Satu rupiah pun Anas korupsi Hambalang,
gantung Anas di Monas." Sebelumnya, saat menyampaikan pernyataan
berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Anas menyatakan, "Ini baru
halaman pertama."
Begitu juga saat menyampaikan eksepsi, "Saya hanya mau diadili,
tidak mau dihakimi apalagi dijaksai." Belum lagi soal "kado tahun
baru buat SBY dan Abraham Samad" saat Anas ditahan KPK.
Pernyataan soal mubahalah tentu sangat mengagetkan. Selain mubahalah
tidak dikenal dalam hukum positif kita, juga belum pernah ada satu pun
terdakwa yang dijatuhi vonis oleh majelis hakim lalu meminta kepada yang
terlibat dalam persidangan untuk mubahalah. Publik juga dibikin penasaran
untuk mengetahui tentang mubahalah.
Tafsir
mubahalah
Mubahalah dimengerti sebagai saling melaknat atau mendoakan agar laknat
Allah SWT dijatuhkan atas orang yang zalim atau berbohong di antara yang
berselisih. Syariat mubahalah untuk membuktikan kebenaran dan mematahkan
kebatilan bagi mereka yang keras kepala dan tetap bertahan pada kebatilan
meskipun sudah jelas kebenaran dan argumennya.
Dalil naqli landasan
mubahalah adalah QS Ali Imran (3): 61. "Siapa
yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan
kamu), katakanlah (kepadanya), 'Marilah kita memanggil anak-anak kami dan
anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri
kamu, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan meminta supaya
laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.'"
Asbabunnuzul (sebab turunnya) ayat ini ketika datang utusan Nasrani
dari Najran bersikeras mengatakan kepada Muhammad SAW bahwa Isa adalah anak
Allah. Padahal, Muhammad SAW telah menjelaskan bahwa Isa AS itu hamba Allah
SWT dan utusan-Nya. Maka, Allah SWT memerintahkan Muhammad SAW agar menantang
bermubahalah.
Karena mengetahui Muhammad SAW dalam kebenaran dan mereka dalam
kebatilan, mereka tidak berani melakukannya. Akhirnya, mereka mengajak
berdamai dan membayar jizyah (pajak
yang dibayarkan oleh non-Muslim) kepada Muhammad SAW.
Lontaran mubahalah Anas kontak menuai banyak komentar. Kebanyakan,
pertama, berangkat dari asbabunnuzul,
terkait "perdebatan" Rasul dengan orang Nasrani mengenai Isa,
muncul komentar mubahalah hanya boleh dilakukan berkaitan dengan akidah.
Pandangan ini, misalnya, datang dari Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr
Asrorun Ni’am yang menyebut mubahalah itu untuk kepentingan agama yang
fundamental, menyatakan kebenaran, bukan urusan duniawi dan hawa nafsu serta
niatnya tulus, bukan untuk menggapai kemenangan semata. Dengan adanya
keyakinan akan kebenaran, muncul komitmen menerima laknat Allah jika dusta.
Mubahalah dasarnya adalah norma keagamaan (detiknews, 24/9).
Kedua, bila merujuk pada "siapa" yang terlibat perdebatan,
muncul pandangan mubahalah tidak berlaku antara sesama Muslim. Prof Dr Yunahar
Ilyas menyebut, mubahalah itu urusan keimanan dan tak bisa diukur dari luar.
Mubahalah konteksnya masalah iman, bukan di pengadilan. Kalau sesama Islam,
tidak boleh ada mubahalah karena keimanannya sama (ROL, 24/9).
Terkait bagian akhir ayat,
"Dan meminta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang
dusta," maka pesan mendasar ayat ini justru pada tidak bolehnya
siapa pun berdusta, bohong, atau tidak jujur. Mubahalah dilakukan karena
diyakini ada dusta. Sementara, dusta (kadzib)
di sini bersifat umum (‘am).
Bahwa dalam konteks sejarah mubahalah terkait keagamaan, bukan berarti
tidak boleh dilakukan pada perkara di luar keagamaan. Dusta atau bohong itu
bersifat generik, bisa dusta dalam soal agama, politik, hukum, ataupun
lainnya.
Menurut saya, pesan penting mubahalah justru bukan pada apa yang
"diperdebatkan" (soal Isa) atau "siapa yang berdebat"
(Muslim dan Nasrani), tapi pada tidak bolehnya siapa pun berdusta, berbohong,
atau tidak jujur (tidak adil).
Perlawanan
simbolis
Kalau titik tekan mubahalah pada ketakjujuran, meskipun dalam hukum
positif tidak dikenal mubahalah, apa yang disampaikan Anas justru
kontekstual. Anas sadar, ajakan mubahalah tak mungkin mengubah vonisnya.
Namun, keberaniannya untuk mubahalah patut dihargai.
Mubahalah Anas yang notabene sekarang sudah menyandang gelar koruptor
harus dipahami sebagai "pesan moral" bagi publik dan penegak hukum
untuk tidak boleh dusta dalam menegakkan hukum. Mubahalah juga harus dipahami
bentuk perlawanan simbolis terhadap kekuasaan lalim yang mengintervensi
penegakan hukum.
Sulit untuk tidak mengatakan kasus Anas bebas dari intervensi
kekuasaan. Rentetan peristiwa politik menjelang penetapan Anas sebagai
tersangka cukup menjadi bukti intervensi politik. Begitu juga selama proses
persidangan hingga majelis hakim menjatuhkan vonis.
Persidangan yang berlangsung hingga dini hari juga semakin menegaskan
intervensi dan rekayasa. Tampak sekali kasus Anas dipaksakan agar selesai
sebelum 20 Oktober 2014 saat SBY mengakhiri masa jabatannya.
Sesaat setelah jatuh vonis, Anas menyatakan, dirinya sangat total,
konsentrasi, dan mengikuti persidangan dengan patuh dan santun, dengan
harapan JPU akan memberikan tuntutan secara adil, objektif, dan mendasarkan
pada fakta persidangan. Tapi, ternyata tuntutan JPU sangat kasar, irasional,
dan amoral.
Lalu, majelis hakim--sebagai pintu terakhir mendamba keadilan
hukum--yang diharapkan bisa memutus perkara secara adil dan objektif,
vonisnya juga tak kalah sadis dengan tuntutan JPU.
Karena lembaga penegak hukum dinilai tak lagi berpijak pada kebenaran,
menjunjung tinggi keadilan, mubahalah sebagai pilihan dan sikap terakhir yang
mesti diambil. Sikap ini sama persis ketika bantahan apa pun dari Anas
terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus Hambalang tak juga mampu
meyakinkan publik maka Anas memilih "sumpah Monas".
Dan, terbukti, hakim memutuskan dakwaan primer tidak terbukti, Anas tak
terlibat di Hambalang yang berarti gugur sumpahnya untuk digantung di Monas.
Seperti halnya "sumpah Monas", mubahalah ini tak lebih sebagai
bentuk perlawanan simbolis sseorang warga negara yang tanpa kuasa apa pun
berhadapan dengan kekuasaan lalim nan hegemonik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar