Rabu, 01 Oktober 2014

Bisnis Hewan Kurban

Bisnis Hewan Kurban

Khudori  ;   Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
REPUBLIKA,  30 September 2014

                                                                                                                       


Manajemen kurban kian membaik. Namun, perbaikan belum menyentuh masalah mendasar: bisnis hewan kurban. Bisnis hewan kurban cukup menggiurkan. Keuntungannya tinggi.

Momentum Idul Adha setahun sekali selalu dinanti-nantikan banyak pihak. Tidak hanya peternak (sapi/kerbau/kambing), tapi juga belantik, pedagang perantara atau pedagang musiman yang mencoba meraup untung. Masalahnya, seperti bisnis lain dalam komoditas pangan dan pertanian, distribusi keuntungan dalam bisnis hewan kurban amat tidak adil. Porsi keuntungan terbesar justru dinikmati pedagang perantara, bukan oleh peternak.

Ini terkait mata rantai pasokan yang panjang dari peternak ke konsumen sehingga transparansi harga, cara bayar, kualitas, dan risiko usaha tak diketahui peternak. Hasil sigi rantai distribusi daging (sapi) oleh Kementerian Perdagangan (2006) menemukan, di daerah sentra produksi lembaga distribusi dan jalur distribusi ternak/daging sapi lebih banyak ketimbang di daerah sentra konsumsi. Distribusi margin menyebar.

Pangsa terbesar diraih pedagang besar. Namun, yang menikmati untung besar justru pejagal. Distribusi keuntungan tidak adil. Kementerian Perdagangan menyimpulkan, sistem distribusi belum efektif.

Secara umum, ada tiga tujuan distribusi, yaitu memaksimalkan akses konsumen atas komoditas, mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya distribusi seminimal mungkin, dan mengupayakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut dalam kegiatan produksi dan distribusi barang tersebut sesuai dengan peranan masing-masing. Sistem distribusi dianggap efisien dan efektif apabila memenuhi ketiga syarat tersebut.

Inefisiensi dan inefektivitas dalam bisnis hewan kurban belum tersentuh. Ini tak lepas dari karakteristik dalam bisnis hewan kurban. Pertama, konsumen hewan kurban umumnya awam mengetahui ihwal ternak yang hendak dibeli.

Berbeda dengan belantik, pedagang perantara, dan pedagang musiman, para pembeli hewan kurban adalah konsumen "awam". Ia tidak memiliki "ilmu" menaksir berat badan dan karkas (daging) ternak hidup seperti yang dikuasai belantik, pedagang. Keawaman konsumen ini mudah di-"eksploitasi" penjual.

Kedua, hukum supply-demand tidak sepenuhnya berlaku dalam bisnis hewan kurban. Penjual pasti menawarkan harga hewan kurban setinggi-tingginya kepada pembeli. Penjual sadar, para pembeli "orang-orang mampu" yang berdaya beli tinggi. Dengan niat berkurban, hampir pasti konsumen bertransaksi. Tidak mungkin menangguhkannya ke tahun depan.

Jika harga tidak terjangkau, konsumen akan mengalihkannya kepada ternak yang lebih murah. Transaksi jual-beli dalam kurun waktu pendek membuat penjual dalam posisi tawar tinggi. Akibatnya, penjual memiliki kekuatan besar untuk memainkan harga (maker price).

Salah satu indikator bisa dilihat dari harga daging. Bisa dipastikan, persentase kenaikan harga hewan kurban sebelum dan saat Idul Adha amat tinggi, lebih tinggi dari kenaikan harga daging sebelum dan saat Idul Fitri. Anehnya, menjelang Idul Adha pemerintah tak sibuk seperti menghadapi Idul Fitri.

Saat Idul Fitri, kenaikan harga daging membuat pemerintah panik. Agar tidak berdampak besar pada inflasi, pemerintah menggelar operasi pasar. Padahal kenaikan harga saat Idul Adha pasti lebih besar dari Idul Fitri.

Harga ternak hidup dan daging sapi seperti layaknya tanah, dari tahun ke tahun selalu naik. Penyebab utamanya karena daging sapi memiliki elastisitas pendapatan di atas satu. Artinya, jika pendapatan meningkat, konsumsi daging ikut meningkat. Bagaimana agar kenaikan harga daging berlangsung normatif, khususnya pada Idul Fitri dan Idul Adha sehingga ekonomi tidak terganggu inflasi dan peternak bisa menikmati margin keuntungan adil?

Pertama, mengedukasi konsumen ihwal kualitas hewan kurban yang dibeli. Transaksi jual-beli harus didasarkan timbangan berat badan hewan kurban. Cara ini menutup peluang pedagang mengeksploitasi konsumen karena pembelian tidak berdasarkan taksiran.

Ini sepele, tapi bukan pekerjaan mudah. Para pedagang biasanya, sengaja atau tidak, tidak menyediakan timbangan. Bahkan, di pasar-pasar ternak, seperti hasil sigi Kementerian Perdagangan (2006), tidak semua menyediakan timbangan. Jika pun ada, timbangan tidak difungsikan. Alasannya, tanpa timbangan akan membuka peluang pedagang untung besar.

Ketiadaan timbangan juga tetap menjaga eksistensi ladang bisnis belantik dan pedagang perantara. Pemerintah bisa mulai dengan menyediakan timbangan di pusat-pusat penjualan atau pasar ternak. Cara ini diikuti dengan penetapan prosedur tetap yang wajib diikuti para pedagang hewan ternak. Jika prosedur ini diberlakukan, peternak akan menikmati margin adil.

Kedua, melibatkan para ulama untuk menjamin pelaksanaan kurban menggunakan prosedur "kesejahteraan hewan" agar pemrosesan pemeliharaan dan penyembelihan hewan kurban menghasilkan daging yang toyiban (Tawaf, 2010). Artinya, dengan sistem manajemen yang benar akan dihasilkan daging dengan kualitas dan kuantitas lebih banyak.

Secara khusus pedagang hewan kurban wajib memperlakukan ternak yang dipasarkan sesuai "kesejahteraan hewan". Misalnya, hewan ditempatkan di lokasi yang layak tak ubahnya sebuah kandang, dan bukan dibiarkan tersengat matahari dan terpapar hujan, serta diberi pakan memadai. Jika tidak, produktivitas daging akan rendah dan manfaat buat mustahik akan semakin sedikit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar