Bisnis
Hewan Kurban
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA,
30 September 2014
Manajemen kurban kian membaik. Namun, perbaikan belum menyentuh masalah
mendasar: bisnis hewan kurban. Bisnis hewan kurban cukup menggiurkan.
Keuntungannya tinggi.
Momentum Idul Adha setahun sekali selalu dinanti-nantikan banyak pihak.
Tidak hanya peternak (sapi/kerbau/kambing), tapi juga belantik, pedagang
perantara atau pedagang musiman yang mencoba meraup untung. Masalahnya,
seperti bisnis lain dalam komoditas pangan dan pertanian, distribusi
keuntungan dalam bisnis hewan kurban amat tidak adil. Porsi keuntungan terbesar
justru dinikmati pedagang perantara, bukan oleh peternak.
Ini terkait mata rantai pasokan yang panjang dari peternak ke konsumen
sehingga transparansi harga, cara bayar, kualitas, dan risiko usaha tak
diketahui peternak. Hasil sigi rantai distribusi daging (sapi) oleh
Kementerian Perdagangan (2006) menemukan, di daerah sentra produksi lembaga
distribusi dan jalur distribusi ternak/daging sapi lebih banyak ketimbang di
daerah sentra konsumsi. Distribusi margin menyebar.
Pangsa terbesar diraih pedagang besar. Namun, yang menikmati untung
besar justru pejagal. Distribusi keuntungan tidak adil. Kementerian
Perdagangan menyimpulkan, sistem distribusi belum efektif.
Secara umum, ada tiga tujuan distribusi, yaitu memaksimalkan akses
konsumen atas komoditas, mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen ke
konsumen dengan biaya distribusi seminimal mungkin, dan mengupayakan
pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir
kepada semua pihak yang ikut dalam kegiatan produksi dan distribusi barang
tersebut sesuai dengan peranan masing-masing. Sistem distribusi dianggap
efisien dan efektif apabila memenuhi ketiga syarat tersebut.
Inefisiensi dan inefektivitas dalam bisnis hewan kurban belum
tersentuh. Ini tak lepas dari karakteristik dalam bisnis hewan kurban.
Pertama, konsumen hewan kurban umumnya awam mengetahui ihwal ternak yang
hendak dibeli.
Berbeda dengan belantik, pedagang perantara, dan pedagang musiman, para
pembeli hewan kurban adalah konsumen "awam". Ia tidak memiliki
"ilmu" menaksir berat badan dan karkas (daging) ternak hidup
seperti yang dikuasai belantik, pedagang. Keawaman konsumen ini mudah
di-"eksploitasi" penjual.
Kedua, hukum supply-demand tidak sepenuhnya berlaku dalam bisnis hewan
kurban. Penjual pasti menawarkan harga hewan kurban setinggi-tingginya kepada
pembeli. Penjual sadar, para pembeli "orang-orang mampu" yang
berdaya beli tinggi. Dengan niat berkurban, hampir pasti konsumen
bertransaksi. Tidak mungkin menangguhkannya ke tahun depan.
Jika harga tidak terjangkau, konsumen akan mengalihkannya kepada ternak
yang lebih murah. Transaksi jual-beli dalam kurun waktu pendek membuat
penjual dalam posisi tawar tinggi. Akibatnya, penjual memiliki kekuatan besar
untuk memainkan harga (maker price).
Salah satu indikator bisa dilihat dari harga daging. Bisa dipastikan,
persentase kenaikan harga hewan kurban sebelum dan saat Idul Adha amat
tinggi, lebih tinggi dari kenaikan harga daging sebelum dan saat Idul Fitri.
Anehnya, menjelang Idul Adha pemerintah tak sibuk seperti menghadapi Idul
Fitri.
Saat Idul Fitri, kenaikan harga daging membuat pemerintah panik. Agar
tidak berdampak besar pada inflasi, pemerintah menggelar operasi pasar.
Padahal kenaikan harga saat Idul Adha pasti lebih besar dari Idul Fitri.
Harga ternak hidup dan daging sapi seperti layaknya tanah, dari tahun
ke tahun selalu naik. Penyebab utamanya karena daging sapi memiliki
elastisitas pendapatan di atas satu. Artinya, jika pendapatan meningkat,
konsumsi daging ikut meningkat. Bagaimana agar kenaikan harga daging
berlangsung normatif, khususnya pada Idul Fitri dan Idul Adha sehingga
ekonomi tidak terganggu inflasi dan peternak bisa menikmati margin keuntungan
adil?
Pertama, mengedukasi konsumen ihwal kualitas hewan kurban yang dibeli.
Transaksi jual-beli harus didasarkan timbangan berat badan hewan kurban. Cara
ini menutup peluang pedagang mengeksploitasi konsumen karena pembelian tidak
berdasarkan taksiran.
Ini sepele, tapi bukan pekerjaan mudah. Para pedagang biasanya, sengaja
atau tidak, tidak menyediakan timbangan. Bahkan, di pasar-pasar ternak,
seperti hasil sigi Kementerian Perdagangan (2006), tidak semua menyediakan
timbangan. Jika pun ada, timbangan tidak difungsikan. Alasannya, tanpa
timbangan akan membuka peluang pedagang untung besar.
Ketiadaan timbangan juga tetap menjaga eksistensi ladang bisnis
belantik dan pedagang perantara. Pemerintah bisa mulai dengan menyediakan
timbangan di pusat-pusat penjualan atau pasar ternak. Cara ini diikuti dengan
penetapan prosedur tetap yang wajib diikuti para pedagang hewan ternak. Jika
prosedur ini diberlakukan, peternak akan menikmati margin adil.
Kedua, melibatkan para ulama untuk menjamin pelaksanaan kurban
menggunakan prosedur "kesejahteraan hewan" agar pemrosesan
pemeliharaan dan penyembelihan hewan kurban menghasilkan daging yang toyiban
(Tawaf, 2010). Artinya, dengan sistem manajemen yang benar akan dihasilkan
daging dengan kualitas dan kuantitas lebih banyak.
Secara khusus pedagang hewan kurban wajib memperlakukan ternak yang
dipasarkan sesuai "kesejahteraan hewan". Misalnya, hewan
ditempatkan di lokasi yang layak tak ubahnya sebuah kandang, dan bukan
dibiarkan tersengat matahari dan terpapar hujan, serta diberi pakan memadai.
Jika tidak, produktivitas daging akan rendah dan manfaat buat mustahik akan
semakin sedikit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar