‘G25-5’
dan Nasib Rupiah
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
(IEI)
|
REPUBLIKA,
29 September 2014
Akhir pekan lalu (26/9), kinerja pasar uang dan saham melemah. Rupiah
melemah 0,5 persen menjadi Rp 12.007 per dolar AS. Sedangkan, Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) anjlok 1,32 persen menjadi
5.132,56.
Selain disebabkan oleh faktor eksternal, pelemahan ini terutama karena
faktor internal. Kebetulan, berbagai peristiwa (eksternal dan internal) yang
menyebabkan pasar uang dan saham kita melemah tersebut terjadi pada 25
September 2014 sehingga saya menyebutnya ada Gerakan 25 September (G-25-S).
Dari sisi eksternal, pelemahan rupiah dan IHSG ini dipicu oleh
kekhawatiran para pelaku pasar terkait kebijakan bank sentral AS (The Fed). Rupiah melemah karena
penguatan dolar AS setelah pidato Fisher terkait kebijakan moneter AS.
Fisher yang menjadi anggota Federal
Open Market Committee (FOMC) menyampaikan pidatonya pada Kamis (25
September ) di Roma, yang mengindikasikan kenaikan suku bunga The Fed lebih cepat dari perkiraan
sebelumnya. Dia mengemukakan ada asumsi The
Fed akan menaikkan Fed Rate
antara musim semi (sekitar April) dan musim panas (sekitar Juni) 2015.
Dari sisi internal, selain karena minimnya sentimen positif dari sisi
ekonomi, pelemahan rupiah akhir pekan lalu disebabkan oleh situasi politik,
khususnya terkait dengan pengesahan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
pada 25 September. Kemenangan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) atas kubu PDIP
dan koalisinya menjadi penyebab pelemahan rupiah dan jatuhnya IHSG.
Respons pasar yang diterjemahkan oleh pelemahan kinerja pasar uang dan
saham tersebut sejatinya tidak terletak ketidaksetujuannya pada substansi UU
Pilkada. Para pelaku pasar tidak mempermasalahkan apakah pilkada dilakukan
secara langsung atau dipilih oleh DPRD.
Dengan perilaku politik sebagaimana yang ditunjukkan oleh para
politikus (di DPR) dari kedua kubu, para pelaku pasar melihat adanya prospek
hubungan politik yang kurang harmonis antara DPR (yang saat ini
"dikuasai" oleh kubu KMP) dan pemerintahan nanti. Keraguan inilah
yang menyebabkan pelaku pasar merasa tidak yakin bahwa pergerakan ekonomi
pada era pemerintahan mendatang akan dapat berjalan dengan baik.
Pelemahan rupiah akibat kurang harmonisnya hubungan politik antara kubu
KMP dan kubu PDIP ini sejatinya bukan kali pertama ini. Kalau dilihat ke
belakang, terutama pascaterpilihnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden
dan wakil presiden 2014-2019, kinerja pasar uang dan saham cenderung tidak
bergerak naik.
Terbukti, sejak pemilu pada 9 Juni lalu, nilai tukar rupiah cenderung
melemah. Pada 9 Juni (saat Jokowi-JK) dinyatakan menang oleh lembaga survei,
kurs rupiah (jual) berada di level Rp 11.849 per dolar AS. Namun, saat ini
sudah berada di level Rp 12.067 per dolar AS. Kondisi ini sepertinya bertolak
belakang dengan "kelaziman" yang selama ini terjadi, yaitu
pascaterpilihnya presiden baru pasar uang dan saham, terutama IHSG, bergerak
positif.
Kondisi politik seperti ini tidak menguntungkan bagi situasi ekonomi ke
depan. Kondisi politik yang tidak kondusif tentunya akan menambah beban bagi
prospek rupiah ke depan. Dari sisi ekonomi, baik dari sisi internal maupun eksternal,
sudah minim sentimen positif yang bisa mengangkat rupiah untuk bergerak naik
secara signifikan. Kebutuhan valuta asing di dalam negeri dalam beberapa
bulan terakhir dan ke depan ini cukup tinggi, seperti untuk pembayaran utang
luar negeri (ULN) yang jatuh tempo.
Sebagai gambaran, per April 2014, jumlah ULN jangka pendek (kurang dari
satu tahun) Indonesia menurut jangka waktu asal mencapai 46,9 miliar dolar AS
atau 16,97 persen bila dibandingkan total ULN-nya. Sementara, jumlah ULN
jangka pendek (kurang dari satu tahun) Indonesia menurut jangka waktu sisa
mencapai 53,9 miliar dolar AS atau 19,50 persen bila dibandingkan dengan
total ULN-nya. Per April 2014, rasio ULN jangka pendek (kurang dari satu
tahun) Indonesia terhadap cadangan devisa menurut jangka waktu asal sebesar
44,45 persen dan menurut jangka waktu sisa 51,08 persen.
Tidak hanya karena ULN yang tinggi, potensi pelemahan nilai tukar
rupiah juga dapat muncul karena kinerja neraca perdagangan dan neraca
transaksi berjalan yang belum kunjung membaik sejak dua tahun terakhir ini.
Di sisi lain, sektor fiskal kita juga telah terbaca oleh para pelaku pasar
uang bahwa APBN kita memiliki problem yang cukup besar terkait beban subsidi
energi.
Di sisi lain, dinamika eksternal, seperti kebijakan The Fed, perkembangan di Eropa dan
Asia lainnya (terutama Cina), juga berpotensi memperlemah posisi rupiah.
Dengan melihat situasi ekonomi yang tidak menguntungkan ini, semestinya
jangan lagi ditambah dengan beban baru yang berasal dari politik.
Pemerintahan baru akan menghadapi tantangan ekonomi yang tidak ringan.
Perkembangan terbaru, diperkirakan bahwa begitu pemerintahan baru terbentuk,
tidak terlalu lama pemerintah akan mengambil kebijakan untuk menaikkan harga
BBM. Secara ekonomi, kebijakan kenaikan harga BBM ini positif untuk
menyehatkan APBN. Namun, bila kebijakan ini tidak mendapat dukungan politik
yang luas (masyarakat dan DPR), justru dapat berpotensi menimbulkan
instabilitas, yaitu instabilitas politik yang dapat berimbas menjadi
instabilitas ekonomi.
Dengan melihat peta kekuatan politik saat ini, saya berpendapat bahwa
politik "mau menang di segala hal" seharusnya diakhiri. Kubu PDIP
dan koalisinya sudah pasti akan memegang kendali pemerintahan. Kubu KMP, bila
melihat hasil pada G-25-S kemarin, akan memegang kendali DPR.
Peta politik seperti ini mirip dengan situasi di AS, yaitu kubu
Demokrat memegang kekuasaan eksekutif dan kubu Republik memegang kendali di
Senat. Dan, kita sudah melihat bahwa kekurangharmonisan antara kubu Demokrat
dan Republik membuat perjalanan pemulihan ekonomi AS berjalan sangat lambat
dan mahal ongkosnya. Tentunya, kita tidak ingin hanya karena politik kemudian
ekonomi dikorbankan.
"Pertikaian" politik sebagaimana ditunjukkan dalam pilpres
dan G-25-S antara kubu KMP dan kubu PDIP harus dihentikan. Semua pihak harus
menghormati keputusan politik yang ada. Kubu KMP harus menghormati bahwa
Jokowi-JK adalah pemenang sah pilpres kemarin. Karena itu, tidak boleh ada
lagi upaya untuk mengganggu proses politik terkait dengan hasil pilpres
tersebut. Kubu PDIP juga harus menerima keputusan DPR yang memenangkan kubu
KMP terkait dengan RUU Pilkada. Tak perlu lagi ada manuver nonkonstitusional
untuk tidak mengakui hasil dari proses politik di DPR tersebut.
Ke depan, yang perlu dibangun adalah membangun kesepahaman antara
pemerintah dan DPR. Saling menerima dan mau berbagi adalah kunci untuk
menciptakan stabilitas politik. Dan, stabilitas politik sangat penting untuk
menopang stabilitas ekonomi yang biasanya terlihat dari rekam jejak nilai
tukar rupiah.
Nilai tukar rupiah yang stabil memang bukan segalanya. Namun, tentu
kita belum lupa bahwa gara-gara instabilitas nilai tukar, ekonomi kita pernah
ambruk pada 1997/1998. Pastinya kita tidak ingin situasi ini terulang kembali
pada saat ekonomi kita sedang menikmati bulan madu demographic dividend dan
pertumbuhan kelas menengah yang cukup baik. Jadi, jangan anggap kecil nilai
tukar rupiah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar