Rabu, 01 Oktober 2014

‘G25-5’ dan Nasib Rupiah

‘G25-5’ dan Nasib Rupiah

Sunarsip  ;   Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA,  29 September 2014

                                                                                                                       


Akhir pekan lalu (26/9), kinerja pasar uang dan saham melemah. Rupiah melemah 0,5 persen menjadi Rp 12.007 per dolar AS. Sedangkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) anjlok 1,32 persen menjadi 5.132,56.

Selain disebabkan oleh faktor eksternal, pelemahan ini terutama karena faktor internal. Kebetulan, berbagai peristiwa (eksternal dan internal) yang menyebabkan pasar uang dan saham kita melemah tersebut terjadi pada 25 September 2014 sehingga saya menyebutnya ada Gerakan 25 September (G-25-S).

Dari sisi eksternal, pelemahan rupiah dan IHSG ini dipicu oleh kekhawatiran para pelaku pasar terkait kebijakan bank sentral AS (The Fed). Rupiah melemah karena penguatan dolar AS setelah pidato Fisher terkait kebijakan moneter AS.

Fisher yang menjadi anggota Federal Open Market Committee (FOMC) menyampaikan pidatonya pada Kamis (25 September ) di Roma, yang mengindikasikan kenaikan suku bunga The Fed lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Dia mengemukakan ada asumsi The Fed akan menaikkan Fed Rate antara musim semi (sekitar April) dan musim panas (sekitar Juni) 2015.

Dari sisi internal, selain karena minimnya sentimen positif dari sisi ekonomi, pelemahan rupiah akhir pekan lalu disebabkan oleh situasi politik, khususnya terkait dengan pengesahan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 25 September. Kemenangan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) atas kubu PDIP dan koalisinya menjadi penyebab pelemahan rupiah dan jatuhnya IHSG.

Respons pasar yang diterjemahkan oleh pelemahan kinerja pasar uang dan saham tersebut sejatinya tidak terletak ketidaksetujuannya pada substansi UU Pilkada. Para pelaku pasar tidak mempermasalahkan apakah pilkada dilakukan secara langsung atau dipilih oleh DPRD.

Dengan perilaku politik sebagaimana yang ditunjukkan oleh para politikus (di DPR) dari kedua kubu, para pelaku pasar melihat adanya prospek hubungan politik yang kurang harmonis antara DPR (yang saat ini "dikuasai" oleh kubu KMP) dan pemerintahan nanti. Keraguan inilah yang menyebabkan pelaku pasar merasa tidak yakin bahwa pergerakan ekonomi pada era pemerintahan mendatang akan dapat berjalan dengan baik.

Pelemahan rupiah akibat kurang harmonisnya hubungan politik antara kubu KMP dan kubu PDIP ini sejatinya bukan kali pertama ini. Kalau dilihat ke belakang, terutama pascaterpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden 2014-2019, kinerja pasar uang dan saham cenderung tidak bergerak naik.

Terbukti, sejak pemilu pada 9 Juni lalu, nilai tukar rupiah cenderung melemah. Pada 9 Juni (saat Jokowi-JK) dinyatakan menang oleh lembaga survei, kurs rupiah (jual) berada di level Rp 11.849 per dolar AS. Namun, saat ini sudah berada di level Rp 12.067 per dolar AS. Kondisi ini sepertinya bertolak belakang dengan "kelaziman" yang selama ini terjadi, yaitu pascaterpilihnya presiden baru pasar uang dan saham, terutama IHSG, bergerak positif.

Kondisi politik seperti ini tidak menguntungkan bagi situasi ekonomi ke depan. Kondisi politik yang tidak kondusif tentunya akan menambah beban bagi prospek rupiah ke depan. Dari sisi ekonomi, baik dari sisi internal maupun eksternal, sudah minim sentimen positif yang bisa mengangkat rupiah untuk bergerak naik secara signifikan. Kebutuhan valuta asing di dalam negeri dalam beberapa bulan terakhir dan ke depan ini cukup tinggi, seperti untuk pembayaran utang luar negeri (ULN) yang jatuh tempo.

Sebagai gambaran, per April 2014, jumlah ULN jangka pendek (kurang dari satu tahun) Indonesia menurut jangka waktu asal mencapai 46,9 miliar dolar AS atau 16,97 persen bila dibandingkan total ULN-nya. Sementara, jumlah ULN jangka pendek (kurang dari satu tahun) Indonesia menurut jangka waktu sisa mencapai 53,9 miliar dolar AS atau 19,50 persen bila dibandingkan dengan total ULN-nya. Per April 2014, rasio ULN jangka pendek (kurang dari satu tahun) Indonesia terhadap cadangan devisa menurut jangka waktu asal sebesar 44,45 persen dan menurut jangka waktu sisa 51,08 persen.

Tidak hanya karena ULN yang tinggi, potensi pelemahan nilai tukar rupiah juga dapat muncul karena kinerja neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan yang belum kunjung membaik sejak dua tahun terakhir ini. Di sisi lain, sektor fiskal kita juga telah terbaca oleh para pelaku pasar uang bahwa APBN kita memiliki problem yang cukup besar terkait beban subsidi energi.

Di sisi lain, dinamika eksternal, seperti kebijakan The Fed, perkembangan di Eropa dan Asia lainnya (terutama Cina), juga berpotensi memperlemah posisi rupiah. Dengan melihat situasi ekonomi yang tidak menguntungkan ini, semestinya jangan lagi ditambah dengan beban baru yang berasal dari politik.

Pemerintahan baru akan menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan. Perkembangan terbaru, diperkirakan bahwa begitu pemerintahan baru terbentuk, tidak terlalu lama pemerintah akan mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM. Secara ekonomi, kebijakan kenaikan harga BBM ini positif untuk menyehatkan APBN. Namun, bila kebijakan ini tidak mendapat dukungan politik yang luas (masyarakat dan DPR), justru dapat berpotensi menimbulkan instabilitas, yaitu instabilitas politik yang dapat berimbas menjadi instabilitas ekonomi.

Dengan melihat peta kekuatan politik saat ini, saya berpendapat bahwa politik "mau menang di segala hal" seharusnya diakhiri. Kubu PDIP dan koalisinya sudah pasti akan memegang kendali pemerintahan. Kubu KMP, bila melihat hasil pada G-25-S kemarin, akan memegang kendali DPR.

Peta politik seperti ini mirip dengan situasi di AS, yaitu kubu Demokrat memegang kekuasaan eksekutif dan kubu Republik memegang kendali di Senat. Dan, kita sudah melihat bahwa kekurangharmonisan antara kubu Demokrat dan Republik membuat perjalanan pemulihan ekonomi AS berjalan sangat lambat dan mahal ongkosnya. Tentunya, kita tidak ingin hanya karena politik kemudian ekonomi dikorbankan.

"Pertikaian" politik sebagaimana ditunjukkan dalam pilpres dan G-25-S antara kubu KMP dan kubu PDIP harus dihentikan. Semua pihak harus menghormati keputusan politik yang ada. Kubu KMP harus menghormati bahwa Jokowi-JK adalah pemenang sah pilpres kemarin. Karena itu, tidak boleh ada lagi upaya untuk mengganggu proses politik terkait dengan hasil pilpres tersebut. Kubu PDIP juga harus menerima keputusan DPR yang memenangkan kubu KMP terkait dengan RUU Pilkada. Tak perlu lagi ada manuver nonkonstitusional untuk tidak mengakui hasil dari proses politik di DPR tersebut.

Ke depan, yang perlu dibangun adalah membangun kesepahaman antara pemerintah dan DPR. Saling menerima dan mau berbagi adalah kunci untuk menciptakan stabilitas politik. Dan, stabilitas politik sangat penting untuk menopang stabilitas ekonomi yang biasanya terlihat dari rekam jejak nilai tukar rupiah.

Nilai tukar rupiah yang stabil memang bukan segalanya. Namun, tentu kita belum lupa bahwa gara-gara instabilitas nilai tukar, ekonomi kita pernah ambruk pada 1997/1998. Pastinya kita tidak ingin situasi ini terulang kembali pada saat ekonomi kita sedang menikmati bulan madu demographic dividend dan pertumbuhan kelas menengah yang cukup baik. Jadi, jangan anggap kecil nilai tukar rupiah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar